Bora tengah mengetik sesuatu pada keyboard laptopnya, akhir-akhir ini pekerjaannya cukup banyak sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk bersantai meski hanya di rumah. Ada sebuah iklan besar yang masuk di radionya, yang cukup ribet untuk diurus. Bora, tentu saja, kewalahan karena ia juga sedang mengurus masalah pajak beberapa iklan dan barang di kantor. Sebenarnya tidak heran karena setiap iklan besar, pasti penangannya juga besar.
Ia pun tidak punya banyak waktu untuk mengobrol dengan Dino, bahkan batang hidung pria itu pun tidak lagi tampak di matanya beberapa hari terakhir. Tentu saja, Bora merindukan pria itu, tapi ketika sudah sibuk dengan pekerjaan, ia bisa lupa dengan hal-hal di sekitarnya.
"Mencariku?"
Suara itu. Bora segera berbalik mendongak, melihat Dino duduk di atas sofa, tidak tepat di belakangnya sehingga wajah pria itu tampak jelas di mata.
"Kau ke mana saja!?"
"Kau yang terlalu sibuk sampai lupa denganku." Kata Dino sambil mengerucutkan bibir. Bora terkekeh, menunjuk laptopnya yang masih menyala. "Kau lihat sendiri, kan?"
"Kau menikmatinya?"
"Sedikit?"
"Ya, aku percaya itu." Dino menganggukkan kepala. Pria itu mengelus dagu lalu beringsut duduk di samping Bora sambil memeluk kakinya.
Dino cukup intens menatap Bora yang kembali mengetikkan sesuatu pada keyboardnya. Ia tahu, Bora sedang fokus dan ia suka melihatnya seperti itu. Apalagi saat Bora menyipitkan mata, menggerakkan jemarinya dengan luwes di keyboard.
"Kenapa?" Tanya Bora tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.
"Kenapa kau terlihat cerdas saat sedang bekerja?"
Bora mendecakkan lidah, menyembunyikan senyum yang ingin sekali merekah. "Maksudmu saat aku tidak bekerja aku terlihat bodoh? Begitu?"
Tawa Dino menggelegar. Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak... tidak begitu. Tapi sekarang kau kelihatan lebih... cerdas?"
"Maksudmu aku hanya terlihat cerdas? Tidak benar-benar cerdas?" Bora menunjuk dirinya sendiri, kedua matanya membulat tapi sudut bibirnya bergetar menahan senyum.
Dino mengerutkan hidung, merasa gemas karena Bora menjahilinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting. Bora pun tahu, Dino memujinya--dan itu cukup membuat perutnya dipenuhi dengan kupu-kupu.
"Aku tahu kau senang mendengar pujianku." Kata Dino sambil mengacak puncak kepala Bora, pria itu mendecakkan lidah, tersenyum penuh melihat Bora yang kini sudah terkekeh.
"Tapi aku memang pintar."
"Siapa yang bilang kau bodoh?"
"Hanya ingin bilang." Sahut Bora sambil menjulurkan lidah. Kini ia bersandar di kaki sofa, memandang layar laptopnya selama beberapa saat. "Aku istirahat dulu."
"Bagus. Aku menunggu kau istirahat dari kemarin. Kau tahu? Telingaku agak kesepian tidak mendengar celotehanmu beberapa hari ini." Kata Dino sambil menggosok kedua telinganya. Bora menyeringai, ia menepuk pelan bahu Dino, agar pria itu berhenti melakukannya.
"Kesepian atau terlalu dingin? Kan, biasanya aku membuat telingamu panas."
"Aaaaa dinginnn aku harus memanasinyaa." Kelakar Dino, mendekatkan telinganya ke wajah Bora yang langsung membuat tangan gadis itu mendorongnya menjauh. Keduanya tertawa, entah sudah berapa lama mereka tidak membuat keributan di apartemen.
Bora lalu menggelengkan kepala, heran dengan tingkah Dino yang berbeda dari biasanya. Meski ia cukup senang bisa berbicara dengan pria itu setelah sekian lama berkutat dengan kerjaannya. Tentu saja, Bora lebih suka berbicara dengan Dino daripada bekerja. Tetapi kalau tidak bekerja, ia tidak akan mendapatkan gaji.
"Jadi, sampai kapan kau akan sibuk?" Tanya Dino sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia kembali mendekat ke arah Bora.
"Entahlah. Klien kali ini cukup ribet."
"Produknya apa?"
Selama beberapa saat Bora terdiam, ia tampak berpikir karena kedua bola matanya memandang plafon.
"E-marketplace?" Tebak Dino asal, mengingat salah satu klien yang juga pernah diurus oleh Bora. Klien yang sempat membuat Bora cukup stress beberapa bulan lalu.
"Bukan." Jawab Bora sambil menggelengkan kepala.
"Terus?"
"Em... sebenarnya kayak e-marketplace, sih. Tapi via media sosial. Bukan afiliasi juga. Semacam endorsement tapi dilakukan oleh individu."
"Maksudnya?"
Bora menggaruk kepalanya. "Oke. Singkat saja. Klienku ini orang berpengaruh di Seoul, dia membuka program endorsement gratis untuk membantu masyarakat di media sosialnya. Nah... program itu dia iklankan di radioku."
"Baik sekali." Puji Dino tampak terpesona tapi Bora mendengus.
"Kenapa kau mendengus?" Dino segera berseru.
"Orang ini... menggunakan kesempatan pandemi untuk mencari muka, Dino. Ingat! Dia orang 'berpengaruh'. Aku tahu, programnya bagus, tapi caranya memasarkan terlalu aneh dan buru-buru."
"Tapi setidaknya programnya membantu masyarakat, kan?"
"I-iya, tapi kelihatan sekali kalau orang ini punya kepentingan. Masalahnya dia menaruh iklan di hampir semua media ternama di Seoul. Beberapa hari terakhir namanya juga naik di Naver karena tingkahnya yang dianggap ramah."
"Ya, tidak salah juga, kan? Setidaknya dia bisa membantu saat ini. Daripada yang suka koar-koar tapi kerjaan nol?"
Napas Bora terhela panjang. Dino benar tapi ia tidak bisa menganggap alasan itu benar sepenuhnya. Bora masih tidak suka dengan cara self-marketing yang dilakukan orang berkepentingan itu. Masalahnya, orang-orang seperti itu biasanya hanya manis di awal dan akhirnya akan sama saja seperti pejabat lain--melupakan rakyat yang bukan kepentingannya.
"Ya... sekarang, sih, tampak bagus."
"Kalau dia malah makin bagus gimana? Kalau ternyata kepentingan dia memang membahagiakan rakyat, gimana?"
"Aku tidak tahu." Kata Bora lirih sambil menundukkan kepala. Bibir gadis itu maju beberapa centi hingga Dino kembali harus menahan diri untuk tidak mencubit pipinya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu. Lagian kau harus bersyukur dia menjadi klienmu, setidaknya ada pemasukan, kan?"
Sudut bibir Bora tertarik. Ia lalu terkekeh. "Benar juga. Cuan.... cuaaann!!"
Dino tertawa melihat Bora. Lantas tangannya bergerak mengacak puncak kepala gadis itu dengan gemas. Sudah lama rasanya tidak melihat Bora bertingkah dan ia harap pekerjaan gadis itu sedikit lebih longgar.
Happy Birthday Dino!
Our Maknae!
Our Lovely Lee Channn!!❤❤🖤🖤
Hope to see you soon!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Symptom [Complete]
FanfictionCovid-19 membuatnya jenuh. Kehidupan dipaksa normal. Namun, ia tidak sendiri. Seseorang menemaninya selama ia dikarantina.