6. Second Time

6.2K 483 118
                                    

The next day the two sisters were at the ball, and so was Cinderella, but dressed even more magnificently than before. 

.

.

.

Keheningan canggung mendominasi suasana di dalam interior BMW X6 putih milik Aksha Fajar Syahreza. Berkali-kali aku mencoba mencairkan ketegangan ini, namun belum berhasil. Setiap kata yang ingin kulontarkan dari mulutku malah terdengar bodoh di benakku. 

"Mas ... nggak perlu repot-repot menjemputku seperti ini," ujarku. Sedetik kemudian aku ingin menarik kembali ucapanku. 

"Nggak repot. Kebetulan aku juga masih di kantor tadi, jadi sekalian aja," sahut Aksha ringan. Entah dia jujur atau bohong. Dinilai dari lama waktu antara teleponku sampai dia tiba di sini, sepertinya, sih, dia jujur.

"Makasih ..." tuturku untuk keberapa kalinya. 

Ah, Gi, diam aja, deh, kalau nggak ada yang lebih bagus diomongin.

"Terima kasih kembali." 

Lagi-lagi sunyi. Pikiranku berkecamuk. Aku penasaran alasan sebenarnya dia berbuat baik seperti ini. Kalau boleh kegeeran, sih, bilang saja Aksha naksir padaku. Tapi aku, kan, sudah punya pacar, dan aku bahkan terang-terangan curhat kepadanya soal pacarku. Lalu apa maunya? Pertama kiriman bunga itu, dan sekarang menjemputku bagaikan suami siaga. Eh, maksudku pacar siaga. Eh, apa, sih!

"Mas Aksha?" Aku membuka suaraku.

"Ya?"

"Kenapa, sih, Mas baik banget sama aku? Aku nanya ini supaya aku nggak salah paham. Mungkin habis ini aku bakal diturunin di jalan, terserah. Tapi aku nggak mau berandai-andai dan kegeeran sendiri. Mas tahu, kan, aku udah punya pacar?"

Aksha tertawa kecil. "Tahu, Gi. Kan kamu yang cerita padaku soal pacarmu."

"Trus ... trus ... aku nggak mungkin pindah hati gitu, Mas!"

Tawa Aksha mengeras. "Giani, Giani. Kamu lucu."

Pipiku memanas. "Lebih baik sekarang daripada aku salah paham berkelanjutan." 

"Aku salut padamu. Nggak banyak perempuan yang berani bicara gamblang sepertimu."

"Aku kan wartawan, lupa, ya?"

Aksha menarik napas. Lalu sambil menghentikan mobilnya karena lampu merah, ia menoleh ke arahku. "Gi, aku punya prinsip. Berbuat baik itu nggak usah pake pamrih." 

Aku balas menatapnya, namun nggak mengatakan apapun. 

"Seperti yang aku sudah bilang sebelumnya, aku kagum padamu. Anggaplah seperti penggemar pada idolanya. Aku selalu menonton acaramu di televisi dan membaca artikel beritamu. Aku suka karyamu. Jadi saat aku punya kesempatan untuk berkenalan denganmu, tentu saja aku memanfaatkan kesempatan itu. Aku nggak ada niat menyuruhmu putus dengan pacarmu dan jadian denganku. Aku puas hanya berteman saja denganmu."

"Jaman sekarang, memang bisa laki-laki dan perempuan hanya berteman? Apalagi kita sudah sama-sama dewasa, cukup umur untuk menikah." 

Ups, aku keceplosan. Buru-buru kubekap mulutku dengan kedua tangan. 

Lampu merah berganti hijau. Aksha mengganti gigi mobil dari P ke D. Bunyi gas mobil menderu di telingaku. Oh, aku nggak pernah tahu kalau seorang lelaki bisa terlihat seksi saat mengemudi. 

"Kita lihat saja," jawab Aksha. "Tapi memangnya kamu nggak punya teman lelaki yang benar-benar tulus hanya ingin berteman?" 

Aku berpikir sejenak. "Punya, sih. Tapi biasanya teman sejak SMA. Teman kuliahku kebanyakan cewek, dan kalau cowok ujung-ujungnya naksir aku." 

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang