#OhanaOHnana16 - Mbak Tata

4.7K 647 7
                                    

"Stupid."

Aku melirik Arga pelan. Di hadapanku, ada Maminya Cio yang sedang menatap Arga sengit. Saat ini, kami sedang berada di kediamannya. Mampir sebelum menjemput Cio pulang sekolah. Paras sengaja dititipkan di mertuaku.

"Aku cuma mau membiasakan Cio dengan panggilan itu ke Dave, Ga. Memangnya salah?!"

Arga refleks berdecak kencang.

"Cara kalian itu yang salah! Itu namanya maksa. Bukan membiasakan, Agatha."

Maminya Cio lalu menghela nafasnya dengan cukup keras.

"Intensitas pertemuan kami singkat, Arga. Aku dan Dave nggak bisa ketemu Cio setiap hari. Sedangkan aku dan Dave akan menikah sebentar lagi. Jadi Cio harus cepat terbiasa dengan panggilan barunya untuk Dave."

Aku melirik Arga lagi. Kulihat rahangnya mengeras. Warna kemerahan juga mulai menjalar ke telinganya. Ditambah tadi Arga menyebut nama Maminya Cio dengan lengkap, Agatha. Bukan Tata, nama panggilannya. Tiga tanda kalau Arga sedang menahan emosinya.

"Nggak gitu cara mainnya, Agatha. Semua berproses. Semua butuh waktu. Terlebih kamu baru aja ngenalin dia sama calon suamimu itu."

Aku lantas berdeham pelan, "Maaf sebelumnya kalau aku lancang, Mbak Tata. Dulu Cio juga nggak yang secepat itu panggil aku Mama kok, Mbak. Awal-awal dia juga panggil aku Tante. Memang butuh pendekatan dengan waktu yang nggak singkat. Apalagi sama anak-anak. Harus sabar, Mbak."

Dengan ekspresi yang masih tak terima, dia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.

"Pokoknya, kamu harus minta maaf sama Cio. Kalau perlu, calon suamimu itu juga. Asal kamu tau ya, Cio sudah bilang kalau dia nggak mau lagi ketemu kamu. Terlebih Dave. Kamu mau anakmu benar-benar mengabaikanmu meskipun kamu ibu kandungnya?"

Mbak Tata kembali menatap Arga dengan tajam.

"Cio nggak akan seperti itu kalau kalian nggak semena-mena kayak gitu ke dia. I know how my son is." sambung Arga lagi. Membuat Mbak Tata yang tadinya sudah membuka mulutnya, kembali menutup mulutnya rapat-rapat.

"Nanti aku coba bantu kasih penjelasan ke Cio juga, Mbak." tambahku.

Arga langsung menoleh ke arahku dan menatapku dengan alis yang berkerut.

"Aku nggak bisa jamin Cio akan mudah menerima. Tapi seenggaknya, aku akan coba bantu. Tugas utama tetap di Mbak Tata dan calon suami Mbak. Kalian yang tetap harus pendekatan dan kasih pengertian ke Cio." sambungku.

"Tapi waktu kami singkat, Le." sahut Mbak Tata sambil menatapku. Bisa kulihat ada gurat kekhawatiran di matanya.

"Waktu yang singkat itu bisa kalian maksimalkan, Agatha. Asalkan kalian niat dan bersungguh-sungguh. Kalau-kalau kamu lupa, Cio itu bukan anak yang keras kepala. Turunkan egomu itu. Nggak ada yang instan. Apalagi menyangkut anak. Dan Cio itu masih anak-anak. Butuh diberi waktu dan pengertian ekstra. Dia memang harus patuh sama kita sebagai orang tuanya. Tapi dia juga berhak diperlakukan dengan baik oleh kita orang tuanya."

Lagi-lagi Mbak Tata menghembuskan nafasnya dengan cukup kencang. Punggungnya kembali disandarkan dan matanya menatapku dan Arga bergantian.

"Okay. Aku akan pelan-pelan. Maaf kalau ternyata caraku salah. Aku cuma khawatir Cio nggak terbiasa panggil Dave papi sampai nanti saat kami sudah menikah."

Arga kembali berdecak, "Itu hak Cio, mau manggil Dave apa. Dan lagi, Cio yang lebih berhak dengar permintaan maaf kamu, Ta."

Mbak Tata lantas mengangguk pelan. " Kalau begitu, lusa setelah aku pulang dari Manado, aku mau ketemu Cio." katanya tegas.

"Silahkan. Asal Cio mau. Nggak pernah ada toleransi untuk yang satu ini. Aku nggak mau ada pemaksaan lainnya." sahut Arga dengan tak kalah tegas.

Aku melirik Arga dan mantan istrinya ini bergantian. Nggak kebayang bagaimana rumah tangga mereka dulu. Tensinya tinggi terus kali ya mereka ini.

"Ke apartemen aja, Mbak. Supaya aku dan Mas Arga bisa temani Cio. Supaya dia mau." aku kembali bersuara.

Aku bisa merasakan Arga kembali melirikku, lengkap dengan alisnya yang bertaut.

Mbak Tata mendesah pasrah, "Okay. Aku ke sana lusa. Help me please ya, Le?"

"Nggak bisa."

Bukan. Itu bukan aku yang jawab. Tapi Bapak Arganta yang terhormat.

"Aku minta tolong sama Alle. Bukan sama kamu!" sahut Mbak Tata dengan suara yang meninggi.

Daebak. Jinjja daebak*

Kini mereka saling menatap dengan sengit. Sedangkan aku menatap mereka bergantian dengan mulut yang sedikit terbuka. Setelah beberapa detik, aku lantas menggelengkan kepalaku. Mencoba menyadarkanku dari adegan tarik urat di depanku ini.

Aku mengulurkan tanganku ke arah tangan Arga. Lalu menelusupkan jari-jariku di antara jari-jemarinya, lantas menggenggamnya erat.

"Aku akan bantu sebisaku ya, Mbak." putusku final.

Aku menoleh ke arah Arga. Berbarengan dengan kepala Arga yang kembali bergerak menghadapku. Kedua matanya kini menatapku datar. Membuatku agak sulit menelan ludah bahkan sekedar untuk bernafas normal.

Keputusanku ini, benar kan?

*Luar biasa. Sungguh luar biasa

OHANA [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang