#OhanaOHnana35 - Tensi tinggi

4.3K 552 28
                                    

Aku langsung bergegas ke atas begitu Mbak Tata dan Dave sudah pergi. Tapi begitu aku membuka pintu kamar, hanya ada Cio dan Paras yang masih terlelap. Pintu kamar mandi juga terbuka. Di mana Arga? Aku lantas memeriksa seluruh ruang yang ada di lantai atas, tapi tak ada Arga. Aku lalu kembali ke bawah.

"Mbak In, Bapak di mana ya? Liat nggak, Mbak?" tanyaku pada Mbak Iin yang sedang merapikan isi kulkas.

Mbak Iin menoleh ke arahku, "Itu di belakang, Bu. Lagi ngerokok kayaknya. Soalnya pintunya tumben ditutup."

Aku langsung melihat ke pintu pembatas antara dapur dan teras belakang yang memang tumben tertutup. Karena biasanya jika ada yang di bawah, pintu itu selalu dibuka untuk melancarkan sirkulasi udara di dalam rumah.

Aku menghela nafas berat sambil melangkahkan kakiku ke sana. Arga itu memang perokok. Tapi bukan perokok aktif. Biasanya dia hanya merokok kalau lagi sumpek atau lagi ada masalah yang dipikirkan aja. Dan saat ini, sudah pasti biang masalahnya adalah permintaan Mbak Tata dan Dave tadi.

Dan benar saja, begitu tanganku berhasil menggeser pintu, hidungku langsung bisa mencium bau asap rokok. Bau yang dulu juga sangat akrab kuhirup, selain karena lingkungan pertemananku yang aktif merokok, akupun dulu termasuk perokok meskipun hanya untuk sesekali. Tapi begitu aku menikah, aku benar-benar sudah berhenti merokok.

Arga langsung mematikan rokoknya begitu melihatku berjalan mendekatinya. Mungkin karena aku sedang hamil, karena sebelumnya sih biasa aja. Maksudku, dia akan tetap merokok meskipun aku ada duduk di dekatnya. Back again, aku bukan orang-orang yang anti asap rokok. Aku langsung duduk di kursi kosong yang ada di sebelah kanan Arga.

"Cepet banget ngerokoknya. Udah habis tiga batang aja." ucapku begitu melihat tiga puntung rokok yang sudah teronggok di asbak.

Arga menghelas nafasnya kencang. Kepalanya menengadah dan matanya dipejamkan dengan erat, membuat alisnya sedikit berkerut. Aku mengulurkan tanganku untuk mengusap lengannya. Mau ngomong, juga jadi bingung mau ngomong apa. Takut salah ngomong dan malah bikin Arga makin kesal.

"Bu, mau tak buatkan jus?" Mbak Iin muncul di ambang connecting door.

"Boleh, Mbak In. Sekalian yang banyak, buat Mbak Iin sekalian."

"Siap, Bu."

Aku kembali memusatkan perhatianku pada suamiku yang masih dalam posisi yang sama.

"Aku percaya Dave. Tapi aku nggak akan pernah percaya sama si Tata itu. Not again."

Aku menelan ludahku perlahan. Bingung harus merespon apa.

"Aku sudah pernah percaya sama dia. Tapi apa? Dia sudah merusak itu. Nggak ada benernya ngurus Cio."

Arga berdecak kencang sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Aku masih bisa terima kalau dia nggak cakap mengurus aku sebagai suaminya. Toh aku sudah besar. Bisa ngurus diriku sendiri. Tapi ini Cio. Anaknya. Darah dagingnya. Masih sekecil itu. Oh God!"

Tanganku bergerak semakin cepat mengusap-usap lengan Arga.

"Nggak ada usahanya juga buat minta hak asuh Cio waktu dulu kami proses cerai. Anteng aja. Seakan-akan nggak ada anak di antara kami."

Arga membuka matanya dan menegakkan duduknya. Dia menoleh sebentar ke arahku dan kembali menghadap lurus ke depan. Helaan nafas dan decakan selalu keluar dari mulutnya.

"Sekarang apa? Begitu tau nggak bisa punya anak lagi, dia mau minta Cio seenaknya gitu? Semudah itu?" Arga mendengus kesal, "Jangan harap."

Aku lantas mengikuti aksinya. Menghadap lurus ke depan. Melihat ke arah kolam renang dan sekitarnya yang mulai diterpa sinar matahari sore.

OHANA [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang