Bonus: Aksha's POV (2)

2.2K 125 83
                                    

Klub malam Dancing Butterfly, Jakarta, 2017

(Enam tahun setelah pernikahan Giani dan Aksha)

"Kenapa muka lu ditekuk gitu? Habis berantem sama bini di rumah?" goda Arjuna Prananjaya sambil memamerkan cengiran khasnya. 

Aku meneguk martini lemonku sambil mengedikkan bahu. Sebenarnya masalah rumah tangga tidak boleh diumbar-umbar, apalagi kepada orang luar yang tidak terlalu dekat. Aku kenal baik dengan Arjuna Prananjaya, tetapi belum cukup dekat untuk kuanggap teman. Sedangkan perempuan cantik berkulit sawo matang dan berbodi aduhai itu baru pertama kali kulihat. 

Namun aku telanjur kesal dengan istriku. Semakin hari, permintaannya semakin tidak masuk akal. Terakhir ia ngambek hanya karena aku tidak nge-like unggahan Instagram terbarunya yang ada fotoku juga. For God's sake, woman! Aku bahkan tidak memegang akun Instagram-ku sendiri. Menjelang pilkada seperti ini, akunku dipegang oleh tim kampanye. 

Memang, sih, Giani sedang hamil anak keempat kami. Kandungannya sudah menginjak trimester ketiga. Aku merasa bersalah karena tak bisa sering menemaninya -- amanah politik dari Bapak yang memaksaku ikut Pilkada Jakarta 2017 sungguh membuatku stres. Jujur, kurasa Daniya akan jauh lebih andal seandainya ia yang mencalonkan diri. Namun apa boleh buat, hanya aku satu-satunya yang berjenis kelamin laki-laki di keluarga Syahreza. Seluruh hidupku -- rumahku, bisnisku, dan harta kekayaanku -- semuanya berasal dari Bapak. Jika aku tidak mengikuti keinginannya, lalu ia mencabut semua tunjangannya, bagaimana aku, istriku, dan keempat anakku bisa hidup?

"Emang gue kelihatan bareng lu gapapa, Jun? Secara kita berseberangan partai." Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. "Not that I care either." 

Kakak Arjuna, Narendra Prananjaya, juga maju Pilkada DKI Jakarta menjadi sainganku.

"Santai, bro. Gue netral. Kan gue TNI," balas Arjuna sambil melingkarkan tangannya ke pinggang wanita seksi itu. 

"Pacar?" tanyaku. 

Arjuna melirik ke arah wanita itu, lalu tersenyum. "Just friends." 

"Friends or friends with benefits?" sindirku, ikut tersenyum. 

Senyum Arjuna melebar. Seperti namanya, Arjuna Prananjaya memang tampan dan gagah, sudah pasti banyak wanita mengejarnya. Apalagi ia masih single, sehingga ia tidak perlu merisaukan perasaan wanitanya sepertiku. 

Kadang-kadang aku merindukan kebebasanku sebelum menikah, mau keluar sampai jam empat pagi di London pun tidak ada yang protes. Apalagi dengan keadaan rumah tangga kami yang sedang kurang harmonis, setiap pulang aku disambut dengan wajah cemberut dan suara tinggi istriku. Atau aku didiamkan dia yang berbaring di kasur dan hanya scroll-scroll ponsel. Padahal aku sudah capek, mau bermanja-manjaan dengan istri. 

Apa gunanya istri kalau bukan untuk memuaskan keinginanku? 

Aku sudah memberinya semua yang kubisa. Kecuali waktu, karena waktuku sedang disita Bapak. Apakah Giani lupa dulu aku menemaninya ke mana-mana saat kami baru menikah? Aku juga menemaninya bulan madu, lalu babymoon, lalu ....

"Nggak boleh mikir gitu lagi, Mas Aksha. Lu udah nikah, harus setia sama istri," ujar Arjuna, seakan-akan bisa membaca pikiranku. Padahal ia hanya menanggapi komentarku soal friends with benefits tadi. 

Aku hanya mengembuskan napas. Ingat, Aksha, ingat. Sekarang kamu sudah menjadi figur publik. Kamu harus memikirkan imejmu. Ingat kampanye. Ingat, sekecil apapun kesalahanmu bisa digembar-gemborkan media. Apalagi aku tidak sepenuhnya percaya pada Arjuna Prananjaya. Boleh saja ia anggota TNI yang tidak ikut Pilkada, tapi tidak ada jaminan ia takkan membocorkan kelakuanku pada pertemuan kali ini. 

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang