Tema: Sempurna
_________________________________________
"Kita di mana?" Ken menoleh ke sana kemari, masih berharap ada orang lain yang bisa mereka tanyai. Demi apa pun, berada di sini seperti berada di kota mati. Ingin sekali rasanya kembali ke stasiun, meminta kembali ke ibukota. Namun, untuk melihat jalan saja sulit---walau dibantu sedikit oleh lentera---bagaimana caranya bisa menuju ke sana? Lagi pula, Bella dan Viona juga entah ke mana.
Malam semakin larut, embusan angin yang menerpa terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang membuat Ken dan Michael lebih mengeratkan jaket masing-masing.
Menepuk pelan pundak Ken, Michael menunjuk salah satu bangunan besar di depan. "Lihat, Ken! Itu lampunya menyala, 'kan? Jangan-jangan di sana ada orang. Ayo, ke sana!"
Baru saja hendak melangkah, Ken menahan lengan Michael. "Gimana kalau itu cahaya hantu?"
"Hei! Kau pikir tengah syuting film fantasi ada cahaya hantu? Kau ini terlalu banyak menonton film perempuan yang ibunya menjadi beruang itu! Sudah, ikuti saja. Kalaupun hantu, biarkan saja. Dia tidak akan menyukaimu." Michael menarik paksa tangannya yang ditahan Ken, meninggalkan laki-laki berambut cokelat itu di belakang. Masa bodoh jika tak mau ikut. Sejauh ini, hanya itu satu-satunya bangunan yang lampunya menyala, tidak mungkin Michael menyia-nyiakan kesempatan bisa bertemu manusia selain Ken dan dirinya.
"Halo, permisi. Ada orang?" Michael mengetuk pintu bangunan besar di depannya. Di atas pintu tertulis kata "selamat datang di Hotel Wein".
Hotel Wein? Kening Michael mengerut. Bukankah ini hotel yang gurunya maksud? Hotel yang paling dekat dengan stasiun. Menoleh ke sana kemari, Michael menghela napas. Jadi, ini yang paling dekat? Saking dekatnya Michael sampai tidak bisa melihat lampu stasiun yang menyala redup itu.
Merasa tak ada yang menyahut, Michael memutar knop pintu. "Eh? Tidak terkunci. Masuk?"
Ken menggeleng pelan. "Jangan, tidak baik masuk sembarangan ke rumah orang."
"Tadi kau bilang itu cahaya hantu, sekarang bilang orang. Sudahlah, masuk saja. Aku tidak mau mati kedinginan."
Decitan pintu terdengar bersamaan dengan pintu yang dibuka lebar. Ken terus berjalan di belakang Michael sambil memegang baju lelaki berkulit putih itu. Sesekali Michael menepis tangan Ken saat merasa risi.
"Dasar penakut!"
"Bagaimana tidak takut? Kau tidak lihat tempat ini sa---"
"Siapa kalian?"
Menoleh ke arah suara, Ken dan Michael terperanjat seketika saat melihat sosok berpakaian serba putih berdiri di ujung tangga tengah menatap datar keduanya.
"Nickel, kenapa belum tidur?" Seorang pria yang mengenakan pakaian formal muncul. Michael dan Ken tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya, tetapi tubuh besarnya terlihat mengerikan.
Menoleh sebentar, Nickel menjawab, "Sepertinya kita kedatangan tamu, Ayah. Selamat datang di Hotel Wein."
Menuruni tangga, Nickel menyingkirkan rambut putihnya yang menutupi mata. Bibir merahnya tersenyum sampai matanya ikut menyipit. "Kalian hanya berdua?"
Menelan ludah dengan susah payah, Michael merasa dia benar-benar salah memilih tempat liburan. Entah matanya yang mulai buram atau apa, orang-orang di sini tampak pucat, tetapi Nickel lebih segar daripada penjual lentera misterius tadi. Namun, dilihat dari sisi mana pun, pria yang Nickel panggil ayah itu lebih menyeramkan daripada si penjual lentera. Sekarang Michael bisa melihat wajahnya dengan jelas. Luka goresan di dekat mata dan kulit pucatnya membuat dia terlihat seperti drakula.
"Ha-hai, namaku Michael dan ini temanku, Ken."
Nickel mengangguk pelan. "Aku Nickel dan ini ayahku, pemilik sekaligus manager hotel ini. Ayo, silakan duduk di sana, aku akan membuatkan minuman hangat."
***
Langkah Denish terhenti di ruangan yang tampak cerah oleh sinar lentera. Sepanjang lorong menuju kemari sangat gelap, segelap apa yang dilihatnya selama ini. Denish memang tidak bisa melihat, tetapi dia bisa merasakan hangatnya lentera yang tergantung di sana-sini.
"Akhirnya kau datang juga, Denish." Suara serak layaknya seorang penyihir terdengar, mengisi kesunyian di antara tiga orang yang ada di dalam ruangan.
Denish tak menjawab, kakinya melanjutkan langkah, mendekat ke arah Veyt yang berdiri di depan kendi yang tengah memasak ramuan.
Wanita yang mengenakan jubah bertudung itu mendekat ke arah kendi, menatap ramuan yang mulai mendidih sambil tersenyum. Dia menuangkan beberapa tetes cairan berwarna hijau, disusul beberapa helai daun yang Veyt bawa tadi.
Tangannya terangkat, tongkat yang dia pegang menyala, seiring dengan mantra yang dibacanya. "Esto perfectus!"
Ramuan di depannya berpendar hijau, tampak bersinar indah. Kontras dengan senyuman si penyihir yang sangat menyeramkan.
Menggerakkan tongkatnya, ramuan hijau itu melayang, membentuk bulatan seperti gumpalan air. Tangannya yang tak memegang tongkat dia gerakkan, bergerak sesuai pola khusus. Dalam sekejab, sebuah gumpalan asap muncul. Perlahan semakin melebar, benda-benda di sekitar turut bergetar, bergeser sedikit demi sedikit, sementara si penyihir semakin tersenyum puas, mengabaikan Veyt dan Denish yang berusaha bertahan agar tak terhisap.
Dalam satu jentikan jari, kabut itu hilang. Benda yang tadinya begetar langsung terhenti, angin kuat yang seakan-akan bisa menyedot mereka ke dalamnya hilang.
"Ramuanku sudah sempurna. Kita bisa melanjutkan rencana, menyedot semua orang yang tersisa di kota ini ke dalam kabut, lalu menguasai kota ini hahahah!"
Tangannya yang memegang tongkat terangkat tinggi, tawanya disusul oleh suara Veyt yang ikut menggema. Berbeda dengan Denish yang terdiam sambil menggenggam tongkatnya erat.
![](https://img.wattpad.com/cover/273317507-288-k505243.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fog Witch
FantasyDipersembahkan untuk Daily Event @PseuCom. Semoga aja nggak nebar aib. Ya ... gitu lah. Intinya ada kabut sama sihir-sihirnya.