11. A Proposal

6.5K 443 115
                                    

For a few days later, the king's son had it proclaimed, by sound of trumpet, that he would marry her whose foot this slipper would just fit. 

.

.

.

Dalam memilih pasangan hidup, pada dasarnya kita pasti memilih orang yang terbaik dari segala pilihan yang tersedia. Dulu, ketika aku menerima pinangan Mas Danar untuk menjadi kekasihnya, dia adalah yang terbaik dari semua lelaki yang mengejarku. Tampan, berkelakuan baik, dan berprestasi, meskipun nggak kaya. Dulu, aku masih idealis. Kekayaan bisa dicari bersama, bukan? Lagipula Mas Danar bukan orang miskin, meskipun bukan juga konglomerat. 

Namun setelah Aksha muncul di kehidupanku, aku mulai ragu. Manakah yang terbaik untukku? Aksha atau Mas Danar? 

(Seharusnya aku menyebut Aksha 'Mas Aksha', karena ia lebih tua dua tahun daripada Mas Danar. Tapi entah pikiranku selalu memanggilnya 'Aksha' saja.)

Aksha nggak marah mendengar jawabanku. Ia malah mengajakku keluar penthouse menuju terasnya yang sangat luas. Kami duduk di sofa outdoor yang terbuat dari jalinan rotan dan bantalan empuk, menikmati cahaya lampu Jakarta di malam hari. 

"Aku tahu kenapa kamu ragu memutuskan," ucap Aksha, memecahkan keheningan. "Kamu punya dua tahun bersama Danar, sedangkan kita belum lama saling mengenal."

Terperanjat, kutatap wajahnya. Bagaimana ia dapat membaca pikiranku? 

"Karena itu, aku ingin mengajukan sebuah proposal. Coba dengarkan baik-baik, lalu tentukan apakah kamu menerimanya atau menolaknya. Gimana?" lanjutnya. 

"Silakan," ujarku. 

"Sederhana saja. Berkencanlah denganku selama Danar nggak ada di sini. Pelatnas atlet taekwondo di Korea berlangsung selama sebulan, kan? Dalam waktu itu, aku akan berusaha memenangkan hatimu. Kalau aku berhasil meyakinkanmu, maka ..." Aksha berhenti sejenak. 

"Maka apa?" desakku. 

"Aku akan menikahimu." 

Aku sedikit terlonjak dari tempat dudukku. "Me--menikah? Yang benar saja!"

"Kenapa? Aku memang serius mencintaimu, Giani. Aku sudah sampai tahap siap menikah denganmu. Nggak seperti pacarmu itu." 

Aku masih melongo. "Tapi ... kamu udah yakin denganku, Aksha?" 

"Sangat yakin." 

Ia menggenggam tanganku dan meletakkannya di atas dadanya. Dapat kurasakan detak jantungnya, dan ini malah membuatku merasa hangat. 

"Aku benar-benar ingin serius denganmu, Giani," ulangnya. "Jadi gimana, kamu menerima tawaranku atau nggak?" 

***

Ya sudahlah. 

Kupikir nggak ada salahnya mencoba berkencan dengan Aksha. Toh, kami cuma saling menjajaki satu sama lain. Secara objektif, semua orang pasti akan menganggap Aksha lebih unggul daripada Mas Danar. Tampan, dua-duanya tampan. Kaya, Aksha jelas unggul. Pendidikan tinggi, well, Aksha lulusan University College London, sedangkan Mas Danar lulusan Universitas Negeri Jakarta. Latar belakang keluarga, Aksha keturunan politisi ternama yang berperan membangun bangsa. Mas Danar ... yah, keluarganya orang baik-baik, sih, tapi ... nggak bisa dibandingkan, deh. 

Cinta? Aku mencintai dua-duanya. Sekarang hatiku memang lebih menggebu-gebu untuk Aksha, namun aku pernah mencintai Mas Danar. Lagipula, dari cerita yang kubaca di novel dan pengalaman teman-temanku, hati itu plinplan. Mudah berubah. Kalau aku dulu mencintai Mas Danar dan sekarang memudar, apa jaminannya aku akan selamanya mencintai Aksha?

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang