"Kalau kau diberi kesempatan diberikan kekayaan yang tak terhingga, apa yang akan kau lakukan?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Telinga Dino berjengit. Ia menatap Bora yang sedang duduk di sampingnya, di depan pintu balkon. Lagi-lagi keduanya berusaha menikmati hari dengan menunggu senja meski pemandangan itu tertutup oleh gedung-gedung yang berdiri di sekitar apartemen mereka. Dino menaikkan kedua alisnya, "apa?"
"Kalau kau diberi kekayaan yang tak terhingga, apa yang akan kau lakukan?" Ulang Bora kali ini memusatkan perhatian kepada Dino yang juga membalas tatapannya.
"Tidak muluk-muluk. Aku akan menggunakannya untuk membeli apa pun yang ku mau." Jawab Dino membuat Bora cukup terkejut.
"Aku kira kau akan membangun studio dance sendiri."
"Itu juga." Kata Dino cepat. "Kau sendiri?"
"Aku?"
Dino mengangguk, memperhatikan Bora yang berdehem, tengah memikirkan jawaban atas pertanyaan yang sama itu.
"Jujur, aku ingin menabung. Beberapa akan ku investasikan, kemudian membangun rumah untuk anak-anak? Aku selalu menginginkan hal itu." Jelas Bora sambil berandai-andai.
"Kau sudah kaya terus masih ingin menabung?"
"Menabung itu perlu, Dino. Kau tidak akan tahu sampai kapan kekayaan itu bertahan."
Jari Dino terjentik. Ia mengakui kalau Bora benar. Menabung adalah salah satu hal penting yang harus dilakukan setiap individu. Sayangnya, tidak semua orang bisa menabung. Ada pula yang kesulitan untuk hidup selama sehari-hari--tentu saja menabung akan susah dilakukan.
"Jangan bilang aku baik!" Bora mengangkat kedua tangannya di udara, menahan bibir Dino yang akan bergerak--mengeluarkan suara.
"Kenapa? Niatmu memang baik, kan?"
"Nanti aku merasa jumawa." Jawab Bora disusul tawa renyah Dino.
"Aku tidak suka perasaan jumawa. Menyebalkan. Rasanya seperti, kau itu pembual padahal sebenarnya kau benar-benar ingin melakukan hal baik tanpa pamrih atau ingin dipuji." Jelas Bora membuat Dino menganggukkan kepala. Ia paham perasaan Bora dan setuju dengan asumsinya yang juga ia rasakan kalau ada yang memujinya saat melakukan hal-hal baik.
"Kalau begitu kenapa kau mau membangun rumah untuk anak-anak?"
"Aku suka anak-anak." Jawab Bora singkat. Dino kembali tertawa. "Hanya itu??"
"Nggak tahu, ya. Tapi aku ingin sekali setiap anak-anak punya kesempatan untuk berkembang dan bisa melakukan sesuatu yang sesuai dengan mimpi mereka." Jelas Bora kemudian. Ia tersenyum kecil, memikirkan setiap mata anak kecil yang pernah ditemuinya. Mata yang penuh dengan harapan dan mimpi.
"Kau selalu percaya dengan mimpi?"
"Selalu." Bora menjawab dengan cepat. "Aku selalu dikira orang gila saat sekolah karena aku ingin menjadi traveler. Aku bilang, aku akan membuat mimpiku jadi nyata."
"Jadi nyata?"
Bora mengangguk. "Belum maksimal, tapi setidaknya aku benar-benar traveling. Kau juga, kan? Mimpimu jadi nyata, kan?"
Dino tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. "Kau benar. Mimpiku pun jadi nyata."
"Tapi banyak yang tidak percaya dengan mimpi karena mereka dikecewakan dengan ekspetasi atau karena kurang dukungan orang di sekitar. Aku ingin mengubah itu. Aku ingin mimpi anak-anak terkabul karena ada yang mendorong mereka bermimpi."
"Dan kau ingin menjadi sosok pendorong itu?"
Bora menganggukkan kepala, senyum tipisnya menguar. "Aku mau bantu mereka mendapatkan dorongan untuk terus bermimpi."
"Itu bagus. Kau harus mewujudkannya."
"Sedang berusaha karena aku bukan anak orang kaya--banget. Orangtuaku tidak punya aset yang bisa diturunkan kepadaku kecuali apartemen ini dan membangun fasilitas untuk anak-anak tidak akan murah." Dengan lirih Bora menjelaskan. Ia jadi teringat alasannya untuk selalu bekerja dengan keras, ingin cepat memiliki uang banyak untuk merealisasikan impian itu.
"Tapi aneh, ya." Ujar Dino sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas lantai, ia memandang ke arah langit. "Orang yang biasanya punya impian sepertimu pasti dilahirkan dari keluarga yang biasa-biasa saja atau yang tidak punya apa-apa. Orang yang kaya malah jarang punya niatan baik begitu."
Bora tergelak. Dino benar. Memang masih banyak orang kaya yang membangun lembaga-lembaga seperti itu, tapi tidak sedikit pula orang kaya yang hanya memikirkan harta tanpa ingin berbagi. Banyak malahan.
"Tapi hidup harus begitu." Kata Bora kemudian. "Kalau semua orang kaya membangun fasilitas untuk membantu orang miskin, mungkin di dunia ini tidak akan ada lagi yang merasa susah. Tidak ada lagi yang ingin berusaha lebih keras untuk meningkatkan taraf hidupnya."
"Dan semuanya hanya akan terus berharap untuk dibantu." Lanjut Dino yang langsung disetujui Bora.
"Betul. Aku sering melihat fenomena ini di negara-negara berkembang."
"Ah... aku paham." Ucap Dino.
"Tapi tetap tidak mengubah keinginanku untuk membangun rumah untuk anak-anak. Aku tetap ingin membangunnya." Kata Bora lagi. Dino nyengir, ia paham maksud gadis itu.
"Aku boleh membantumu, kan? Kalau kau sudah membangun rumah itu?" Tanya Dino sambil memperhatikan Bora yang rambutnya tertiup angin sore. Refleks tangannya bergerak menyelipkan helai rambut Bora di belakang telinga gadis itu.
Bora terkesiap. Tatapannya terkunci di mata Dino yang memperhatikannya dengan lamat. Mata yang tegas dan tajam. Mata yang mampu membuatnya hanyut seperti daun yang terjatuh di atas sungai. Sedangkan Dino sudah hanyut daritadi. Ia bahkan tidak sadar sudah mengelus daun telinga Bora dengan lembut.
Tersadar dengan elusan itu, bulu kuduk Bora meremang. Ia segera membuang muka ke arah lain hingga tangan Dino terlepas dari telinganya. Untuk menutupi suara jantungnya yang berdegup tidak keruan, Bora lantas menepuk-nepuk pahanya dengan pelan. "Apa? Kau tadi bilang apa?" Tanyanya kikuk.
"A-aku boleh bantu, kan, kalau kau sudah bangun rumah impianmu itu?" Ulang Dino sambil meremas kedua tangannya, menutupi rasa malu dan awkward yang menyerangnya tiba-tiba.
"Hm... boleh. Banget."
"Oke." Dino mengangguk. Membuang muka ke langit sore yang masih terang karena matahari enggan terbenam dengan cepat.
Begitu pula dengan Bora. Ia juga sudah membuang muka ke arah langit. Mencoba mengalihkan pikiran dengan menikmati pemandangan dan angin sore yang mengirimkan perasaan segar--meski sekarang perasaannya acak-adul karena sikap Dino itu.
"Tapi ingat, ya, kau tidak boleh macam-macam dengan anak-anak itu." Kata Dino tiba-tiba.
Bora mengerutkan dahi. "Memangnya aku mau ngapain?"