5

165 33 2
                                    

Jari Bora bergerak cepat menggunakan kursor. Kedua matanya fokus menatap layar laptop yang memperlihatkan software Coreldraw. Sedangkan Dino duduk di sofa, agak membungkuk untuk melihat pekerjaan Bora yang duduk di karpet bawahnya. Gadis itu fokus sekali sampai Dino enggan mengganggunya meski ia ingin sekali mengajaknya berbicara.

"Susah juga, ya." Keluh Bora sambil meremas tangan kanannya, lalu mengibaskannya karena merasa kesemutan.

Dino nyengir. "Nggak heran biaya design itu mahal."

"Iya. Nggak heran sebuah design yang bagus bisa selesai dalam kurun waktu yang lama." Tambah Bora yang kini menyandarkan tubuhnya di kaki sofa. Mata dan tangannya agak lelah sampai ia mengerjap beberapa kali. Sesekali bayangan wajah Dino yang menatapnya tampak di pandangan.

"Kau benar." Ucap Dino refleks menepuk-nepuk jidat Bora pelan. Tertawa kecil karena gadis itu tidak mengelak, malah sepertinya butuh tepukan itu.

"Kenapa kau masih mau belajar design, sih, Bora?"

Bora mengedikkan bahu. Pertanyaan itu juga muncul dari dirinya sendiri. Ia tidak tahu mengapa jadi ingin belajar design. Padahal ilmunya itu belum tentu bisa dipakai dalam kehidupannya sebagai seorang admin iklan di sebuah radio swasta. Kerjaannya, kan, hanya berurusan dengan Excel dan hitungan-hitungan lainnya.

"Hanya... ingin?"

"Produktif sekali keinginanmu."

"Jelas. Yoon Bora memang anak yang rajin, pintar, kaya dan tidak sombong." Kelakar Bora lagi-lagi membuat Dino tertawa.

Tawa Dino menular karena Bora jadi ikut tertawa. Entah apa yang ada dalam tawa pria itu karena Bora sangat suka mendengarnya, apalagi kalau Dino sudah tertawa terpingkal-pingkal.

"Kenapa tidak ikut les online saja?" Tanya Dino kemudian.

Bora menegakkan tubuhnya lalu mendecakkan lidah. "Nggak, ah. Aku cuma mau belajar sebisaku saja."

"Kalau bisa belajar dengan serius, kenapa tidak?"

"Malas." Bora mengerucutkan bibir. Gadis itu mendongak agar bisa melihat Dino dengan jelas, kini pria itu yang mendecakkan lidah.

"Kalau malas ya mending nggak usah belajar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau malas ya mending nggak usah belajar."

"Aku malas kalau ikut les, mending belajar sendiri." Elak Bora cepat. "Lagian kalau les online nanti aku nggak bisa sembari ngobrol denganmu."

Awalnya Dino ingin mendebat, begitu mendengar kalimat terakhir Bora ia jadi diam dan menyeringai. "Oh... jadi karena aku?" Goda Dino kemudian.

Bora pura-pura tidak mendengar. Ia menggulum senyum lalu melakukan peregangan badan. "Aaahhh... pegelnyaaa..."

"Yoon Bora..." Dino mendesis dan Bora segera berdiri dari duduknya.

"Yaa!" Seru Dino dengan senyuman yang cukup lebar saat melihat Bora tertawa sambil berjalan ke dapur.

Bora mengambil minuman dari kulkas, meminumnya di pantry sambil menatap Dino yang juga menatapnya dari sofa. Keduanya diam, saling melemparkan senyuman. Bora tidak bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang tapi daritadi jantungnya berbuncah tidak keruan. Belum lagi kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Geli, tapi menyenangkan.

"Besok, setelah bekerja, kau mau ngapain?" Dino menyahut, power suaranya agak naik agar Bora bisa mendengarnya.

"Bagusnya ngapain?" Tanya Bora balik. Setelah minum ia langsung berjalan kembali, kali ini duduk bersebelahan dengan Dino yang daritadi tidak bisa mengalihkan tatapannya dari gadis itu.

"Nonton film." Jawab Dino. "Kemarin tidak jadi karena bosmu, kan?"

Lantas Bora terkekeh. "Maaf. Kau tahu sendiri bosku seperti apa."

"Hmm... kalau begitu besok, eng?" Pinta Dino sedikit manja membuat Bora gemas tapi ia harus menahan diri untuk tidak mencubit pipi pria itu.

"Iyaa besok. Memangnya kau mau nonton apa?"

"Apa saja yang penting nontonnya bersamamu."

Selama beberapa saat Bora diam. Ia terlalu terkejut mendengar Dino yang ternyata masih asyik menggodanya. Sedangkan pria itu mesem, lalu terkekeh malu karena perkataannya sendiri.

"Setelah pandemi kau bisa dinobatkan sebagai pria tergombal, loh."

"Hahahaha... aku hanya menggombalimu, Bora."

Bora tahu, Dino hanya menggombalinya. Tapi jantungnya tetap berdegup kencang padahal pria itu berkata sambil tertawa. Entah memang berniat menggombal atau hanya sekadar bercanda. Miris juga kalau dipikirkan lebih lanjut. Tanpa sadar, Bora menghela napas panjang. Ia tersenyum lirih pada Dino yang masih menyunggingkan senyum lebar.

"Kenapa?"

Kepala Bora segera bergerak ke kiri dan ke kanan begitu Dino bertanya, tapi kedua matanya tidak lepas dari wajah pria itu.

"Kalau pandemi usai bagaimana, ya?" Tanya Bora tiba-tiba.

"Bukannya bagus?"

Napas Bora terhela kembali. Ia melihat keluar jendela, menerawang, membayangkan pandemi berakhir. Memang bagus. Hidupnya tidak akan terkungkung lagi. Tidak akan jenuh dan membosankan lagi. Tapi ada satu keraguan yang muncul di hatinya.

"Tapi kau tidak usai menemuiku juga, kan?"

Kali ini Dino yang mendesah. Perlahan tangannya bergerak mengacak puncak kepala Bora dengan pelan. "Kau mikir apa, sih? Memangnya aku pria panggilan selama pandemi?"

Bora tersenyum getir. "Sebutannya frontal juga, ya."

"Siapa suruh berpikir begitu!?"

Bora mendecakkan lidah. Ia menepis tangan Dino yang asyik nangkring di kepalanya lalu beringsut duduk di bawah sofa lagi.

"Makanya... lebih baik kau tinggal di sini bersamaku selamanya saja, Dino." Kata Bora dengan suara super kecil tapi Dino bisa mendengarnya dengan jelas.

"Aku memang tinggal di sini, kok. Kapan aku mau pindah?" Tanya Dino balik yang tidak dijawab Bora. Gadis itu malah memfokuskan diri di depan layar laptop, kembali meraba-raba tools yang ada di software yang kini sedang dipelajarinya, sekalian mengindahkan pikiran yang bergerumul di kepalanya.

Di atas sofa, Dino bersidekap. Ia menghela napas panjang lalu menyunggingkan senyum tipis di wajah. Ia gemas dengan sikap Bora dan maka dari itu, tangannya kembali bergerak menuju kepala gadis itu, mengacak-acak rambut Bora sampai gadis itu geram dengan sikapnya.

"Dinooooo!!"

Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang