14

62 16 0
                                    

Bora menghela napas panjang, menatap layar TV yang menyala dengan kosong. Sesekali ia melirik jam dinding. Sudah pukul 8 malam dan perutnya terus berbunyi tanda kelaparan padahal ia sudah makan cukup banyak hari ini. Mengherankan. Bora agak heran dengan metabolisme tubuhnya akhir-akhir ini, ia sering sekali kelaparan dan selalu ingin makan yang manis-manis.

"Perutmu bunyi lagi." Dino menyahut, tiba-tiba duduk di samping Bora yang sudah memegang perutnya menahan malu.

"Lapar."

"Ya, makan." Kata Dino santai. Tapi Bora menggelengkan kepala, wajahnya tampak muram.

"Aku sudah makan 3 kali hari ini."

Kedua mata Dino melebar menatap Bora. Tiga jarinya terangkat ke udara. "Tiga kali??"

Bora mengangguk lemah. Ia menepuk perutnya pelan. "Tiga kali. Semuanya pakai nasi, daging ayam, daging sapi... aaaahhh pandemi bikin berat badanku naik!!"

Lantas Dino tertawa. Ia tahu, Bora akan berkata begitu karena bukan hanya hari ini ia makan banyak. Lebih tepatnya sejak pandemi menyapa. Karena bekerja di rumah, Bora harus memikirkan sendiri makan siangnya, ia jadi lebih sering mencari resep makanan untuk dicoba dan akhirnya jadi makan banyak karena porsi makanan yang ia buat.

"Ya, tidak apa-apa." Kata Dino. "Kalau pandemi usai, kau diet lagi."

"Haaah... memangnya pandemi akan usai?"

Dino mengedikkan bahu. "Berdoa saja dulu."

"Besok aku harus mulai diet!" Seru Bora sambil mengepalkan tangan dan Dino kembali tertawa.

"Memangnya bisa?" Ledek Dino hingga bahunya ditepuk Bora yang kesal.

"Makanya bantu!! Kau malah request dimasakin terus!"

"Ya sudah, besok aku mau dibuatin salad." Sahut Dino masih tidak bisa menahan tawa. Bora mendengus, meski setuju dengan permintaan pria itu.

"Oke. Salad."

"Kenapa, sih? Hanya karena lapar kau jadi murung begini? Harusnya kau bersyukur, masih bisa makan-makanan yang enak. Masih bisa ngerasa lapar. Orang sakit di luar sana pengen makan tapi susah, loh!"

"Iya, sih. Aku dengar-dengar anosmia bikin malas makan karena semuanya jadi tidak berasa." Kata Bora mengingat salah satu gejala yang muncul saat terkena virus mengerikan yang tengah menyerang dunia.

"Makanya..."

"Kalau sudah berpikir ke arah sana jadi selalu ingin bersyukur dan tetap mau makan banyak. Tapi kalai dipikir-pikir aku juga harus mengontrol diriku, Dino. Hal-hal yang berlebihan tetap tidak baik." Jelas Bora lalu menghela napas panjang. Gadis itu masih merangut, menatap layar TV dengan kosong.

"Kalau begitu kau harus tegas kepada diri sendiri."

"Akan ku coba."

"Kau memang hebat untuk urusan lain tapi kadang kau lupa dengan diri sendiri. Lupa untuk menjaga kesehatan, lupa untuk berbahagia, lupa un--"

"Oke oke." Bora mengangkat kedua tangan di udara, buru-buru menyudahi Dino yang makin menyinggung kehidupannya.

"Selalu begitu." Rungut Dino sambil memutar kedua matanya.

"Iya, Dino. Akan ku coba."

"Iya, Dino. Akan ku coba." Dino menuruti perkataan Bora, mencemoohnya hingga Bora melongos kesal.

Keduanya lalu terdiam. Bora enggan mengelak atau pun bersuara karena Dino benar dan ia kesal kepada pria itu. Dino pun ikut kesal, ia sudah berusaha memahami jalan pikiran Bora yang sering ling-lung tapi gadis itu tetap keras kepala.

"Hyewon jadi datang, nggak?" Tanya Dino menahan rasa kesalnya agar obrolannya hari ini bersama Bora bisa sedikit lebih menyenangkan.

"Nggak."

"Kenapa?"

"Ada kerjaan dari kantornya. Dia bilang bakal ke sini minggu depan lagi." Jawab Bora sekenanya.

"Baguslah." Dino menyeringai. "Aku tetap di sini berarti."

"Memangnya kau mau ke mana kalau Hyewon datang?" Tanya Bora dengan dahi berkerut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Memangnya kau mau ke mana kalau Hyewon datang?" Tanya Bora dengan dahi berkerut. Ia menatap Dino dengan tajam, tidak setuju dengan ide pria itu kalau Hyewon jadi datang ke apartemennya.

"Ya, pergi. Hyewon tidak mungkin melihatku, kan?"

Bora menggelengkan kepala. "Ya tapi kau tidak akan ke mana-mana."

Dino menyeringai. Ia menyandarkan kepala di lengan sofa, memperhatikan Bora dengan lamat. "Aku bisa ke mana pun aku mau, Bora dan kau bisa melupakanku kalau kau mau."

"Aku tidak mau melupakanmu."

"Kau akan melakukannya secara tidak sadar."

"Tidak. Aku memilih untuk selalu mengingatmu." Keukeuh, Bora berkata. Kedua matanya sinis menatap Dino yang melebarkan senyum. Menyebalkan, pikir Bora.

"Iya... aku percaya." Ujar Dino. "Masih lapar?"

Dalam sepersekian detik, wajah Bora kembali menggemaskan. Gadis itu merangut, memegang perutnya yang kembali berbunyi hingga membuat Dino terpingkal.

"Ayo makan!" Sahut Dino sambil berdiri, tangan kirinya terjulur di depan wajah Bora, mengajaknya ke dapur untuk memasak. Tapi Bora menggeleng, ia menarik tangan Dino untuk kembali duduk.

"Aku harus tahan." Kata Bora lalu menyandarkan tubuhnya di atas sofa dan menutup perutnya menggunakan bantal sofa. Dino tergelak kembali, ia masih menggenggam tangan Bora, mengelusnya pelan.

"Ayo! Buatkan aku Ramyeon special-mu, dong. Aku lapar..."

"Dinooo..." Bora menghela napas. Ia menguatkan genggamannya, meminta Dino berhenti tapi pria itu tidak menurut malah kembali berdiri dan menariknya.

"Ayo! Ayo!!"

Bora pun melongos, ia berdiri dengan malas dan berjalan mengekori Dino yang membawanya ke dapur. Diam-diam ia tersenyum melihat tingkah Dino itu. Menggemaskan tapi ia harus menahan diri.

"Kalau berat badanku naik drastis, aku akan menyalahkanmu, ya." Sungut Bora begitu berdiri di depan pantri, tengah memikirkan bahan-bahan yang harus ia olah.

"Hahahaha... iya, iya... salahku." Ujar Dino sambil mengacak puncak kepala Bora dengan gemas.

"Bantuin!!"

"Iyaa!!"

Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang