6

160 37 11
                                    

Bora menghela napas untuk kesekian kalinya. Pikirannya bergerumul meski layar TV di depan matanya menampakkan adegan-adegan serial yang ia suka. Dino, pria yang duduk di sampinganya, menyadari hal itu sehingga dengan cepat ia meraih remote TV dan menjeda seri yang tengah mereka tonton. Bora terperanjat karenanya, gadis itu mendecakkan lidah kesal.

"Kenapa dijeda?" Tanya Bora ingin meraih remote TV tapi Dino menyembunyikannya di balik punggung.

"Memangnya kau nonton?"

"Nonton!"

Dino mendengus. "Menonton atau tengah memikirkan hal lain sampai harus mendesah berkali-kali?"

Skakmat. Bora menutup kedua mulutnya rapat lalu menenggelamkan diri di punggung sofa. Ia diam selama beberapa saat, kedua matanya menerawang ke horden yang tertutup rapat. Dino benar. Ia tidak fokus menonton karena pikirannya kembali sibuk dengan hal lain.

"Kenapa?" Tanya Dino lembut, ia melipat kakinya di atas sofa, dengan sempurna duduk menghadap Bora yang masih bersandar, memeluk dirinya sendiri yang tengah kalut.

"Tidak apa-apa." Desah Bora kalut. "Aku hanya memikirkan, apakah aku sudah cukup baik dalam mengerjakan tugasku?"

"Masih kepikiran sama laporan bulan ini?"

Bora mengangguk. "Terus... aku mikir kalau aku tidak sebaik atasanku di kantor. Aku tidak tahu apakah bisa sebaik dirinya atau tidak."

"Tapi kau rajin. Kau sudah melakukan banyak hal. Kau bahkan melakukan lebih dari tugasmu yang sebenarnya." Kata Dino keheranan. Bora memang suka memikirkan hal yang tidak-tidak. Perasaan baru kemarin gadis itu mengeluh soal atasannya, soal pekerjaannya.

"Apa betul? Aku merasa kurang, Dino. Aku seperti terkesan malas-malasan."

"Malas apanya!?" Seru Dino dengan dahi berkerut. "Kau bahkan masih disuruh bekerja di hari libur! Lihat? Kita bahkan harus nonton tengah malam karena tadi kau harus mengerjakan tugas dadakan dari atasanmu."

"Tap--"

"Kau sudah bekerja dengan keras, Bora. Kau rajin sekali. Kau luar biasa hebat!"

Pujian-pujian itu seperti angin lalu kali ini. Biasanya Bora akan jumawa kalau Dino sudah memujinya. Tapi tidak. Perasaan kurang puas itu masih memenuhi isi hatinya. Kepalanya pun berusaha keras memikirkan berbagai inovasi yang mungkin bisa dikerjakannya besok-besok.

"Bora." Panggil Dino. "Ini waktunya kau untuk beristirahat. Biarkan otakmu untuk beristirahat sebentar, oke?"

"Tapi Dino... beneran, deh."

"Beneran apanya?"

"Aku pemalas, ya?"

Dino geram dibuatnya. Pria itu sampai memutar kedua bola matanya lalu kembali duduk menghadap TV. Ia enggan berbicara dengan Bora yang masih tidak sadar kalau sebenarnya ialah korban dari kekejaman kantornya.

"Dino..." Bora merengek. "Kenapa aku begini, sih? Aku takut nggak bisa meningkatkan karirku."

Dino menepis tangan Bora yang menepuk-nepuk lengannya. Ia juga mendecakkan lidah, enggan membalas rengekan Bora yang tidak relevan dengan realita.

"Dino... bagaimana, ya?"

"Berhenti jadi perfeksionis." Kata Dino kemudian. "Otakmu konslet. Kau terlalu ingin semuanya jadi sempurna sampai lupa kalau kau masih muda dan butuh pengalaman. Tidak mungkin kau bisa menyamai atasanmu sekarang, Bora. Umur kalian jauh bedanya! Pengalaman kalian juga beda!"

"Tapi bisa saja anak seumuranku melakukan hal yang lebih baik. Aku tidak tahu harus melakukan apalagi..."

"Kalau mereka bisa melakukan yang lebih baik, kenapa mereka tidak menggantimu? Kenapa atasanmu selalu menolak lamaran pekerjaan orang lain yang kemampuannya bisa lebih baik darimu?"

Symptom [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang