4

199 36 8
                                    

"Welcomee!!" Dino menyambut setelah Bora membuka pintu sambil membawa belanjaan dalam 3 totebag. Meski kawasan apartemennya masuk dalam zona merah, ia tetap harus berbelanja keluar untuk kebutuhan sehari-harinya. Tapi Bora tidak melakukannya setiap saat, hanya ketika perlu saja.

"Hah... pakai masker melelahkan." Kata Bora sambil menaruh belanjaannya di atas meja pantry. Ia berlalu mencuci tangannya di westafel setelah membuka masker yang ia kenakan.

Dino tergelak. Kini pria itu duduk di depannya, memperhatikan Bora tengah menyemprotkan disinfektan ke semua barang yang ia beli--kecuali bahan makanan mentah yang segera diletakkannya di westafel.

 Kini pria itu duduk di depannya, memperhatikan Bora tengah menyemprotkan disinfektan ke semua barang yang ia beli--kecuali bahan makanan mentah yang segera diletakkannya di westafel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lelah tapi kalau tidak dipakai kau bisa terpapar virus."

"Makanya dipakai." Balas Bora asyik menyusun belanjaan di lemari pantry. Ia lalu berbalik ke westafel, mencuci buah dan sayuran yang tadi ia beli di super market. Ia terlalu fokus sampai tidak sadar kalau Dino sudah bersandar di sampingnya.

"Tadi, ramai?"

Bora terperanjat. Apel yang sedang ia cuci terjatuh di westafel. "Kau mengejutkanku, Dino!"

"Sorry sorry... maaf hahahaha."

Bibir Bora mengkerucut. Ia mengambil lagi apel itu, mengecek permukaannya, berharap tidak ada yang penyek. Sedangkan Dino tertawa, gemas melihat Bora yang cemberut apalagi di kepalanya terputar ekspresi Bora yang kaget.

"Jadi, bagaimana?" Tanya Dino sesekali berdehem karena tenggorokannya gatal akibat terlalu banyak tertawa.

"Tidak seramai dulu, tapi tetap banyak orang." Jawab Bora kemudian. "Aku senang bisa keluar, tapi juga takut."

"Ya, mau bagaimana lagi? Kau tidak boleh selamanya terkurung di sini. Nanti kau mau makan apa? Lagipula tidak semua bahan makanan bisa dikirim juga, kan?"

Bora menganggukkan kepala. "Sedikit refreshing."

"Asalkan orang-orang itu pakai masker aja, sih."

"Beberapa pakai. Ada juga yang keras kepala.... kau tahu, kan?" Bora menyipitkan mata ke arah Dino, merasa sangsi bertemu dengan orang yang tidak mengenakan masker saat berbelanja di super market. Ia tampak kesal dan Dino menyeringai mendapatkan dua mata elang itu menyerangnya.

"Aku kesal, tapi melihatmu kesal ternyata menyenangkan." Kelakar Dino segera disambut cubitan kecil di pinggangnya. "AAAA!!! Sorry sorry!!"

"Harusnya kau mengkhawatirkanku, Dino!" Seru Bora sambil menaruh buah ke dalam keranjang setelah mengelapnya menggunakan serbet. Ia menaruh keranjang itu ke atas meja pantry dan berlalu ke kulkas untuk mengambil minum. Dino mengekorinya seperti anak domba, terhibur dengan keributan yang ia buat.

"Kau baik-baik saja, kok."

"Makasih." Ucap Bora sama sekali tidak tulus. Ia mengkerutkan hidung lalu menegak habis air mineral dalam botol.

"Di luar panas sekali, ya?"

"Seharusnya kau ikut aku tadi! Biar kau juga merasakan sensasi panas Seoul yang membahana!" Bora mengomel sehingga Dino tertawa meski ia tidak bisa merespon kata-kata gadis itu.

"Sepanas apa?"

"Pokoknya aku menyesal pakai lengan panjang!"

"Ya mending lengan panjang. Bajunya langsung dicuci dan kau tidak perlu mandi."

"Iya sih..." Bora mengerucutkan bibir. Gadis itu masih sibuk mengatur belanjaannya hingga Dino menghela napas panjang.

"Sudah semua?"

"Sedikit lagi." Kata Bora sembari berjinjit, ia ingin menaruh sekantong tepung ke lemari pantry di atas westafel. Tingginya memang tidak semampai dan dengan cepat Dino membantunya.

"Kalau tidak bisa, ya, bilang." Dengus Dino.

Bora mendecakkan lidah. "Harusnya kau sadar, dong... nggak perlu tunggu disuruh."

"Apa, sih, susahnya minta tolong?"

Kedua mata Bora berputar. Ia berjalan membuka pintu balkon, membiarkan udara sore masuk ke dalam apartemennya. Selama beberapa saat ia berdiri di sana, berdampingan dengan Dino, memandang ke jalanan yang masih saja ramai oleh pengendara mobil. Trotoar juga ramai oleh orang-orang bermasker yang tengah berjalan di lingkungan itu.

"Melihat keramaian yang begini saja sudah membuatku khawatir luar biasa. Bagaimana kalau aku yang berada di kerumunan itu?" Tanya Bora sambil mendesah.

"Tapi kau tidak boleh khawatir terus. Mau tak mau kau harus belajar untuk menerima keadaan." Jelas Dino berusaha bijak meski ia sendiri masih berusaha untuk menjaga pikirannya.

"Aku tahu." Sergah Bora. "Tapi tetap saja rasa takut itu ada. Kalau aku khawatir atau takut terus, ya... mana mungkin aku mau pergi ke supermarket!?"

"Iya..." Dino melembutkan nada suaranya, lalu menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu. "Kau benar."

Sebenarnya Bora luluh mendengar suara Dino tapi egonya cukup tinggi sehingga ia mendengus, menarik tangan Dino dari kepalanya dan melangkah menuju sofa. "Aku capek, Dino..."

"Memangnya kapan kau tidak capek?"

Bora menggerling, Dino yang sudah duduk di sampingnya menjadi bulan-bulanannya sekarang. "Aku serius!!"

"Aku juga serius! Setiap hari kau mengeluh capek, jenuh... lelah... apa lagi?"

"Stress." Secara bersamaan Bora dan Dino berkata. Keduanya diam sambil bertatapan lalu tertawa geli.

"Yaa!"

"Kenapa? Betul, kan? Kau mengeluhkan hal yang sama setiap hari, Bora!"

"Memang." Bora menepuk pundak Dino pelan. "Aku, kan, hanya ingin mengeluh." Ucapnya lirih.

"Mengeluh boleh, sesekali. Masalahnya ini setiap hari! Memangnya, kau pikir, semua orang tidak merasakan hal yang sama!?"

"Ya... tap--"

"Lama-lama aku juga capek mendengarkanmu." Potong Dino membuat Bora mengatupkan bibirnya rapat.

Gadis itu sedikit kaget dengan Dino yang berkata seperti itu. Agak nyelekit tapi ia juga tidak bisa menyalahkannya. Mungkin kalau ia menjadi Dino, ia juga akan kesal mendengar keluhan yang sama setiap hari. Dino sendiri tersadar, ia sudah kelepasan sehingga dengan cepat ia meraih tangan Bora, mengelusnya lembut.

"Aku nggak bakal capek, sih. Tapi bakal kesal. Kayak sekarang." Katanya sambil tersenyum kecil, agak menunduk untuk menyamakan pandangannya dengan Bora yang tertekuk.

"Iya. Maaf." Ucap Bora lirih.

Dino tergelak. Ia menarik Bora berdiri dari sofa, membawa gadis itu kembali ke pantry.

"Sebagai tanda maaf, aku mau kau membuatkanku kue!"

Bora membulatkan kedua mata. Sebelum ia mengelak, Dino kembali berkata. "Kue yang manis yang bisa bikin kepalamu lebih ringan!"

"Yaa! Kau menyusahkanku!" Seru Bora menyembunyikan senyum. Ia sebenarnya tidak masalah disuruh membuat kue sekarang, tapi kesal juga dengan Dino yang menyuruhnya tanpa aba-aba.

"Mau dimaafkan?"

"Ish." Bora mengerucutkan bibir. "Kalau begini aku tidak perlu minta maaf."

"Em... apa kau bilang?"

"Tidak. Tidak ada!"

Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang