11

81 22 2
                                    

"Hyewon akan datang minggu depan."

"Ke sini?" Dino menaikkan kedua alisnya, menatap punggung Bora yang sedang memotong sayuran di dapur sedangkan ia duduk di dekat meja makan.

"Iya. Memangnya mau ke mana lagi?" Tanya Bora membalikkan tubuh sehingga bisa melihat Dino dengan jelas. Gadis itu memegang pisau menggunakan tangan kanannya, membuat Dino meringis ketakutan. Bora tampak seperti psikopat dalam film-film thriller yang pernah ia tonton.

"Ya... siapa tahu kau mau pergi keluar dengannya." Ringis Dino yang matanya teralihkan pada pisau. "Bisa kau taruh dulu pisaunya?"

"Ah... Sorry." Kata Bora kembali berbalik, memotong wortel yang berada di atas talenan dengan telaten. Hari ini ia ingin makan siang dengan salad Coleslaw dan Karage.

"Aku tidak mau ke mana-mana, Dino. Lebih baik di rumah saja."

"Memang harus begitu." Sahut Dino menyetujui pernyataan Bora. Pria itu mengelus dagu, kedua matanya masih menatap punggung Bora tapi pikirannya sedang tidak berada di sana. Ia masih membayangkan bagaimana Bora dan Hyewon akan menghabiskan waktu di apartemen.

"Kalian mau ngapain aja?"

"Kepo." Bora tertawa, menyahuti Dino yang sudah mendecakkan lidah. Tapi Dino memang penasaran.

"Paling... ngapain, ya? Cerita? Hyewon, kan, punya banyak curhatan yang ia simpan soal doinya itu."

"Cowok brengsek itu?"

Bora langsung membalikkan badan. Pisau masih ada di tangan kanannya, membuat Dino kembali meringis dan bergidik ngeri melihatnya. Tapi Bora tidak sadar, kedua mata gadis itu berkilau, senang mendengar Dino menyebut 'cowok brengsek' kepada pria yang disukai Hyewon.

"Kau... mengerikan..." Kata Dino sambil menggerakkan bahu seperti orang kedinginan. Bulu kuduknya meremang karena Bora

"Tapi kau benar. Pria itu brengsek! Aku senang kau mengatainya begitu!"

"Kan, kau yang menyebutnya seperi itu. Aku hanya ngikut." Rungut Dino. "Yaa! Pisaumu!" Serunya kemudian karena Bora tidak kunjung berbalik meneruskan pekerjaannya atau setidaknya menaruh pisau di meja pantri.

"Tapi serius, loh. Pria itu brengsek sekali! Aku tidak suka dengannya tapi Hyewon tidak pernah mendengarku."

Dino menghela napas, membuang muka ke arah lain agar tidak terdistraksi oleh pisau yang dipegang Bora. "Kau tidak bisa menyuruh orang untuk berhenti menyukai sesuatu, Bora. Tidak akan bisa."

"Ya, tapi setidaknya Hyewon bisa menimbang-nimbang nasihatku soal pria itu. Aku tahu, rasa suka itu kompleks--kau tidak bisa memilih siapa pun untuk disukai, tapi setidaknya, ketika kau tahu orang itu tidak pantas disukai, bisalah menjauh."

"Hormon tidak bekerja seperti itu."

"Tapi aku bisa."

Dino melongos. Sifat Bora yang satu ini memang menyebalkan. "Tidak semua orang bisa sepertimu, Bora."

"Tapi semua orang bisa berusaha."

Kepala Dino bergerak ke kiri dan ke kanan. Bora terdengar menyebalkan dan ia tidak ingin menimpali atau gadis itu akan mengeluarkan 1001 cara untuk membenarkan pernyataannya. Memang keras kepala.

Suara pisau beradu dengan talenan kembali terdengar. Dino menggerakkan kepala agar bisa melihat punggung Bora di hadapannya. Tidak banyak yang tahu soal sifat Bora yang sebenarnya. Selama ini gadis itu lebih banyak diam dan tidak berani mengungkapkan isi kepalanya kepada orang lain. Dino tahu, Bora begitu untuk menghindari pertikaian. Tapi kalau sudah bersamanya, Bora rela bertikai dan memegang teguh opininya tanpa takut dirinya sakit hati.

"Hyewon masih keukeuh menjalani hubungan dengan pria itu?" Tanya Dino mengusir sunyi yang tercipta.

"Masih." Jawab Bora cepat. "Aku juga tidak paham mengapa, tapi kayaknya karena dua manusia itu kesepian selama pandemi."

"Maksudnya?"

"Ya... kau tahu? Hyewon terbiasa bertemu dengan banyak orang. Temannya banyak, hampir setiap minggu dia keluar rumah untuk menghilangkan stress. Dan pandemi datang... Hyewon kesepian, tidak bisa bertemu siapa pun, tidak bisa nongkrong di cafè... kemudian pria ini datang, menawarkan diri untuk mengisi hari-hari Hyewon yang sepi."

"Ah..." Dino menahan tawa mendengarkan penuturan Bora yang berbicara seperti pengisi suara drama kolosal. "Jadi, menurutmu mereka begitu karena sama-sama kesepian selama pandemi?"

"Kan, dari awal aku bilang begitu." Bora melongos sembari berjalan ke arah kulkas, mengambil daging ayam fillet yang sudah ia diamkan dengan kecap asin untuk dicampur dengan tepung Maizena sebelum digoreng menjadi Karage.

Dino berdehem, ia menahan senyum. "Oke... oke... terus bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Ya... maksudku biarkan saja Hyewon menikmati harinya dengan pria itu. Toh, dua-duanya punya kepentingan yang sama. Berarti cowok itu tidak sepenuhnya brengsek, kan?"

"Brengsek." Kilah Bora cepat. "Masalahnya Hyewon sudah suka dengan pria itu. Dan pria itu tahu!"

Dino menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menurutnya tidak ada yang bisa dibenarkan karena baik Hyewon dan pria yang disukai gadis itu sama-sama salah. Niat keduanya dari awal saja sudah tidak benar. Kalau Hyewon sudah termakan dengan kelakuannya sendiri, ya, itu sudah menjadi konsikuensi, bukan?

"Dari awal aku sudah bilang ke Hyewon. Jangan memulai hubungan seperti itu karena aku tahu akhirnya dia yang akan kena batunya."

"Berarti Hyewon juga salah, kan?"

"Tentu saja." Sahut Bora sambil memutar kedua bola matanya. "Tapi aku heran kenapa pria itu tidak menjauh kalau memang dia tidak punya perasaan kepada Hyewon? Dia sama saja mempermainkan perasaan Hyewon, kan?"

Bora terdengar penuh emosi, untung saja gadis itu sedang tidak memegang pisau jadi Dino tidak meringis ketakutan--malah terdiam selama beberapa saat, memikirkan respon yang bijak untuk gadis itu. Dari sini sudah terlihat kalau Bora lebih condong ke sisi Hyewon, tidak heran karena Bora berteman baik dengan Hyewon.

"Jangan di-judge dulu, dong. Kau baru dapat cerita dari sisi Hyewon, kan? Bagaimana kalau ada cerita lain dari sisi pria itu?" Tanya Dino retoris. Bora akhirnya mengatupkan mulut, emosinya agak turun karena ia jadi malu, mengapa ia tidak berpikir bijak seperti itu, ya? Pikirnya dalam hati.

"Aku tidak mempermasalahkan kalau kau berada di sisi Hyewon, tapi alangkah lebih baiknya kalau kau tahu dulu keseluruhan cerita mereka dari pihak pria dan perempuannya, jadi kau bisa bijak. Jangan sampai kau menuduh orang sembarangan."

"I-iya, sih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"I-iya, sih."

Dino menyeringai, karen Bora tidak kunjung berkata apa-apa lagi, ia pun turun dari kursi dan berjalan menghampiri gadis itu di pantri. "Ada yang bisa ku bantu?" 

"No. No. No! Kau tidak bisa membantu apa-apa!" Kata Bora sambil menyikut Dino agar pria itu menjauh.

"Hei.. aku membantu membuatmu lebih bijak."

"Tapi tidak dengan memasak!"

Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang