"Menurutmu, aku orang yang bagaimana?"
Dino mengerutkan kening saat Bora tiba-tiba bertanya di tengah seri Loki yang mereka tonton lewat salah satu aplikasi streaming digital di layar TV. Fokusnya menonton Loki yang tengah berbicara dengan Loki versi perempuan dari dimensi lain jadi hilang. Begitu pula Bora yang entah sejak kapan sudah memegang ponsel, mengetik sesuatu di sana setelah melempar pertanyaan itu.
"Kau bertanya padaku?" Tanya Dino sangsi.
Bora menganggukkan kepala, menaruh ponsel di atas meja. "Menurutmu aku itu bagaimana?"
"Ya... kau... Yoon Bora."
"Ya, bagaimana?"
Dino menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku harus menjawabnya seperti apa?"
Lidah Bora terdecak. Gadis itu menatap Dino tajam lalu beringsut duduk tegap. "Ya, aku... bagaimana? Baikkah? Jahatkah?"
"Menyebalkan." Jawab Dino cepat tanpa berpikir dua kali membuat Bora kembali mendecakkan lidah. Gadis itu bahkan sudah memegang bantal sofa untuk menimpuk Dino yang kini mengumbar barisan giginya yang rapih.
"Barbar. Menyebalkan." Kata Dino kali ini sambil tertawa dan bantal sofa pun sukses mengenai wajahnya yang tampan.
"Ish..."
"Menyebalkan." Dino dan Bora mengucapkan kata yang sama. Dino masih tertawa sedangkan Bora manggut-manggut di sampingnya, kesal karena pria itu terus menggodanya. Padahal Bora ingin berbicara serius.
"Oke... oke... apa tadi pertanyaannya?"
Bora melipat kedua tangan di depan dada, beringsut mundur untuk duduk lebih jauh dari Dino karena kesal tapi pria itu terus mendekatinya sambil menahan tawa. "Apa tadi??"
"Lupakan." Rangut Bora dengan bibir yang sudah maju beberapa centi. Dino harus menahan diri untuk tidak memegangnya.
"Oke... Yoon Bora." Dino pun menyerah untuk menggoda Bora yang tidak kunjung memperbaiki raut wajahnya. Ia lalu duduk menghadap gadis itu sambil mengelus dagu. "Kau itu... sering terlalu keras kepada dirimu. Terlalu memaksa diri untuk bisa melakukan banyak hal. Muka dua."
"Muka dua?"
"Di depan orang lain kau selalu manis dan baik hati. Tapi sebenarnya kau..." Dino memicingkan mata, "seperti Singa. Suka meledak-ledak, keras kepala, tidak mau dikalah..."
"Oke. Aku tidak suka membuat drama di depan orang lain."
"Bagaimana denganku?"
"Kau berbeda." Jawab Bora cepat. "Terus? Terus?"
"Aku harap kau sadar kalau tidak semua hal bisa kau raih meski kau berusaha sekuat tenaga. Ada beberapa hal yang tidak bisa kau raih dan akhirnya harus kau pasrahkan, Bora." Jelas Dino tiba-tiba, agak melenceng dari pertanyaan yang diberikan gadis di hadapannya.
"Tapi tidak ada salahnya untuk selalu mencoba dan berusaha, kan?"
Dino menganggukkan kepala. "Betul. Tapi ingat batasnya."
"I'm trying."
"Kenapa tiba-tiba bertanya begini?" Dino menyipitkan mata sedangkan Bora tersenyum kecil. Gadis itu meraih ponselnya kembali, mengetikkan sesuatu di sana lalu memperlihatkan layar ponselnya kepada Dino.
"Areum. Temanku waktu kuliah tiba-tiba memberikanku rekomendasi buku Self Improvement. Dia bilang buku ini seperti gambaran diriku." Bora menunjukkan buku berjudul 'Aku Bukannya Menyerah, Hanya Sedang Lelah' yang ditulis oleh Geulbaewoo.
"Kau memang lelah dengan kehidupanmu, kan?"
Bora tertawa sambil menganggukkan kepala. Dino benar. Ia memang sedang lelah dengan kehidupannya yang terasa jenuh karena pandemi.
"Banyak kalimat dalam buku ini yang cocok untukku kata Areum."
"Misalnya?"
Bora menarik tangannya, menggerakkan jari di atas layar ponselnya lalu menunjukkan sebuah gambar kepada Dino. "Ini... yang distabilo."
Dino mendekat, kedua matanya terpicing agar bisa membaca kata-kata yang distabilo oleh Areum--kawan Bora yang belum pernah ditemuinya itu. Kata-kata itu tersusun menjadi sebuah kalimat yang menceritakan tentang orang yang selalu ingin berusaha untuk melihat apakah dirinya mampu atau tidak, agar tidak menyesal karena tidak mencoba. Sangat Bora sekali. Dino pun mengangguk-angguk, setuju dengan kalimat itu.
Kemudian Bora menggeser layar ponselnya, memperlihatkan foto satu halaman buku yang beberapa kalimatnya terstabilo. Kali ini kalimat yang terstabilo menjelaskan tentang seseorang yang ingin berusaha untuk dirinya sendiri, yang ingin membuktikan kepada orang banyak kalau pemikirannya tidak salah, yang yakin kalau impian bisa tercapai. Dino menganggukkan kepala lagi.
"Kata Areum buku ini seperti kaca untukku."
"Dan pembenaran atas sikap-sikapmu selama ini." Kata Dino sambil nyengir. Bora tertawa malu. "Ya... bisa."
"Tapi Areum bilang buku ini bisa membuatku sadar untuk tidak terlalu keras kepada diriku sendiri." Lanjut Bora sambil menghela napas.
Dino menyeringai. "Sebenarnya kau tidak butuh buku itu karena kau sudah sadar dengan kelakuanmu sendiri. Yang kau butuhkan hanya keberanian untuk melakukan perubahan."
Bora merasa hatinya berdesir. Bukan karena tatapan Dino yang menghanyutkan, tapi karena kata-kata pria itu yang benar. Ia memang paham atas sifatnya, paham akan kerasnya usaha yang ia keluarkan untuk meraih apa yang inginkan--yang hasilnya tidak pernah kelihatan. Dino benar. Ia hanya belum berani melakukan perubahan.
"Jadi, kapan kau resign kerja?"
Refleks Bora memukul bahu Dino. Gadis itu tertawa sambil menggelengkan kepala. "Tidak sekarang."
"Hah... tidak sekarang, nanti." Cemooh Dino membuatnya jadi bulan-bulanan Bora kembali.
Rasanya obrolan yang sama tidak pernah habis. Bora pun sudah merasa lelah dengan tekanan orang-orang sekitarnya yang menyuruhnya resign, yang menyuruhnya untuk menyerah dan berhenti bersikap terlalu keras kepada dirinya sendiri. Gadis itu sudah mencoba, tapi selalu saja ada yang menahannya. Kalau ia mendengar orang memperbincangkan masalah kerjaannya lagi mungkin ia akan muak.
"Dino... kita liburan, yuk?"
"Hah?" Dino menaikkan kedua alisnya, menatap Bora tidak percaya. "Memangnya kau ada libur?"
"Tidak ada, sih." Bora menggaruk kepalanya. "Ngajak aja dulu."
Dino tertawa, lantas tangan kanan pria itu terangkat, mengelus puncak kepala Bora dengan lembut. "Oke. Kalau kau libur, ayo kita berlibur."
Bora terkesiap. Wajah Dino begitu dekat sampai ia bisa merasakan deru napas pria itu di kulit wajahnya. Dengan cepat Bora mundur, melepas tangan Dino dari atas kepalanya.
"Hahaha... berandai dulu aja, ya!"
P.s
Terima kasih Has sudah merekomendasikan buku itu.
Semoga saja ketika tulisan ini ter-upload aku sudah melakukan langkah berani. Sekarang (saat aku menulis episode ini), aku masih belum melakukan apa-apa tapi percayalah, aku sedang menimbun rencana untuk ke depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symptom [Complete]
FanfictionCovid-19 membuatnya jenuh. Kehidupan dipaksa normal. Namun, ia tidak sendiri. Seseorang menemaninya selama ia dikarantina.