"Kau sedang apa?"
Dino menyahut, menghampiri Bora yang tengah berbaring di sofa sambil mengetik sesuatu pada layar ponsel. Gadis itu tidak segera membalas tapi tetap menggeser tubuh agar Dino bisa duduk di sampingnya. Keduanya lalu diam, Dino menunggu Bora menyelesaikan kegiatannya yang entah ngapain menggunakan ponsel.
"Balas chat Ibu." Jawab Bora sambil melirik Dino lalu menaruh ponselnya di atas meja. Gadis itu juga bangkit agar bisa duduk dengan tegap di atas sofa.
"Ibumu baik-baik saja, kan?"
"Sejauh ini Mokpo aman. Keadaannya tidak separah Seoul." Balas Bora mengingat berita yang ia baca dari media online, juga info dari kedua orangtuanya yang kini tinggal di Mokpo, ujung Barat Daya Korea Selatan.
"Baguslah. Setidaknya mereka tidak perlu kau khawatirkan."
"Sebaliknya." Sanggah Bora cepat. "Sejak kapan aku khawatir dengan mereka? Yang ada mereka selalu mengkhawatirkanku meski aku tidak mengharapkan hal itu."
Dino menyeringai, ia menatap Bora tepat di matanya. "Kau selalu membuat semua orang khawatir."
"Aku tidak ingin dikhawatirkan, kok."
Kepala Dino bergerak ke kanan dan ke kiri. Pria itu tidak setuju dengan apa yang diungkapkan Bora. Di matanya, Bora selalu membuat orang-orang terdekatnya khawatir. Apalagi Bora tipe orang yang tidak bisa berbohong. Hampir segala hal yang dihadapinya ia ceritakan kepada kedua orangtuanya. Bahkan hal-hal buruk sekali pun.
"Tapi, serius, kedua orangtuaku sedang khawatir karena pandemi cepat sekali menyebar di Seoul. Padahal biasanya mereka tidak pernah menanyakan kabarku kecuali kalau aku yang menghubungi mereka terlebih dahulu." Jelas Bora membuat Dino tertawa heran.
"Katanya gimana?"
"Aku disuruh cepat-cepat vaksin, disuruh beli masker yang banyak, vitamin, handsanitizer, disinfektan..."
"Barang-barang pokok menghadapi pandemi?" Tanya Dino membuat Bora menganggukkan kepala. "Betul."
"Ya... tidak ada yang mengherankan, sih. Barang-barang itu memang perlu kau sediakan meski kau jarang keluar rumah."
"Aku tahu." Ujar Bora lirih. "Tapi aku jadi mikir."
"Mikir apa?" Dino menaikkan kedua alisnya, memandang Bora yang tampak serius. Sebenarnya ia sudah terbiasa dengan Bora yang suka memikirkan sesuatu secara random. Dibalik ketaatan Bora terhadap peraturan, gadis itu juga suka dengan hal-hal random.
"Privilage itu nyata sekali, ya."
Dino mengernyit. "Kenapa jadi membahas privilage?"
"Entahlah. Aku tiba-tiba jadi kepikiran kalau aku bukan anak orangtuaku. Apakah aku bisa hidup enak di tengah pandemi seperti ini? Apakah aku akan kesulitan membeli barang-barang yang ku butuhkan selama pandemi meski gajiku tidak seberapa?"
Berbagai pertanyaan yang intinya sama bermunculan di otak Bora. Gadis itu mengerucutkan bibir, membayangkan dirinya tidak lahir dari keluarga berkecukupan. Ia bahkan bersyukur bisa memiliki apartemen sendiri, milik orangtuanya lebih tepatnya meski lokasinya berada di pinggiran Seoul. Gadis itu jadi ingin bersyukur tapi menyadari betapa besarnya privilage yang ia punya.
"Ya, bersyukur kau bisa mendapatkan ini semua."
"Aku bersyukur, hanya suka lupa... kadang."
Dino tertawa. "Kalau begitu dari sekarang jangan suka ngeluh."
"Ngeluh juga manusiawi. Aku tidak mungkin diam menelan semua perasaan dan emosiku, kan?"
"Boleh, tapi jangan berlebihan." Kata Dino membuat Bora menghela napas. Tentu saja Dino heran, pria itu menggerlingkan mata ke arah Bora. "Kenapa?"
"Aku ingin bicara soal privilage bukan ngeluh."
"Memangnya apalagi? Kau mau menyombongkan diri sebagaimana berkecukupannya keluargamu dibanding orang-orang di luar sana?"
Pertanyaan itu membuat Bora diam. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari Dino. Cukup nyelekit memang, apalagi Bora mengakui kalau Dino benar--dari dasar hatinya yang paling dalam, meski ia tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Terkadang ia butuh menenangkan diri di tengah pandemi dengan mengingat apa saja yang keluarganya miliki, setidaknya hal itu membuatnya yakin kalau ia bisa bertahan hidup sampai pandemi usai.
"Cukup kau sadar privilage itu ada, ingat untuk disyukuri dan lakukan yang terbaik karena kau sudah punya akses untuk berjalan ke depan." Lanjut Dino makin menciutkan nyali Bora untuk membuka mulut. Kini Bora meringkuk di pinggir sofa, sedikit bergeser sehingga ada spasi antara ia dan Dino.
"Bora?" Panggil Dino karena Bora tidak kunjung berbicara.
"Y-ya?"
"Aku nggak tahu kenapa kau jadi ingin melanjutkan obrolan soal privilage. Cukup sampai kau sadar, jangan digembor-gemborkan atau orang akan menganggapmu sombong."
"Seperti dirimu?"
Dino diam selama beberapa saat lalu menganggukkan kepala dengan pelan. "Kau tahu, kan? Tidak semua orang bisa membeli apartemen seperti keluargamu?"
"Tahu dan tidak semua orang tahu kalau apartemen ini milik orangtuaku. Aku hanya... bilang pada orang tertentu saja."
"Iya, tidak masalah. Tapi tidak semua orang suka berbicara tentang privilage. Ada gap besar di sana yang bisa membuat orang-orang salah paham atau kesal."
"Kau kesal padaku?" Tembak Bora, matanya nyalang menatap Dino di sampingnya. Yang ditatap hanya bisa membasahi bibir, memijit pelipisnya pelan.
"Bukan begitu..."
"Oke. Aku tidak akan membicarakan hal itu lagi denganmu. Maaf. Aku tidak bermaksud sombong. Aku hanya berharap hasil dari diskusi kita bisa menambah insight baru."
"Tapi privilage orang beda-beda, Bora."
"Aku tahu. Lagian aku ngomong begini karena aku baru sadar! Kalau aku tidak sadar mana mungkin aku membicarakannya!" Volume suara Bora naik sampai dada gadis itu naik turun. Emosinya keluar. Kelihatan sekali kalau ia kesal dengan respon Dino yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Suasana ruang tengah itu pun hening. Bora ikut memijat pelipis, ia sudah membuang muka. Meski kesal, ia juga turut mempertanyakan diri mengapa harus marah kepada Dino. Pria itu tidak salah, hanya memperingatkan. Tapi Bora berkilah kalau ia hanya ingin didengar saja.
"Huft..." Bora ujung-ujungnya mendesah lalu berdiri dari sofa. Gadis itu buru-buru berjalan memasuki kamar dan menutup pintunya dengan kencang hingga suara berdebum terdengar memekik telinga.
"Yaa!! Ponselmu masih di sini!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Symptom [Complete]
FanfictionCovid-19 membuatnya jenuh. Kehidupan dipaksa normal. Namun, ia tidak sendiri. Seseorang menemaninya selama ia dikarantina.