2. Pendatang

41 12 1
                                    

Tema: Intrik

________________________________________

"Kenapa stasiun ini sepi sekali?" Laki-laki yang berjalan di paling belakang di antara empat orang lainnya menoleh ke sana kemari, mencari orang selain mereka di stasiun.

Kota Oldenia merupakan tempat pemberhentian terakhir kereta. Semua penumpang sudah turun di stasiun sebelumnya, tersisa empat remaja yang memang hendak menuju ke Kota Oldenia untuk mengisi liburan panjang.

Menurut informasi dari gurunya yang pernah kemari tiga tahun lalu, Kota Oldenia sangat cocok dijadikan destinasi berwisata melepas beban pikiran. Pemandangan yang masih sangat khas dengan benda-benda dan bangunan kuno di sepanjang jalan tampak memanjakan mata, seperti tengah mendatangi lokasi syuting film fantasi.

Konon, di sini penjualnya ramah-ramah, tempat penginapannya juga nyaman. Saat malam hari, di sini akan terasa tengah musim salju. Sangat dingin.

Namun, itu hanya katanya. Michael dan teman-temannya tak menemukan semua itu di sini. Sudah lama menanti-nanti liburan panjang untuk pergi kemari, tiba di sini mereka mendapati hal yang sulit dipercaya. Semua tak sesuai ekspektasi.

Tidak ada keramaian yang diceritakan, penjual ramah di pinggir jalan, bangunan-bangunan kuno indah di sepanjang perjalanan, juga tempat melepas beban pikiran yang diharapkan. Semuanya kontras dengan apa yang sang guru kisahkan dengan sangat bangga.

Alih-alih melepas beban pikiran, pergi ke kota ini sama saja menambah beban pikiran. Pikiran takut akan hantu atau penjahat yang bisa datang kapan saja. Kota Oldenia terlihat seperti kota mati yang tertutup kabut, sampai-sampai mereka yang tiba di sini malam hari harus berjalan sambil meraba-raba sekitar, sesekali mengipaskan tangan untuk memperjelas pandangan.

"Hai, apakah kalian mau membeli lentera? Kalian tidak akan bisa melihat apa pun tanpa lentera."

Keempat remaja itu terperanjat kaget saat mendengar suara serak seorang laki-laki yang berdiri tengah berjualan lentera di dekat stasiun. Bibir pucatnya tersenyum ke arah mereka membuat Michael tak yakin menyebutnya manusia. Dia lebih mirip mayat hidup karena kulit pucatnya.

Menoleh ke temannya untuk meminta persetujuan, Michael langsung membeli masing-masing satu lentera untuk temannya. Dia tidak tahu apa yang akan ada di depan sana, jika ada lentera paling tidak bisa melihat sesuatu yang berisiko mendatangkan kesialan.

Menatap punggung empat remaja yang berlalu pergi, si penjual lentera itu tersenyum miring. Matanya yang semerah darah menatap penuh kemenangan seolah-olah melihat kejayaan di depan sana.

Saatnya bermain.

Suara jentikan jari membuat empat remaja itu menoleh. Si penjual lentera hilang beserta dagangannya, bahkan satu-satunya lampu jalan yang masih menyala di dekat penjual tadi ikut mati.

"A ... apa itu tadi?" Michael masih mencerna yang terjadi, menoleh ke sana kemari, memastikan penjual lentera itu hanya berpindah tempat. Namun, dipikir seperti apa pun akan sulit diterima logika. Tidak mungkin penjual lentera itu berpindah tempat secepat itu bersama dagangannya sekaligus, bahkan sampai lampu jalan ikut mati.

"Jangan-jangan ...." Bella, si gadis berambut pirang itu meremas jaketnya kuat. Bulu kuduknya terasa meremang, ada yang tidak beres di sini.

"Lihat! Hantu!" Kane menunjuk sesuatu di kejauhan sana, sesuatu berwarna putih berpendar kemerahan. Empat remaja itu langsung berlari tunggang langgang, tak peduli pada satu sama lain, bahkan tanpa sadar mulai berpencar.

***


Berlari cukup lama membuat Bella dan Viona lelah. Dua gadis bertubuh langsing itu berhenti berlari, mengatur napas yang terengah-engah.

Keduanya menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan Kane dan Michael yang tak tahu di mana. Mereka berdua saja mana bisa menjaga diri?

Tengah mengedarkan pandangan, seorang gadis yang duduk di atas aspal membuat mereka terkejut. Sejenak sempat berpikir dia hantu, tetapi diurungkan saat gadis itu terlihat tengah mencari sesuatu dan tubuhnya menyentuh tanah.

"A-apa yang kau cari?" memberanikan diri, Bella bertanya walau suaranya bergetar.

Tangannya yang dibalut sarung tangan meraba-raba aspal, tetapi pandangannya lurus ke depan. "Bisa tolong ambilkan tongkatku jika kalian melihatnya?"

Menatap Viona sambil meringis, Bella baru menyadari bahwa gadis ini buta. Menoleh ke sana kemari, dia langsung meraih tongkat yang terletak tak jauh dari kakinya, mengembalikan pada gadis cantik nan manis itu, lalu membantunya berdiri.

"Terima kasih."

Gadis itu tersenyum tipis, mata kelabunya menatap lurus ke depan. Dalam pikirannya dipenuhi suara-suara menjengkelkan mengulang-ulang kata-kata yang entah sudah beberapa kali.

Giliranmu, Denish.

Suara yang terdengar di kepalanya seolah-olah enggan berhenti, membuat gadis itu memegangi kepala yang terasa sakit, sementara tangan satunya menggenggam erat tongkatnya. Bella dan Viona yang melihat itu langsung menyentuh pundaknya, merasa khawatir saat melihat tingkah aneh yang terasa sangat tiba-tiba.

"Kau kenapa? Kau baik-baik saja, 'kan?" Viona menatapnya lekat, sambil mencari sesuatu yang mungkin menyakiti gadis asing ini.

Detik berikutnya, gadis buta itu mendongak, mata kelabunya tampak menyeramkan, sementara bibir merahnya tersenyum miring. "Aku baik-baik saja, tetapi tidak dengan kalian."

Dia mengangkat tongkatnya, merapalkan mantra secara pelan, kemudian muncul pusaran kabut yang menarik Bella dan Viona ke dalamnya.

"Bagus, Denish Royn. Usahamu dan Veyt sangat memuaskan. Mari, kita lanjutkan ke rencana berikutnya. Kita harus menghancurkan mereka."

Suara di kepalanya kembali muncul, disusul suara tawa serak yang sedikit memekakkan. Walau sudah hampir setiap hari mendengarnya, entah mengapa Denish merasa belum terbiasa.

The Fog WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang