Alvan menyenderkan badan letihnya disenderan sopa yang berada diruang keluarga.
"Aa tau nilai hanya angka, tapi kamu harus tau sepenting apa angka itu buat keberlangsungan masa depan kamu," ujar seseorang yang diyakini kakak dari remaja berusia 16 tahun ini.
"Ade udah berusaha," balasnya acuh.
"Usaha apa yang dimaksud kamu? Orang mainnya cuma main game? " cibir Andra, kakak Alvan yang bernama Alandra Syafiq Adisatya.
Alvan tak langsung menjawab, malah mengambil remot Tv dan menyalakanya. Namun baru saja ia layar itu menyala Andra menyambarnya dan mematikan kembali layar televisi yang Alvan nyalakan.
"Aa," kesalnya.
"Dengerin dulu bisa gak sih,van? Susah banget ya ngehargain orang yang lagi bicara?" cerocos Andra jengkel.
"Aa gak sebawel ini ya, udahlah A nilai nya gak buruk-buruk banget," kesal Alvan.
"Gak buruk katanya? Tapi dimata Aa ini buruk,"
"Ya terus aku harus gimana? Komplen sama gurunya kenapa dapat nilai kayak gini?"
Andra menghela nafas dan melirik jam tangan yang bertengger ditangan kirinya.
"Perbaiki nilaimu, atau enggak jangan harap dapat uang jajan lebih dari Aa!" ancam Andra.
"Perbaiki gimana lagi kalau kemampuan aku sampai sana, jangan memaksa apa yang gak bisa orang itu capai A."
"Kalau gitu, untuk apa usaha ikhtiar dan doa diadakan?"
Ah rupanya Alvan selalu kalah berdebat dengan sang kakak.
"Udah sayang, kamu harua syuting," kata Dinar, istri Andra yang baru saja datang.
Andra mengangguk."Aku berangkat syuting ya, tolong kasih wejangan buat anak keras kepala itu." Dinar mengangguk.
"Hati-hati" Andra mengangguk dan pergi.
Dinar melirik Adik iparnya yang malah duduk santai dengan toples berisi makanan kesukanya.
"Aa kamu ngomong apa aja?" tanya Dinar duduk disamping Alvan.
"Masalah angka," acuhnya.
"Nilai kah?" tanya Dinar lagi.
Alvan mengangguk."Kamu ranking berapa? " lanjut Dinar.
"Gak buruk, Aa aja yang lebay. Mau banget Adenya dapat nilai perfect," Dinar menghela nafas, tentu saja Dinar tau Andra memang selalu memandang semuanya harus sempurna,perfectsionis.
"Yaudah, yang penting udah usaha." Alvan mengangguk.
"Aku mau kekamar, teh." pamitnya.
Dinar mengangguk."Jangan dulu tidur, Bibi lagi masak!" Alvan mengangguk dan berlalu dari hadapan Dinar.
Alvan memasuki kamar yang bernuansa abu-abu dan putih itu. Alvan melempar tas sekolahnya dan membaringkan badanya ditempat tidur ternyamanya.
"Seancur apa sih nilai gua?" gerutunya.
Alvan memang jarang belajar tapi Alvan percaya diri bahwa dirinya itu pintar dan bisa menguasa materi dengan mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvanka Zafran || END
Teen Fiction"Perihal siapa yang membahagiakan dan yang dibahagiakan, tak perlu cemas, semua ada takarannya." Start25Julii2021 Finish10November2021