Dino terkejut saat melihat Bora keluar kamar dengan rambut acak-acakan. Wajahnya juga berantakan, senyum yang biasa menyambut Dino pagi-pagi pun tiada di sana. Ia pikir Bora akan baik-baik saja setelah tertidur, ternyata tidak. Gadis itu malah makin buruk saja keadaannya. Meski tidak tahu pasti apa penyebabnya, tapi Dino yakin ini masih berkaitan dengan pekerjaan Bora karena gadis itu meremas ponsel saat berjalan keluar dari kamar.
"Kau kenapa?" Tanya Dino saat Bora mengempaskan tubuh di atas sofa, menyembunyikan wajahnya di bantalan sofa sambil mengerang kesal.
"Aku mau nangis!" Seru Bora tertahan karena bantal. Tak lama gadis itu pun terisak, membingungkan Dino yang terduduk di sampingnya sambil bersidekap.
"Atasanmu lagi?" Tanya Dino lirih, tangannya bergerak menyentuh pundak Bora, merasakan tubuh gadis itu yang bergetar.
"Hmm..."
"Perasaan baru kemarin kau agak menyanjungnya karena dia punya pengalaman yang oke."
"Me-mhang." Isak Bora kesal. "Tapi aku kesal!!"
"Kenapa?"
"Nih!"
Tanpa mengangkat wajah dari bantal, Bora menyerahkan ponselnya kepada Dino, memperlihatkan kolom chatnya bersama si atasan yang mempermasalahkan laporan yang kemarin harusnya sudah selesai. Dalam chat itu juga, atasan Bora mengaku stress dengan revisi yang tidak pernah usai.
"Ternyata laporanku yang pertama sudah benar! Setelah direvisi malah salah. Aku yang kena marah! Padahal, kan, dia yang merevisi!?"
Dino menghela napas panjang. Ia letakkan ponsel Bora di atas meja lalu merengkuh tubuh gadis itu dan membawa Bora menangis di dadanya. Tangan Dino juga mengelus punggung Bora agar gadis itu bisa sedikit tenang.
"Aku capek, Dino! Kenapa aku harus disalahkan atas sesuatu yang bukan salahku!?"
Kepala Dino bergerak naik-turun. Ia mendengarkan Bora, enggan menginterupsi karena paham gadis itu hanya sedang emosi. Kelak, ketika sadar, Bora akan meringis dan menyadari takdirnya sebagai babu korporat. Sedangkan Bora sendiri masih terisak pelan, wajahnya merah menahan amarah. Ia kesal sekali. Super kesal.
"Aku nggak ngerti, ya, sama orang-orang seperti itu. Aku sudah berusaha memahami, bekerja dengan keras, tapi kenapa setiap ada yang salah larinya ke aku!? Kenapa harus aku yang bertanggungjawab menyelesaikan sesuatu yang bukan tanggungjawabku!?" Bora masih mengomel, ia mulai mengeluarkan unek-unek yang tidak berkaitan dengan kejadian hari ini yang teronggok di dasar hati karena selalu dipendam.
"Kesal, Dino! Dan aku juga kesal! Mengapa diriku masih mau bertahan!? Kenapa aku nggak bisa keluar!? Kenapa aku tidak bisa berkata apa-apa untuk membela diriku!?"
Dino menarik napas panjang. Ia menepuk-nepuk punggung Bora dan memangku wajahnya di atas kepala gadis itu. Sejujurnya, ia ingin sekali menasihati Bora tapi waktunya tidak pas. Di sisi lain ia paham akan sifat Bora yang keras kepala, sama seperti dirinya. Mau diberitahu berulangkali pun Bora tidak akan nurut kecuali keputusan itu datang dari dirinya sendiri.
"Kenapa, sih? Kenapa orang-orang menyebalkan! Kenapa juga aku mengiyakan Tuhan untuk lahir di dunia ini!? Kenapa aku pongah sekali menganggap bisa hidup dengan dama--"
"Hussshhhh!!" Dino menepuk punggung Bora sedikit kencang. Omongan Bora mulai membuatnya takut.
"Kau dipilih hidup karena kau kuat, Bora. Masalah begini pasti akan terlewati." Kata Dino lembut, sedikit berbisik kepada gadis yang bersandar di dadanya itu.
"Aku tahu... aku tahu akan terlewati. Tapi aku capek, Dino. Masalah seperti tidak ada habisnya. Aku stress dengan semua ini!"
"Aku tahu kau capek, lelah, jenuh... kesal. Aku bisa melihatnya setiap hari." Ujar Dino sedikit tersenyum, entah mengapa ia ingin memeluk Bora lebih erat lagi tapi urung dilakukannya karena perlahan Bora menarik diri. "Tapi aku yakin kau bisa melewatinya. Aku bisa lihat perkembanganmu setiap hari."
"Perkembangan apanya." Kata Bora sambil mengangkat tubuhnya dari pelukan Dino. Ia lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pipi sambil menarik ingus yang muncul akibat tangisannya. Matanya juga agak perih sampai ia harus menahan diri untuk tidak menguceknya.
"Kau ingat, tidak? Di awal pandemi, kau harus merubah jadwal kawan-kawanmu di kantor? Kau stress sekali karena permintaan atasanmu macam-macam. Belum lagi gempuran teman-temanmu yang ingin request jadwal."
"Bukan teman." Sahut Bora. "Anak magang."
"Iya itu. Lihat, kan? Sekarang kau bahkan bisa mengaturnya dengan lebih baik."
"Tapi anak-anak itu masih susah diatur." Keluh Bora sambil bersandar di punggung sofa. Ia menatap lurus ke TV yang mati, masih mencoba menenangkan diri yang kesal minta ampun kepada atasannya.
"Sampingkan itu. Selain jadwal, kau sekarang juga sudah bisa melakukan tugas-tugas lain yang dulunya kau pikir tidak bisa kau kerjakan karena kurang waktu." Dino melanjutkan, mengingat tanggungjawab Bora yang terlalu banyak di kantor sampai gadis itu keteteran pada awalnya. Tapi sekarang tanggungjawab itu sudah bisa dikerjakan Bora satu per satu.
"Tapi aku masih kura--"
"Ssshh... kesampingkan sifat perfeksionismu. Kau baru di tahap ini, Bora. Masuk akal kalau kau belum bisa melakukan apapun sebaik atasanmu. Kau anak ingusan di kantor. Jangan berpikir kalau kau sudah bisa seperti atasan-atasanmu itu. Kau masih jauh dari mereka."
"Tapi, Dino..."
"Kau bahkan lebih baik dari mereka. Kau punya empati dan simpati yang baik. Tapi kedua hal itu harus kau olah lagi agar tidak menjadi kelemahanmu juga."
"Dino..."
Dino menggeleng. Melarang Bora untuk berbicara. "Kau... kau, Yoon Bora, adalah orang yang hebat. Biarkan saja atasanmu marah, dia sebenarnya sadar kalau kau tidak salah, tapi dia tidak tahu cara merespon yang baik bagaimana. Di sisi lain mungkin atasanmu begini agar kau bisa lebih tegas kepada diri sendiri."
"Maksudmu?"
Tangan Dino bergerak menghapus sisa air mata yang masih bertengger di ujung mata Bora. Pria itu tersenyum tulus, menggetarkan dada Bora yang kini harus menahan napas karena wajah Dino yang terlalu dekat dengannya.
"Lain kali, kalau disuruh revisi, kau harus lihat dulu. Apa benar harus direvisi seperti itu? Kalau memang tidak, coba kau berdiskusi dengan atasanmu terlebih dahulu. Jangan langsung mengiyakan." Jelas Dino lalu mencubit pipi Bora dengan gemas.
"Yaa!! Dino!!" Seru Bora segera menepuk lengan pria itu agar cubitannya terlepas.
Dino tertawa. Ia puas sekali mencubit pipi Bora meski membuat wajah gadis itu makin merah dan tidak berhenti memukul lengannya pelan.
"Iya... aku yang salah. Lain kali aku tidak akan begitu." Kata Bora setelah puas memukul Dino di sampingnya.
"Tidak masalah. Pelajaran untukmu, kan?"
Bora mengangguk. Kembali menarik ingus lalu terhela panjang. "Makasih, Dino."
"Em... apa?"
Kedua mata Bora melirik Dino yang tengah mesem dengan tajam. Pria itu lalu menganggukkan kepala, mengusap dagunya dengan congak. "Aku memang bijak... wow."
"Ish... menyebalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Symptom [Complete]
FanfictionCovid-19 membuatnya jenuh. Kehidupan dipaksa normal. Namun, ia tidak sendiri. Seseorang menemaninya selama ia dikarantina.