Raut wajah Bora tidak begitu baik. Gadis itu menyipitkan mata membaca sesuatu pada layar ponselnya, sesekali mengelus dada yang berdesir takut. Pergerakan jarinya sesekali bergeser cepat di atas ponsel, sesekali diam lalu ia akan menutup mulut seakan tidak percaya dengan apa yang ia baca. Dino memperhatikan gadis itu selama beberapa menit, lalu menghela napas karena Bora tidak menyadari kehadirannya.
"Yoon Bora!" Seru Dino kesal. "Kau lagi apa, sih?"
Bora mengalihkan tatapannya dari ponsel dalam sepersekian detik untuk melihat Dino yang sudah duduk di sampingnya, lalu kembali fokus dengan benda persegi itu. "Melihat postingan tentang Covid."
"Lagi?"
Bora menganggukkan kepala. "Harus tetap update untuk membuat diri lebih mawas."
"Kau tidak capek?" Tanya Dino jengah.
Napas Bora terhela pelan. "Capek. Tapi aku tidak bisa tidak membuka media sosial, Dino. Aku bingung harus melakukan apa."
"Ngobrol denganku." Kata Dino serius. "Daritadi kau hanya fokus dengan ponsel. Apa kau tidak stress membaca berita tentang pandemi? Sekarang banyak sekali orang yang stress karena itu, kau tahu?"
"Aku stress." Ungkap Bora. "Tapi kalau ada yang membicarakan penilitan soal hal-hal yang bisa meminimalisir penularannya aku harus tahu! Baru-baru ini aku bahkan jadi tahu soal HEPA Filter yang bisa digunakan dalam Air Purifier dan masker."
"Terus?"
"HEPA Filter bisa mengurangi paparan virus. Yang paling bagus kalau kau gunakan masker ber-HEPA filter. Bisa berguna sekitar 90 persen? Kalau tidak salah begitu..."
"Memangnya kau mau ke mana pakai masker HEPA Filter itu?"
Bora tersenyum kecil. "Tidak ke mana-mana, sih."
Dino mendecakkan lidah. Ia lalu merebut ponsel Bora dari genggaman gadis itu lalu menaruhnya di belakang badan. "Ada yang mau dibicarakan, tidak?" Tanya Dino sangsi, ia tidak suka sekali dikacangi.
"Oke... hmm..." Bora mengerjapkan mata beberapa kali. Ia tidak punya bahan pembicaraan kali ini, mungkin karena ia terlalu fokus dengan pembahasan yang ia baca di Naver sebelum Dino mengambil ponselnya.
"Entahlah... akhir-akhir ini aku jadi kepikiran untuk menambah amunisi untuk melawan virus. Katanya, kawasan apartemen kita sudah turun level. Tidak zona merah lagi dan aku jadi parno orang akan kembali keluar untuk hal yang tidak penting."
"Iya, aku juga dengar kabar itu."
Bora menganggukkan kepala lalu mendesah pelan. "Aku harap kawasan kita bisa jadi zona hijau secepatnya."
"Zona hijau bikin tambah parno." Sahut Dino. "Orang-orang akan merasa lebih aman."
"Makanya aku butuh amunisi lebih. Bulan depan aku mau beli air purifier."
"Kau sudah punya air purifier, Bora." Keluh Dino sambil menunjuk air purifier yang berada di ruang TV. Pria itu mendecakkan lidah. "Di kamarmu pun ada. Kau mau taruh di mana lagi memangnya!?"
"Air purifier yang mau aku beli beda spesifikasi. Aku ma--"
"Bora, katanya kau mau nabung untuk membangun rumah untuk anak-anak?" Dino memotong omongannya. Bora mengerucutkan bibir.
"Tapi kalau aku tidak sehat, aku tidak bisa bekerja dan mengumpulkan uang."
"Kau sudah memiliki amunisi yang cukup, Bora. Yang kurang hanya kesehatan mentalmu. Semakin sering kau membaca berita tentang virus ini, semakin parno kau dengan mereka. Kau bisa gila lama-lama!" Dino geram. Tangan kanannya berada di samping kepala, memperjelas kata 'gila' dengan gesturnya.
"Tapi tidak ada salahnya untuk selalu bersiap diri, kan?"
"Kau parno."
"Memang."
"Panic buying." Ungkap Dino tegas. "Sebelum kau memutuskan untuk membeli sesuatu, pikirkan dulu baik-baik apakah benar kau membutuhkannya atau tidak. Lagipula udara di sini tidak berbahaya, kau bisa membuka balkon setiap saat, sinar matahari sudah cukup, jendela banyak. Apartemen ini juga tidak lembab, Bora. Kau sebenarnya tidak butuh air purifier."
"Tap--"
"Jangan sampai orang yang sebenarnya butuh jadi tidak bisa membeli karenamu." Kata Dino dengan kedua sorot mata yang tajam nan tegas memandang Bora.
Kini Bora merasa ciut. Pernyataan Dino benar dan ia tidak bisa berkata apa-apa untuk memenangkan perseturuan kecil itu--ada rasa kesal di dada karena ia merasa kalah. Akhirnya Bora hanya bisa menghela napas. Ia membuang muka lalu memijit-mijit tangannya pelan.
"Kau janji tidak akan beli, kan?" Tanya Dino sambil mendekatkan diri ke Bora.
"Eng... Iya..." Sahut Bora malas.
"Benar, kan?"
"Iya, Dino." Hela Bora kesal.
Meski begitu, ia akan memikirkan kata-kata Dino dengan serius, tetap menuruti perkataan pria itu karena ia jadi kepikiran dengan salah satu penjelasan tentang air purifier yang sempat dibacanya sekilas di internet--yang baru diingatnya kembali. Penjelasan yang sama persis dengan apa yang Dino katakan padanya tentang udara apartemen yang sebenarnya tidak bermasalah. Ya, Dino benar sekali, ia tidak butuh air purifier lagi.
"Aku tahu, kini kau mau yang terbaik untuk dirimu. Segalanya ingin kau penuhi agar kau baik-baik saja. Itu bagus." Dino kembali berkata, memusatkan perhatiannya kepada Bora yang masih enggan melihatnya. "Tapi kau juga harus ingat dengan hal lain. Ingat batasan agar tidak bertingkah berlebihan."
Bora pun menganggukkan kepala, sedikit malas karena ia merasa malu.
"Kalau kau merasa sumpek, buka balkon, jendela kamarmu atau mungkin menyalkan air purifier-mu yang lain."
Lagi. Bora menganggukkan kepala.
"Atau kau bisa melihatku biar hatimu lebih plong." Lanjut Dino berhasil mengalihkan kepala Bora ke arahnya. Gadis itu menyipitkan mata, salah satu tangannya sudah memegang bantal sofa yang siap mendarat di wajah Dno yang kini tertawa bangga dengan kelakarnya.
"Lee Chan menyebalkan!!"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.