1. Cinders and Ashes

12.9K 712 100
                                    

When she had done her work, she used to go to the chimney corner, and sit down there in the cinders and ashes.

.

.

.

Jakarta, Desember 2010

Aku menatap layar laptopku puas. Jemariku mengklik tombol Ctrl + S, lalu kubuka emailku dan kukirimkan tulisanku. Mataku melirik ke jam di sudut kanan bawah desktop komputerku yang menunjukkan wallpaper fotoku bersama pacarku. Pukul setengah lima. Lumayan, aku bisa berleha-leha sejenak sebelum pulang. Aku berencana ngafe dulu sebelum pulang -- menghindari berdesakan di bus TransJakarta pada jam pulang kantor.

"Giani!" panggil Mas Reza, atasanku.

Aduh, apa lagi? batinku. Semoga gue nggak dikasih tugas baru, deh.

"Minggu depan ada acara penghargaan atlet peraih medali Asian Games. Lu ikut, ya."

Ah, untunglah. Aku suka menghadiri acara-acara semacam ini. Selain bisa bertemu idolaku, aku bisa mengenakan gaun mewah dan tampil cantik.

"Di mana, Mas?" tanyaku.

"Hotel Sultan di Senayan," sahut Mas Reza sambil menyodorkan selembar tiket masuk khusus wartawan. "Ntar berangkat bareng dari kantor, ya."

"Yah, padahal cowok gue kan juga datang ke acara itu. Gue nggak boleh bareng dia aja?"

Kekasihku, Danar, adalah atlet taekwondo nasional yang baru meraih medali perunggu di Asian Games kemarin. Lumayan, biarpun bukan emas.

Mas Reza tertawa. "Ya kali, dia berangkat bareng elu. Palingan dia berangkat sama rekan-rekannya."

Aku menggeleng. "Peraih medali taekwondo cuma dia, kok."

"Tapi ini tugas kantor, Gi. Jadi lu harus datang sama kantor. Bukan sama cowok lu," tegas Mas Reza.

Aku memanyunkan bibirku, namun pasrah. Terbayang olehku naik mobil van beramai-ramai dengan beberapa wartawan lainnya. Minimal Mas Reza ikut. Lalu ada kameraman dan supir. Belum lagi membawa peralatan rekamannya. Kalau sama Mas Danar, biarpun naik motor, tapi cuma berdua. Apalagi aku sudah lama nggak menghabiskan waktu dengannya. Aku kangen.

"Ya udah," tuturku. "By the way, artikel tentang Manchester United versus Liverpool udah gue kirim, ya, Mas. Gue mau cabut."

"Belum jam lima, woy," gerutu Mas Reza, namun aku tak peduli.

"Setengah jam lagi, paling cukup buat ngegosip doang," ledekku sambil menjulurkan lidah.

Aku menarik tas ranselku dan bergegas keluar kantor, tak lupa check out terlebih dahulu. Aku menuju kamar mandi untuk cuci muka, retouch make up, dan mengganti pakaian kantorku dengan terusan selutut berwarna pink bunga-bunga. Mau nongkrong di kafe harus cantik dikit, lah. Siapa tahu dilirik eksekutif muda ganteng nan mapan.

Bukannya mau selingkuh atau apa. Aku senang saja kalau ada yang memerhatikanku karena kecantikanku. Rasanya bangga dan puas.

Sebelum keluar dari kamar mandi, aku memeriksa saldo rekeningku melalui online banking. Sekitar empat juta rupiah. Maklum, masih awal bulan. Gajiku enam juta rupiah, biaya kosanku dua juta. Buat makan, transportasi, dan nongkrong habis dua sampai tiga juta. Sisa sejuta atau dua juta buat ditabung. Tapi kadang aku ingin belanja buat refreshing, jadi seringkali nggak bisa menabung.

Kalau begini, kapan aku punya modal nikah?

Gaji Mas Danar nggak seberapa, tapi bonus yang dia dapat setelah memenangkan kejuaraan-kejuaraan lumayan, sih. Sayangnya kemarin adiknya, Wulan, terkena musibah yang menyebabkan dia harus membiayai perawatan adiknya. Aku tahu diri, takkan menuntut macam-macam. Kasihan Wulan, dia baru enambelas tahun dan sekarang hamil enam bulan gara-gara diperkosa teman SMA-nya. Aku nggak keberatan Mas Danar mengutamakan adiknya daripada aku.

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang