chapter 43

6.5K 887 224
                                    

Robbo terperangah kaget mendengar pekikan Alvan juga rematan Alvan yang begitu erat pada lengannya.

Dengan cepat Akwan memegang bahu Alvan yang terlihat sangat kesakitan, entah dibagian mana. Alvan memang bertumpu pada Robbi, satu tanganpun tak Alvan gunakan untuk memegang titim sakitnya.

Kanza dengan panik penahan kedua kaki Alvan tak tinggal diam. "Kenapa heh? Jangan bikin orang panik," tutur Robbi menahan tubuh Alvan agar tak limbung kebawah.

"Ngomong Van sakitnya, biar kita obatin, ya?" Alvan menggelengkan kepalanya. Alvan hanya ingin tahu sejauh mana Alvan kuat tanpa meremas perutnya itu, mau sampai kapan sakit itu menggorogotinya tanpa Alvan rasakan. Alvan hanya ingin tau sampai mana.

"Van.." lirih Kanza.

"Shhh..."

Robbi kewalahan menahan tubuh Alvan yang semakin bertumpu padanya, walaupun kedua kaki Alvan sudah Kanza pegangi.

"Kakinya dingin banget, Rob," lirih Kanza panik. Akwan melempar kecil kayu putih itu pada Kanza, dengan cekatan Kanza membaluri kaki Alvan yang dingin itu.

"Apa yang sakit? Kenapa gak ngomong? Gua udah terlanjur lihat lo sakit," lirih Robbi membenari posisi tubuh Alvan hingga terlihat sedikit enak.

Alvan terus meringis diam, kedua tangan Alvan sedikit bergetar bahkan bibirnya udah luka karena Alvan gigit sendiri.

"Aghgg... sa-kit Rob.. shhh.." Robbi memberikan tangannya untuk Alvan melampiaskan sakitnya, Robbi rela asal sahabatnya itu mengeluarkan sakitnya.

Kanza terus mengalunkan doa-doa yang Kanza hapal dengan lirih, guna memberikan Alvan ketenangan.

"Istigfar Van, lo jangan kalah," ucap Akwan menatap wajah Alvan yang sangat sayu. Posisi Kanza dan Akwan bergantian hingga Kanza mengambil beberapa helai tissu dan mengusap keringat Alvan.

"Sakitnya bilang dimana?" lirih Robbi sangat cemas.

Soal anggota PMR tadi memang sudah kembali bertugas dan menunggu diluar karena didalam sudah ada Robbi, Akwan dan Cio.

"Pe-rihh.. shh.. Rob." Alvan hanya bisa mengadu pada Robbi. Karena yang bisa Alvan lihat hanyalah wajah Robbi. Alvan tak melirik pada Kanza ataupun Akwan, terlalu fokus pada sakitnya yang Alvan berikan pada Robbi.

"Iya apa?" Alvan kembali berteriak dengan suara yang tertahan, pekikan kecil yang membuat Robbi, Kanza dan Akwan sangat cemas.

"Panggil Guru, Wan!" tegas Robbi. Akwan mengangguk dan berlari keluar.

"Pe-rut gua shhh."

"Perut lo sakit? Astagfirulloh, cha." Kanza memberika kayu putih itu dan menenangkan Alvan dengan ucapan-ucapan lirih.

"Istigfar, inget sama Allah. Allah gak akan memberikan kesulitan jika hambanya tidak sanggup," lirih Kanza.

Alvan menangis, terbukti dengan air mata Alvan yang menetes. Perkataan Kanza sangat menyentuhnya.

"Jangan nangis," ucap Kanza mengusap air mata Alvan. Robbi terus bertanya-tanya dalam benaknya, sebenarnya Alvan itu kenapa, Alvan terlihat sekuat tenaga menahan sesuatu yang akhirnya Alvan kalah dan pasrah.

Robbi menatap Alvan yang terlihat sedikit terengah. "Dada lo sakit? Sesek Van?" Alvan mengangguk pelan.

"Jangan panik, keluarin nafasnya pelan. Kalau lo panik lo tambah susah nafasnya," tutur Robbi dengan pelan.

Kanza mengambil selimut dan memakaikanya pada kaki Alvan agar tidak semakin dingin.

"Hh..ahgg su-sahh."

Alvanka Zafran || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang