Tema: Merendahkan
______________________________________
Beberapa lama dipapah, Veyt akhirnya bisa berjalan sendiri walau langkahnya diseret. Viona dan Bella yang berjalan di sampingnya masih menatap iba, tetapi Veyt selalu menolak kebaikan yang mereka berikan, menepis kasar tangan dua gadis itu saat berani menyentuhnya.
Tangan Veyt yang direntangkan ke samping membuat Bella dan Viona menghentikan langkah, sementara Veyt memejam, memfokuskan pendengarannya.
"Ada sesuatu di depan sana. Apakah kalian ada yang bisa membangun dinding pelindung?" setelah membuka mata, Veyt bertanya tanpa menoleh pada dua gadis di sampingnya.
Sayang sekali, satu kata yang Bella lontarkan membuatnya menghela napas. Gadis itu berkata tidak, dilanjut oleh Viona yang mengatakan mereka belum sampai pada tingkatan itu karena masih pemula dan baru mempelajari dasar-dasar sihir. Untuk kesekian kalinya Veyt menghela napas kecewa.
"Jadi, kita harus bagaimana?" Bella menatap Veyt penuh harap, berharap laki-laki berambut acak-acakan itu memiliki solusi. Mustahil bagi mereka untuk sembunyi. Selain tak ada dinding yang bisa dilihat sejauh api menerangi, mereka tak menguasai ilmu sihir tingkat tinggi untuk membuat tubuh tak terlihat.
Menoleh sambil menatap Bella datar, Veyt menjawab, "Aku merasakan auranya tidak terlalu kuat, jadi kita harus melawan. Dengan sisa tenaga yang kita punya."
"Tapi ... aku takut."
"Kalau begitu aku akan melemparkanmu untuk menjadi santapan monster itu agar aku dan Viona bisa melarikan diri. Sudahlah, segera bersiap, monster itu sudah dekat." Veyt berusaha mengumpulkan sihir untuk menyerang dengan mengandalkan tenaganya yang tersisa sedikit. Kakinya terasa semakin lemas seiring dengan kekuatan di tangannya yang semakin kuat.
Suara langkah kaki yang sangat besar terdengar semakin dekat, perlahan semakin kuat, membuat Veyt yang tadinya berdiri langsung jatuh berlutut karena lantainya bergetar. Kakinya tak mampu menyeimbangkan tubuh, sementara sihir penyerang yang dia kumpulkan energi di tangan sirna begitu saja.
Berdecak sebal, Veyt langsung mengumpulkan kembali kekuatannya, walau dia yakin tak akan sekuat tadi karena monster-monster itu sudah semakin dekat. Tepat setelah tubuh besar berbulu hitam berdiri di depannya hendak menonjok dengan tangan besarnya, Veyt langsung mengarahkan kedua tangannya ke depan. Cahaya merah muncul, menembus langsung tubuh beberapa monster di hadapannya.
Bella sendiri langsung mengeluarkan sihir api, membakar monster di depannya, disusul Viona yang mengeluarkan kartu tombak tujuh cahaya disusul sihir pelemah.
Monster-monster yang tadi menyerang langsung sirna menjadi asap, beterbangan sangat tinggi sampai mereka tak mampu melihatnya lagi. Sambil mendongak, Veyt berusaha bangkit. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman sinis. "Mudah sekali."
***
Pintu terakhir menuju Ladoria perlahan terbuka, mereka mulai terbiasa dengan getaran-getaran yang cukup kuat, sehingga mampu berdiri tegap tanpa berpegangan pada dinding gua.
Mata Nickel membulat menatap sebuah permata merah berpendar melayang di atas sebuah batu yang dilapisi pelindung berwarna merah transparan.
Baru saja hendak maju, bahu Nickel ditahan Michael, memberinya kode untuk tetap diam di tempat. Pelindung itu bisa saja menyakitinya, atau mungkin ada perangkap lain yang bisa membuatnya celaka. Intinya mereka harus selalu waspada.
Nickel langsung menoleh ke belakang saat Garry melancarkan serangan pertama yang langsung mengenai musuh di belakangnya. Berkali-kali Nickel mengedipkan mata, berusaha meyakini bahwa yang dilihatnya benar. Mereka semua manusia, mengapa diserang?
"Mereka sudah dikendalikan. Mereka tawanan penyihir yang mengalami keputusasaan. Dikendalikan untuk menghalang siapa pun yang akan merebut permata ruby sebelum dia mengumpulkan kekuatannya. Dan menghabisi tawanan keras kepala yang berhasil kemari."
Mendengar ucapan Denish, Garry langsung maju, berdiri di depan Nickel yang masih sulit mencerna semua.
Orang-orang itu melangkah lebih dekat, Garry langsung bersiap menyerang bersama Michael dan Ken, sementara Nickel diminta berdiri di belakang bersama Denish yang sebenarnya bisa menjaga diri sendiri.
Sementara Garry dan dua temannya melawan orang-orang itu menggunakan sihir, Denish yang berdiri tegap tiba-tiba mendorong Nickel, berbalik arah menyerang orang-orang yang hendak menyerang mereka dari belakang menggunakan sihir penyerang.
Mata Nickel langsung membulat, secara spontan kedua tangannya terangkat ke udara sambil berucap lantang, "Págoma tou chrónou!"
Seluruh orang-orang yang tadinya menyerang langsung berhenti bergerak, tersisa Nickel, Garry, dan teman-temannya yang bisa bergerak bebas. Merasa memiliki peluang besar, Garry langsung menyerang orang-orang itu bersamaan dengan Michael dan Ken.
"Syndyasméni epíthesi," ketiganya berucap bersamaan, cahaya muncul dari tangan, menyerang orang-orang yang tak bergerak itu hingga tubuhnya ambruk ke tanah.
"Cih, selemah ini rupanya," Ken mencibir sambil menatap tubuh manusia yang ambruk di hadapannya, lalu beralih menatap permata ruby seperti yang lain
Sebelum maju ke langkah berikutnya, Garry menatap Nickel penuh selidik. "Bagaimana kamu bisa menggunakan sihir pengendalian waktu?"
"Em ... aku mempelajarinya melalui buku yang kutemukan di ruangan itu."
Mendengar kalimat 'ruangan itu', Garry langsung paham ruangan mana yang Nickel maksud. Ruangan yang merupakan awal dan berakhirnya kebahagiaan Garry. Dalam hati berharap Nickel tak bernasib sama seperti sang ibu yang dikuasai kegelapan.
Saat itu, Garry yang baru saja kembali tak menemukan istrinya di mana pun, hanya ada Nickel yang saat itu masih bayi tengah tertidur sendirian di dalam kamar. Keadaan rumah yang berantakan membuatnya semakin cemas. Setelah mencari ke seluruh penjuru rumah, Garry menemukan istrinya duduk di dalam ruangan yang merupakan tempat mereka mendalami sihir.
Saat itu Hotel Wein tidak terlalu ramai karena bukan waktu libur panjang. Hanya tiga sampai lima kamar yang terisi. Melihat istrinya duduk tenang, Garry menghampiri, menyentuh pundak wanita cantik itu lembut. Di luar dugaan, istrinya langsung berbalik badan, meraih pecahan kaca yang ada di meja, lalu menyerangnya membabi buta.
Garry sekuat tenaga menepis, tetapi kaca itu menggores bagian sekitar matanya membuat dia memejam untuk menahan sakit. Setelah membuka matanya lagi, sang istri telah hilang dari pandangan. Sejak saat itu Garry tak pernah bertemu dengan istrinya lagi. Aura kegelapan pekat yang ditinggalkan istrinya membuat Garry memutuskan untuk meninggalkan dunia sihir sambil mencari informasi tentang keberadaan istrinya dan bertekad akan menjauhkan sang anak dari sihir atau semacamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fog Witch
FantasyDipersembahkan untuk Daily Event @PseuCom. Semoga aja nggak nebar aib. Ya ... gitu lah. Intinya ada kabut sama sihir-sihirnya.