Tema: Pengobatan
_____________________________________
"Sudah kubilang berapa kali, jangan ceroboh! Kalau begini kau bukan membantu." Si penyihir berdiri di depan Veyt yang duduk di lantai. Laki-laki berpakaian serba hitam itu duduk dengan kaki diluruskan, sesekali meringis saat merasa sesak di dadanya.
Pagi tadi Veyt pergi tanpa meminta izin. Dia yang sudah muak tak kunjung menyelesaikan misi di sini pergi menjalankan misi sendiri tanpa perintah. Lagi pula, misinya itu-itu saja. Memerangkap siapa pun yang mereka temui di jalan ke dalam labirin kabut buatan si penyihir. Bagi Veyt itu bukan hal sulit.
Namun, di luar dugaan. Orang yang Veyt temui bukan orang biasa. Orang berbadan tinggi tegap itu mampu menghindari sedotan dari kabut yang Veyt ciptakan, balas menyerang Veyt dengan membalikkan mantra.
Serangan yang dibalikkan pun dua kali lipat membuat Veyt alih-alih tersedot ke dalam labirin kabut, malah terkena serangan yang sangat kuat. Serangan yang diluncurkan langsung menghantam dada Veyt, membuatnya terpental beberapa meter.
Sibuk dengan rasa sakit di dada, saat membuka mata, sosok itu sudah sirna. Sosok berjubah yang dijumpainya tadi pagi tak pernah dia temui di mana pun. Selama ini, hanya kalangan manusia biasa yang dia temui. Tentu saja dengan mudah bisa menyedot mereka yang tidak bisa memiliki sihir. Hanya dua gadis baru itu yang memiliki sihir, itupun kalau dilihat dari kemampuannya mereka masih tingkat bawah.
"Kau terlalu buru-buru, Veytaz Baskerville." Merendahkan tubuhnya, si penyihir langsung mengarahkan tongkatnya ke dada Veyt, merapal mantra dengan sangat pelan. Detik berikutnya, sebuah cahaya keluar dari ujung tongkat, terbang ke arah Veyt.
Cahaya merah yang berpendar itu masuk ke dalam dada Veyt. Sejenak, Veyt menahan diri untuk tidak berteriak. Rasanya seperti ditikam ribuan jarum.
Melihat anak buahnya yang terlihat kesakitan, si penyihir berucap, "Tahan sebentar. Tahan sampai aku selesai."
Menggigit bibir bawahnya, Veyt memejamkan mata erat. Tangannya mengepal, meremas bagian jaket yang dia kenakan. Beberapa detik setelahnya, dia terkapar. Matanya terpejam sempurna, deru napasnya teratur. Keringat membasahi tubuh Veyt, sampai rambut hitam legamnya terlihat lepek. Kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya.
Denish yang sejak tadi hanya mendengar suara-suara, termasuk suara hati Veyt yang merancau kesakitan hanya terdiam di tempat. Tubuhnya berdiri tegap, pandangannya lurus ke depan. Beberapa detik ruangan usang itu sunyi, sebelum akhirnya suara langkah kaki yang menjauh terdengar.
Merasa si penyihir sudah pergi, Denish berbalik badan, meninggalkan Veyt yang pingsan di belakang. Dia tak peduli. Dia hanya ingin mencari ketenangan sebentar. Semua ini menyiksanya.
***
Pasar yang mereka datangi tidak seperti yang dibayangkan. Dalam pikiran Michael dan Ken, pasar akan penuh oleh suara penjual memanggil pembeli, banyak barang-barang dagangan yang bisa dijadikan buah tangan saat kembali ke ibukota nanti. Namun, semua itu hanya ekspektasi. Berapa kali pun mengucek mata, hasilnya sama.
Pasar ini sama sekali tidak seperti pasar pada umumnya. Mereka sendiri tak yakin menyebut ini pasar. Jumlah penjual di sini dapat dihitung menggunakan jari. Suara yang terdengar hanya suara saat bertransaksi, bukan penjual memanggil pembeli. Penjual di sini pun hanya menjual bahan pokok dan bahan membuat ramuan. Tempat penjual bahan ramuan pun tidak banyak.
Selama memasuki area pasar, Michael hanya menoleh ke sana kemari, menatap datar semua tempat di sekitarnya. Entah kesialan apa lagi setelah ini. Ken yang berjalan di dekatnya juga hanya menendang-nendang kerikil, tak mampu menerima kenyataan tentang pasar yang lebih mirip disebut pemukiman kecil.
"Di sana tempatnya! Di sana tempatku membeli gading narwa." Nickel menunjuk salah satu kedai, tempatnya paling ujung di antara penjual lain. Bentuk kedainya sangat kecil, hanya cukup untuk satu orang di dalam dan tidak ada satu pun pembeli.
Baru saja hendak berjalan, suara orang mengaduh membuatnya menoleh. Tak jauh dari tempatnya berdiri, gadis yang sangat familier duduk di atas aspal, meraba-raba permukaan aspal yang rata.
Itu gadis buta yang Nickel temui hari itu.
Berlari kecil menghampiri, Nickel membantunya berdiri, lalu memberikan tongkat yang terletak tak jauh dari gadis itu. "Kau tidak apa-apa?"
"Iya."
Melihatnya Michael dan Ken ikut menghampiri, menatap Nickel dan gadis asing itu bergantian. Dari sini Michael paham, bahwa gadis yang sempat Nickel bicarakan adalah gadis ini.
"Kakimu terluka, mungkin tergores aspal. Ayo, duduk di sana, aku akan---"
"Tidak, terima kasih. Aku akan per---"
"Biar aku saja." Michael menunduk, menyentuh betis gadis itu yang terluka. Bibirnya merapal mantra, beberapa detik setelahnya luka itu hilang.
Bersamaan dengan tangan Michael yang tak lagi menyentuh kakinya, tubuh Denish mundur satu langkah ke belakang. Seolah-olah ada sesuatu yang membuatnya terpental. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Apa itu tadi?
Melihat reaksi Denish yang berlebihan, Michael mengerut. "Kau kenapa?"
"Tidak ada. Aku pergi dulu, terima kasih."
"Tunggu! Siapa namamu?" Nickel yang memang penasaran sejak pertama kali bertemu langsung bertanya. Barangkali dia bisa mendapat sedikit petunjuk. Dia yang sangat menyukai sihir tahu banyak tentang nama penyihir dan para pengikutnya.
Menoleh sebentar, Denish menghela napas. "Denish Royn."
Dia melangkah cepat, buru-buru meninggalkan Nickel dan yang lain. Laki-laki yang mengobati lukanya tadi ... sepertinya bukan manusia biasa. Ada kekuatan besar yang mengalir di dalam darahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Fog Witch
FantasíaDipersembahkan untuk Daily Event @PseuCom. Semoga aja nggak nebar aib. Ya ... gitu lah. Intinya ada kabut sama sihir-sihirnya.