Samgyeopsal.
Bora menyumpit daging dari panggangan listrik yang ia punya, menaruhnya di atas daun perilla lalu ia tumpuk dengan bawang putih dan kimchi, tidak lupa gochujang sebagai sentuhan akhir sebelum daun itu ia bungkus dan dimasukkannya ke dalam mulut dengan lahap. Dino di hadapannya menahan senyum, ikut menyumpit beberapa helai daging ke dalam mulut.
"Enak?" Tanya Dino sempat menghentikan kunyahannya.
"Lhumayhan." Jawab Bora ditengah proses pengunyahan samgyeopsal yang ia buat. Dino terkikik sebelum memasukkan samgyeopsal ke dalam mulut.
"Lebih murah buat sendiri di rumah, kan?" Dino bertanya retoris membuat Bora mendengus sambil membalikkan lembaran daging yang mereka panggang.
"Sama saja. Di rumah, aku mengeluarkan tenaga untuk mencuci dan mempersiapkan semuanya." Kata Bora kesal. "Tapi, mau gimana? Kawasan apartemen ini, kan masih dalam siaga satu. Kita belum bisa ke mana-mana."
"Hemm... setidaknya kau masih bisa makan Samgyeopsal. Bersamaku." Kata Dino sambil nyengir. Pria itu sengaja menekankan kata 'bersamaku' sehingga membuat Bora harus menahan diri untuk tidak meresponnya. Bahaya kalau Bora merespon, nanti ia bisa tambah gila karena Dino tidak akan berhenti menggodanya.
"Kau tahu, tidak?"
"Tahu apa?" Seloroh Bora cepat. Mulutnya masih asyik mengunyah, melupakan program diet yang selalu ingin ia jalankan sejak pandemi menyerang.
"Samgyeopsal ini awalnya makanan para penambang, loh."
"Penambang?"
Dino menganggukkan kepala. Kedua matanya selalu bersilat tajam ketika menjelaskan sesuatu dengan serius. Ia tampak fokus menatap Bora, seperti guru yang tengah menceritakan materi menarik kepada siswanya. "Iya. Mereka percaya kalau Samgyeopsal bisa membuang racun debu yang selalu mereka hirup saat bekerja."
"Bukannya menghirup asap daging juga berbahaya?" Tanya Bora sambil mengerutkan kening, ia menumpu dagu pada kedua tangannya, balas nenatap Dino.
"Entahlah. Aku, kan, tidak melakukan penelitian soal itu." Jawab Dino membuat Bora menahan tawa. Pasalnya, kedua mata Dino yang awalnya penuh kepercayaan diri ingin membeberkan fakta soal makanan yang mereka makan meredup--ia kesal kepada Bora yang malah memberikan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
"Ya, kan, namanya zaman dulu. Para penambang itu tidak sempat cari tahu kebenaran tentang Samgyeopsal." Kata Bora sehingga Dino mendengus.
"Kenapa kau yang jawab?"
"Biar kau tahu saja." Ujar Bora cekikikan, dibalas Dino dengan tatapan annoyed. Pria itu mengambil satu daging, menyantapnya sambil menahan panas yang menyerang di lidah.
"Santai."
"Kau menyebalkan." Kata Dino, menirukan cara bicara Bora yang sering sekali mengucapkan dua kata itu. Bora sendiri cuma bisa mendengus, tapi senyumnya tidak bisa luruh dari wajah.
Saat Bora asyik makan, tiba-tiba jari Dino bergerak mengelus ujung bibirnya. Pria itu fokus membersihkan saus gochujang yang tertinggal di sana dalam jarak yang cukup dekat. Napas Bora sudah tertahan, ia takut degup jantungnya yang tidak karuan terdengar oleh Dino.
"Selalu saja."
"Aku memang mau membersihkannya, Dino." Kata Bora begitu jari Dino tidak lagi di ujung bibirnya. Ia mencoba menutupi rasa gugupnya dengan mengomel dan seperti biasa, Dino akan ikut mengomel.
"Telat. Harusnya saat tahu ada saus di situ ya langsung dibersihin." Omel Dino lalu mengecap ibu jarinya, ia kembali menyumpit beberapa daging dan menyantapnya dalam sekali suapan. Ia tidak sadar kalau daritadi Bora menggulum bibit, tambah gugup karena sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symptom [Complete]
FanfictionCovid-19 membuatnya jenuh. Kehidupan dipaksa normal. Namun, ia tidak sendiri. Seseorang menemaninya selama ia dikarantina.