8

119 26 5
                                    

Masalah silih berganti, tapi hari tenang pun ada. Bora menghela napas berkali-kali, membaca pesan dari teman-temannya yang mengajak bertemu di tengah pandemi yang belum selesai ini. Hidupnya sudah sedikit lebih tenang, tidak seperti kemarin, tetapi ia tetap tidak bisa keluar. Selain takut dengan kerumunan, ia sedang berada di mode Introvert.

"Lama-lama kau harus beli tabung oksigen agar bisa bernapas dengan normal." Kata Dino sambil mengacak puncak kepala Bora. Pria itu turut duduk di depan pintu balkon, bersebelahan dengan Bora.

"Humm... boleh, belikan aku tabung oksigen untuk dikasih ke rumah sakit. Atas namaku, ya."

Dino melongos. "Kau kenapa?"

"Hyewon minta bertemu." Jawab Bora sambil menaruh ponselnya ke dalam kantung cardigan tipis berwarna cokelat muda yang ia kenakan. Jelas, gadis itu enggan membalas pesan temannya yang bernama Hyewon itu.

"Kau takut lagi covid begini atau kenapa?"

"Takut dan malas." Bora menghela napas. "Aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun."

"Oh... kalau begitu aku per--"

"Kecuali kau."

"Apa?" Dino berpura-pura tidak mendengar. Senyum di bibirnya tidak bisa disembunyikan sangking senangnya bisa menggoda Bora yang sudah meringis di sisinya.

"Kau tahu? Aku ini tipe yang Super Introvert. Aku lebih suka di rumah. Disuruh tetap di rumah selama pandemi memang tidak masalah, tapi ada kalanya aku ingin keluar rumah. Tapi tidak untuk bertemu dengan orang." Jelas Bora kemudian. Ia memangku kepalanya di atas lutut yang tertekuk, memandang Dino yang tampannya kebangetan hari ini.

"Tahu."

"Sok tahu." Seru Bora sambil menyikut pinggang Dino.

"Yaa! Aku memang tahu karena kau tidak kelihatan kewalahan selama berminggu-minggu di rumah. Masalahmu cuma kantor, kantor, tugas, tugas dan kehidupan di masa mendatang."

"Itu memang harus dipikirkan." Kilah Bora membuat Dino mendecakkan lidah.

"Tidak masalah kau introvert atau ekstrovert, tapi kau harus ingat untuk terus menjaga komunikasi dengan teman-temanmu."

"I try." Kata Bora, lagi-lagi menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, ya, mungkin karena aku tidak ingin punya ekspetasi terhadap manusia atau memang karena aku malas bergaul, hubungan pertemanan bukanlah hal utama di hidupku."

"Tapi kau tetap butuh orang lain di hidupmu."

"Aku butuh mereka." Tukas Bora cepat. "Tapi tidak harus menjadi teman, kan?"

Mulut Dino terkatup. Ia memandang Bora tajam selama beberapa saat, agak terkejut dengan jawaban Bora yang terlalu egois. Padahal kelihatan sekali, tanpa Dino di sisinya, Bora pun pasti akan kesepian.

"Kalau aku tidak ada bagaimana? Apa kau masih bilang begitu?"

"Mungkin? Dari awal aku juga sudah terbiasa sendiri." Jawab Bora lugas tanpa beban. Dino makin menyorotinya dengan tajam. "Kau tidak kesepian? Tidak ingin bercerita tentang sesuatu kepada orang lain?"

Bora mengangkat kepalanya, memandang lurus ke pemandangan bangunan-bangunan yang tinggi di sekitar apartemennya. Gadis itu tampak berpikir, lalu kembali menjawab. "Mungkin akan kesepian... tapi aku tidak masalah. Untuk bercerita... aku masih punya Ibu. Ya, meski jarang teleponan aku juga sering curhat kepadanya. Kau lihat sendiri, kan?"

"Individuali sekali. Kau tahu tidak? Sebenarnya manusia tidak bisa hidup tanpa teman."

"Memang. Tapi aku jujur, aku tidak begitu suka dengan hubungan pertemanan."

"Kenapa? Kau trauma?"

"Kinda?" Bora bertanya retoris kepada dirinya sendiri. Gadis itu memijit telapak tangan kirinya, sedang mengingat-ngingat kejadian di masa lalu yang membuatnya jadi super introvert dan individualis.

"Dalam pertemanan kau seperti mengikat seseorang dalam hidupmu, Dino. Aku tidak suka. Sedangkan setiap manusia punya haknya masing-masing. Kau tidak bisa memiliki mereka, mengikat mereka seakan mereka hanya boleh melakukan sesuatu bersamamu." Jelas Bora kemudian.

"Ya, tidak perlu diikat. Pertemanan itu adalah hal yang bebas."

"Kenyataannya tidak." Debat Bora. "Ketika temanmu pergi keluar dengan orang lain, kau akan merasa sedih. Atau... ketika temanmu mencuekkanmu, kau akan merasa marah."

Dino diam, ia memandang Bora penuh tanya.

"Aku tidak ingin rasa kesal dan sedih itu menggorogotiku, Dino. Aku tidak suka merasa ditinggalkan, tidak suka merasa dicuekkan... Aku tahu, mereka tidak berniat begitu padaku, tapi tetap saja aku tidak suka."

"Dan kau memilih untuk hidup individualis?"

Bora menganggukkan kepala, menjentikkan jari lalu terkekeh pelan. "Betul sekali!"

"Terus... kau mau sendirian selamanya? Kau tidak mau... me...nikah?"

"Aku mau." Jawab Bora sambil menghela napas. "Aku masih mau menikah, punya anak... hidup berkeluarga. Aku mau."

"Tapi bagaiman--"

"Nanti ada waktunya." Bora memotong Dino yang ingin mencecarnya. "Tidak sekarang."

Dino kembali diam, mengatupkan bibir karena Bora seperti enggan melanjutkan obrolan mereka hari ini. Diskusi yang bisa jadi lebih berat dan menimbulkan berbagai tanya baginya dan Bora sendiri. Dino sendiri bisa melihat kalau Bora tidak sungguh-sungguh yakin untuk menjadi sosok yang individualis, toh gadis itu masih punya teman.

"Jadi, Hyewon tidak akan kau balas pesannya?"

"Tidak dulu." Jawab Bora sambil menggaruk kepalanya. "Nanti pasti akan ku balas."

"Ingat, ya. Kau tetap tidak boleh egois! Kau memang tidak suka berteman, tapi sekarang kau memiliki Hyewon sebagai teman dekatmu." Dino memperingatkan sehingga Bora terkekeh sambil menganggukkan kepala. "Iya, I'm trying."

"Serius?"

"Iya, Dino! Aku juga tidak enak kalau tidak membalas pesan Hyewon. Apalagi dia seringkali membantuku ketika aku susah."

Tawa Dino menguar, "Kan? Aku bilang apa? Kau tidak bisa hidup tanpa teman! Dengan sendirinya kau tetap akan berteman dengan orang lain."

"Iya." Bora melongos, segera berdiri meninggalkan Dino di pintu balkon. Gadis itu kesal karena Dino benar, tapi tidak punya argumen untuk mendebatnya.

Mau seindividualis apa pun Bora, ia tetap akan berteman dengan orang lain. Kalau bukan Hyewon, ia mungkin berteman dengan penjaga mini market dekat apartemen yang selalu didatanginya, atau dengan bibi penjual Tteok di dekat kantornya. Dan ia tidak bisa tidak bergaul dengan orang-orang kantornya pula.

"Yaa! Yoon Bora! Kau tidak bisa jadi manusia yang individualis sepenuhnya, kan?" Dino memekik, membuat Bora menahan senyum.

"Yaa! Yoon Bora!"

"Ribut sekali, sih, Kau!!"

"Ribut sekali, sih, Kau!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang