19

118 20 0
                                    

Pintu apartemen terbuka dengan cukup kencang hingga menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Dino memanjangkan leher, memandang Bora yang masuk dengan dua kantong besar pada tangannya. Gadis itu buru-buru menaruh kantong itu ke atas meja pantri lalu dirinya berlari kecil masuk ke kamarnya, mengindahkan Dino yang mengangkat tangan kanan--berniat menyapa.

Dino pun heran, ia masih duduk santai di atas sofa, memandang pintu kamar Bora yang tertutup rapat. Lama sekali gadis itu di sana, entah apa yang dilakukannya hingga membuat Dino penasaran.

Saat Dino berniat berdiri untuk mengetuk pintu, Bora pun keluar dan berlari kecil ke dapur.

"Kau kenapa, sih, Bora?" Sahut Dino mengekori Bora ke dapur. Tapi gadis itu tidak mendengar, malah bersenandung sambil mengambil disinfektan untuk disemprot ke dua kantong besar di atas meja pantri.

"Bora?" Suara Dino terdengar lirih. Hatinya sedikit mencelus karena akhir-akhir ini Bora seperti tidak menyadari keberadaannya di sana. Ia pun menggapai bahu Bora. "Bora?"

"Dino?? Aku kira kau ke mana!" Seru Bora kaget. Matanya terbelalak, ia mengelus dada karena jantungnya hampir meledak sangking kagetnya melihat Dino sudah berada di belakangnya.

Dino sendiri meringis, memaksa tersenyum. "Aku di sini daritadi, memanggilmu."

"Ah... aku tidak dengar." Balas Bora sambil menggaruk kepala.

"Kau kenapa buru-buru sekali?" Tanya Dino segera mengalihkan pembicaraan. Ia memperhatikan isi kantong plastik yang dibawa Bora, yang berisi banyak bahan makanan.

"Hyewon akan ke sini besok. Aku mau party time biar dia sedikit rileks."

"Ah!" Dino yang sudah berdiri di samping Bora membelalakkan mata, ia baru ingat kalau Bora baru saja datang dari mengunjungi Hyewon. "Bagaimana kabarnya? Dia baik-baik saja, kan!?"

Bora menganggukkan kepala. "Baik. Tidak begitu baik sebenarnya, tapi dia masih bisa ku ajak ngobrol. Makanya ku suruh cepat-cepat ke sini biar tidak menyendiri."

"Baguslah." Ucap Dino sambil tersenyum kecil. Ia memandang Bora yang kini sibuk menyemprotkan disinfektan ke bungkusan makanan ringan dan bahan makanan kaleng yang ia beli itu. Sangat telaten dan tampak sudah terbiasa dengan kebiasaan barunya itu sejak pandemi.

"Aku khawatir sekali. Untung saja Hyewon mau membuka pintu apartemennya untukku. Ada sekitar 5 menit aku menunggu di depan pintunya tadi." Cerita Bora kemudian tanpa disuruh. Dino menganggukkan kepala, sedikit berbungkuk untuk memangku tangan di atas meja sambil mendongak, menatap Bora.

"Terus?"

"Ya... Aku bilang kalau aku hanya ingin mengecek keadaannya lalu pulang dan dia pun membukakan pintu untukku setelah menyuruhku menunggunya membersihkan apartemennya sesaat."

Dino menyeringai. "Terus?"

Sadar Dino mengeluarkan tanya yang sama, Bora memutar kedua bola matanya. "Terus aku bisa ngobrol dengannya, meski ya... aku tidak tahu harus bagaimana."

"Tidak mengajaknya ke Psikiater?"

"Lusa. Aku juga menyuruhnya tinggal di sini selama beberapa hari sampai ia merasa baikan." Jawab Bora membuat Dino menggulum senyum. "Dia mau?" Tanya Dino lagi.

"Ragu, sih. Tapi dia mau coba. Kalau memang masih merasa tidak nyaman aku akan mengantarnya pulang."

"Kau teman yang baik." Puji Dino membuat hati Bora membesar. Gadis itu menyembunyikan senyum sambil menyibukkan diri menaruh beberapa bahan makanan ke dalam laci pantri. Ia juga membereskan cemilan dingin ke dalam kulkas.

"Aku takut kalau dia melakukan hal buruk dan aku tidak ada di sisinya. Jadi, sekarang aku hanya mencoba melakukan apa pun yang ku bisa demi dirinya." Jelas Bora lirih lalu berjalan menuju ruang tengah. Dino mengikutinya, tersenyum penuh mendengar penuturan gadis itu. Hatinya menghangat, meyakinkannya kalau Bora memang orang yang baik.

"Kau sudah jadi teman yang baik, kok." Ucap Dino melayangkan tangan ke atas kepala Bora, mengacak rambut gadis itu sesaat.

"Dino! Jangan membuatku jumawa!"

Bora memajukan bibir, ia menepuk lengan Dino pelan sambil mengempaskan diri di atas sofa. Dino pura-pura mengaduh, lalu tertawa melihat ekspresinya.

"Yaa! Lama-lama bibirmu tidak kembali ke sedia kala karena terlalu sering merangut!"

"Dino!!" Bora meringis, menggigit bibir bawah dan melancarkan aksi untuk memukul lengan Dino--dengan pelan, tentu saja.

"Maaf... maaf... aku hanya bercanda hahaha!" Tawa Dino renyah, membuat Bora tersenyum kecil.

"Menyebalkan!"

"Iya, aku menyebalkan!" Sahut Dino masih dengan tawanya yang menggelegar.

"Ishh..."

"Kenapa, sih? Sekali-sekali merasa jumawa juga tidak apa-apa." Kata Dino heran, ia mengerutkan dahi tapi senyumnya tidak kunjung pergi dari wajahnya. Ia gemas sekali melihat Bora masih merangut karena dirinya yang tidak berhenti menggodanya.

"Ya... nggak enak! Kau pikir saja, merasa jumawa dikala temanmu sendiri memang butuh bantuan. Rasanya aku melakukan kebaikan karena ingin pamrih."

"Tapi kau memang khawatir dengan Hyewon, kan?"

"Tentu saja!"

"Ya sudah. Kau memang teman yang baik."

"Dinooo..." Ringis Bora. "Sudah, ya..."

Dino cekikikan. Pria itu menganggukkan kepala lalu menarik napas panjang. "Oke. Oke... aku berhenti."

"Daritadi, kek!"

"Kau memang pas untuk digoda, Bora. Rasanya tidak afdol kalau tidak menggodamu selama satu hari." Ujar Dino yang langsung mendapati dua kerlingan tajam Bora. Lagi-lagi lengannya menjadi korban tepukan gadis itu.

"Ish... menyebalkan."

"Tuh, kan... saat kau bilang menyebalkan, rasanya passs sekali!" Dino tertawa, menahan diri untuk tidak mencubit pipi Bora yang tampak menggemaskan karena gadis itu mengembungkannya.

Bora sendiri sudah memutar kedua bola mata. Ia menghela napas panjang, memandang lurus ke layar TV yang tidak menyala. "Kapan, sih, kau tidak menyebalkan? Selalu saja..."

"Kalau aku tidak menyebalkan kau akan diam, Bora. Kau akan kesepian. Kalau tidak ada aku, kau pasti bosan."

"Aku bisa melakukan banyak hal, kok, tanpamu."

"Masa?" Dino menggerlingkan mata ke arah Bora yang sedang bersidekap. "Kalau kau bisa melakukan banyak hal, aku tidak mungkin ada di sini sekarang."

"Kau, kan, memang pengganggu."

Dino mendengus. "Oh... jadi aku pengganggu?"

Bora gelagapan. Ia menggaruk tengkuknya, "Tidak, sih..."

"Akui saja, Yoon Bora. Kau memang membutuhkanku. Tanpa seorang Dino yang menyebalkan, kau pasti akan merana... kesepian... bosan selama pandemi. Kan?"

Lagi-lagi, Dino menggodanya. Kali ini Bora hanya bisa menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Ia mendesis kesal lalu menghela napas panjang.

"Kayaknya aku harus mencoba tidak mengindahkanmu, deh!"

"Kayaknya aku harus mencoba tidak mengindahkanmu, deh!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang