Tema: Kabur
_____________________________________
"Aduh ...."
Rasa sakit di dadanya belum hilang, sementara cap di pergelangan tangannya berhenti menyerang. Veyt menatap sekitar yang gelap, bahkan kabut-kabut ini semakin menghalang pandangan. Jalanan yang sangat gelap dan sepi membuat Veyt enggan bangkit. Lagi pula, tak akan ada siapa pun yang melihatnya. Saat malam begini para warga akan berdiam di dalam rumah masing-masing, kecuali orang berjubah yang tak Veyt ketahui identitasnya. Namun, sepertinya malam ini orang itu tidak muncul seperti biasa.
Menyandarkan kepala pada tembok di belakangnya, Veyt mendongak. Sudah sangat lama dia tak melihat langit yang cerah. Sudah berbulan-bulan, bahkan dia pun tak ingat kapan terakhir kali bisa duduk santai seperti sekarang.
Sebenarnya dia sendiri tak ingin terikat sesuatu. Dia tak ingin dianggap lemah, tetapi tak bisa disangkal bahwa dia memang bukanlah orang yang kuat.
"Cepatlah kembali ke sini, Veyt! Jangan coba-coba untuk kabur."
Suara itu lagi. Veyt mendengkus sebal, masih enggan bangkit untuk kembali ke tempat si penyihir. Ingin rasanya dia kabur, tetapi cap ini lagi-lagi akan menyiksanya. Sudah berkali-kali dia mencari cara untuk menghilangkan cap merepotkan ini, tetapi rasanya seperti mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Sangat sukar dilakukan, semua yang dilakukannya sia-sia.
Berusaha bangkit, rasa sakit di dada dia tahan, sesekali meringis sambil memegang tembok untuk menahan agar tubuhnya tidak roboh. Melihat lagi cap perjanjian di tangannya, Veyt langsung berdecak. Seharusnya dia tak perlu terikat perjanjian. Lebih baik menjadi seperti Denish.
Gadis pendiam itu tak terikat perjanjian dengan cap merepotkan, tetapi karena kosongnya pikiran membuat si penyihir mampu mengendalikannya. Ibaratnya Denish seperti boneka. Segala tindak-tanduk Denish selama ini dikendalikan oleh si penyihir. Namun, semenjak pindah ke Kota Oldenia, pikiran Denish semakin sulit dikendalikan. Veyt sering melihat sendiri si penyihir sering gagal sampai mendesis kesal.
Kejadian pertama kali datang kemari, si penyihir tak mampu mengendalikan pikiran Denish untuk membuat semua orang masuk ke dalam labirin kabut. Akibatnya, sebagian kecil orang di sana bisa lari, termasuk Nickel yang saat itu berkontak langsung dengan Denish. Entah apa yang terjadi, si penyihir sering mengeluhkan kalimat 'kekuatan ini lagi' saat dirinya tiba-tiba gagal mengendalikan Denish. Sekarang Denish berhasil lepas sepenuhnya, dia tak akan mengikuti perintah si penyihir lagi. Berbeda dengan dirinya yang harus menurut jika tak ingin disiksa oleh cap menjengkelkan ini.
Menoleh ke depan, Veyt masih berusaha menahan rasa sakit yang menjalar hampir ke seluruh tubuh. Rasa sakit di dadanya sudah sedikit berkurang, tetapi denyutan di pergelangannya muncul lagi bersamaan dengan niatan kabur yang kembali muncul di dalam hati.
Terlalu sering berkeliling di sekitar sini, Veyt sampai hafal jalan walau kabut menghalang pandangan. Jika dia melangkah ke depan, dia akan pulang, tetapi jika berbalik, dia akan ke stasiun.
Berbalik badan, Veyt tak peduli jika cap ini akan menyiksanya. Bagaimanapun, dia harus segera pergi. Baru beberapa langkah, rasa sakit di pergelangan tangannya langsung terasa bagaikan disetrum.
"Argghh!"
"Sudah kubilang, sejauh apa pun kau mencoba, semua sia-sia," lagi-lagi si penyihir berucap. Mungkin dia tengah memperhatikannya melalui cermin pelacak yang biasa digunakan. Mungkin juga si penyihir tengah menyunggingkan senyum miring, mengejeknya yang terlihat lemah.
Tanpa memedulikan tawa mengejek yang menggelegar di kepalanya, Veyt terus melangkah. Rambut hitamnya yang acak-acakan beterbangan ditiup angin malam, sementara mulutnya terus meringis pelan. Semakin lama tawa si penyihir semakin menggelegar, kepalanya terasa akan pecah.
"Cobalah kabur sesuka hatimu, Veyt. Pada akhirnya, kau akan tetap kembali ke sini. Manusia lemah sepertimu tak akan bisa menahan siksaan cap yang kuberikan."
Cara bicaranya terdengar pongah seperti biasa, disusul suara tawa yang membuat pening di kepalanya semakin bertambah. Alih-alih memutar badan untuk membatalkan niatan, Veyt terus berjalan. Jika tidak salah, sedikit lagi dia akan tiba di stasiun. Gapura bertuliskan selamat datang di Kota Oldenia tampak di hadapan, pergelangan tangannya yang mulai mengeluarkan darah dia abaikan. Baru saja beberapa langkah keluar dari gapura, tubuhnya ambruk, matanya langsung terpejam rapat, sementara pergelangan tangan yang mengeluarkan darah perlahan pulih kembali.
![](https://img.wattpad.com/cover/273317507-288-k505243.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fog Witch
FantasyDipersembahkan untuk Daily Event @PseuCom. Semoga aja nggak nebar aib. Ya ... gitu lah. Intinya ada kabut sama sihir-sihirnya.