16. Penyerangan

22 8 2
                                    

Tema: Serangan

__________________________________

Di tengah keheningan yang melanda, angin kencang datang secara tiba-tiba. Jendela yang ditutup rapat terbuka begitu saja, menerbangkan tirai yang ditumpuk di salah satu sisi jendela.

Kepala yang semula ditundukkan langsung mendongak, menatap ke luar, di mana pusaran kabut besar tercipta. Denish yang duduk tegap langsung mencengkeram sisi kasur, sementara Ken sudah berteriak saat tubuhnya perlahan ditarik oleh gravitasi kuat dalam pusaran kabut.

Bibir digigit kuat, mata memejam, sementara tangan terus mencengkeram. Michael dan Nickel sama-sama tidak membawa ramuan yang mereka buat, terpaksa harus berusaha bertahan untuk tidak turut bernasib nahas.

"Nickel!" suara teriakan Garry terdengar, pria yang beberapa waktu lalu mengamuk itu langsung menciptakan dinding penghalang transparan yang mengurung dirinya dan empat remaja di sana.

"Kalian pergi dulu." Tanpa banyak basa-basi, Nickel dan yang lain langsung pergi, meninggalkan Garry seorang diri yang masih terkurung di dalam dinding penghalang transparan.

Menoleh ke arah kabut yang masih terlihat kuat, tampaknya si pemilik kabut belum menyadari bahwa target-targetnya sudah pergi. Memang dasar anak ceroboh. Dalam sekali hentakan, pusaran kabut itu lenyap, menyisakan asap-asap kecil seperti asap rokok.

Garry kembali menutup jendela rapat-rapat, menarik kembali tirai agar menutupi pandangan dari luar. Sebelum itu, dia sempat menengok ke luar, mencari orang yang berani berulah di rumahnya siang-siang. Pagi buta saja dia mampu dikalahkan, menyerang siang-siang memang bukanlah pilihan untuk menang.

Di bawah sana, laki-laki yang sama tengah memegangi dadanya sambil sesekali terbatuk. Langkahnya gontai, sebelum benar-benar menghilang dia menoleh ke arah jendela tempat Garry memperhatikannya. Sudah dua kali dia dikalahkan secara telak, tetapi belum jera juga.

***

"Arrghh," Veyt meringis tatkala sengatan di pergelangan tangannya menambah penderitaan yang dia alami.

Tanda berupa goresan berwarna hitam di lengan kirinya itu merupakan cap perjanjian yang membuatnya mau tak mau harus mengikuti perintah sang penyihir. Cap itu dibuat langsung oleh si penyihir saat pertama kali menolongnya. Saat itu Veyt yang kelaparan di tengah kerumunan karena kabur dari rumah paman dan bibinya dibantu oleh wanita berjubah yang mengenakan topeng. Dia enggan tinggal bersama paman dan bibi yang memperlakukannya tak baik semenjak ibunya meninggal saat Veyt berusia tujuh tahun. Dia tak pernah tahu rupa ayahnya. Sang ibu bahkan enggan bercerita.

Kala itu dia dibawa ke ruangan yang gelap, berjalan lurus, lalu masuk ke ruang bawah tanah. Di sanalah awal mula perjanjian dibuat. Si penyihir menanyakan apa yang Veyt inginkan, bersedia atau tidak untuk mengabdikan diri.

Dengan tawaran yang menggiurkan, Veyt langsung percaya. Saat itu usianya baru menginjak sembilan tahun. Tangan kirinya diraih penyihir itu saat dia mengatakan setuju. Dengan sangat tega sang penyihir menggoreskan tongkat yang ujungnya tajam, disusul oleh rapalan mantra yang dulu dia anggap omelan.

Setelah menginjak usia tiga belas tahun, Veyt yang mulai remaja paham bahwa si penyihir hanya menjadikannya kaki tangan, memanfaatkan untuk melakukan ini-itu. Saat itu dia berniat lari, mengatakan kebohongan ingin mencari angin. Namun, baru tiba di depan pintu keluar, tangannya terasa disetrum. Veyt yang belum tahu menahu mengenai konsekuensi perjanjian langsung berteriak kesakitan.

Mungkin teriakannya sangat keras sampai-sampai si penyihir datang sambil mengatakan agar dia membuang jauh-jauh pemikiran untuk kabur. Di situlah si penyihir memberi tahu tentang konsekuensi yang akan dia terima jika berani berniat menjadi pengkhianat.

Sudah berkali-kali dia membuang keinginan untuk berkhianat, tetapi gagal. Berkali-kali juga cap itu menyerangnya, membuat dia menderita selama beberapa saat sampai dia mampu menghilangkan niatan untuk lari.

Bersandar pada tembok besar yang merupakan pagar salah satu rumah, Veyt meluruskan kakinya. Rasa sakit di dada akibat serangan yang dia dapat kedua kalinya terasa berkali-kali lipat lebih sakit. Bagaikan merasa de javu, Veyt tahu betul siapa yang bisa melakukan penyerangan balik seperti ini.

Ah, sial sekali harinya. Rasa sakit akibat setruman cap perjanjian perlahan hilang, tetapi Veyt masih enggan pulang. Membiarkan angin membelai wajahnya, Veyt merasakan ketenangan saat memejamkan mata.

The Fog WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang