13. The Little Two-Timer

5.6K 410 79
                                    

Udah kehabisan quote Cinderella. Wkwkwk. Dobel apdet nih.

.

.

.

"Mas Danar terlalu baik untuk menderita. Kalau Mas mau aku tega mutusin dia, aku harus menjauhkan emotional attachment-ku dengannya. Dan itu butuh waktu. Aku akan kurangin frekuensiku berhubungan dengannya, membalas chat-nya, dan pergi keluar bersamanya," jelasku. 

"Sebenarnya aku nggak rela berbagi dirimu dengan lelaki lain," ujar Aksha. "Kamu sudah memilihku, seharusnya kamu bersamaku untuk seterusnya. Tapi aku akan memberimu waktu yang kamu minta." 

"Makasih, Mas Aksha," tuturku. 

"Satu lagi, kurasa bulan November terlalu lama. Kalau kamu bisa melepaskannya lebih cepat ... itu akan lebih baik bagi kita bertiga, Gi."

Aksha mulai kehilangan kesabarannya. Jika aku bersikap seperti ini terus, bisa-bisa aku kehilangan keduanya. Baik Mas Danar maupun Aksha akan meninggalkanku. 

Dan aku nggak akan membiarkannya. 

***

Terpaksa, aku menjadi wanita bermuka dua. Seperti janjiku pada Aksha, aku memang mengurangi frekuensi dan intensitasku berhubungan dengan Mas Danar. Dia masih rutin mengirimkan pesan setiap pagi untuk menyapaku, namun kali ini aku nggak langsung membalasnya. Saat ia mengajakku makan malam, sesekali kuiyakan, namun lebih sering kutolak dengan alasan sibuk. Padahal saat itu aku pergi dengan Aksha. Aku memintanya membawaku ke restoran-restoran mahal yang nggak mungkin dikunjungi Mas Danar. 

Lambat laun, Mas Danar mulai memahami sinyal yang kuberikan. Ia semakin jarang mengajakku makan malam maupun pergi berkencan. Apalagi ia disibukkan mengurus keponakannya, Chandra, yang kini berusia tiga setengah bulan. Karena Wulan masih belum pulih, praktis ia, kakak, dan kakak iparnya yang merawat Chandra.

Tak terasa, tanggal 28 Mei mendekat. Ulang tahun Mas Danar yang keduapuluh lima. Kalau aku melewatkannya begitu saja, aku akan menjadi pacar yang sangat jahat. Namun dengan kondisiku yang galau seperti ini, aku juga nggak bisa menyiapkan kejutan apa-apa untuknya. Bahkan, haruskah aku membelikannya kado?

"Giani, dari tadi aku ngomong, kamu nggak dengar?" tanya Aksha. 

Kami sedang berbaring di atas tempat tidur di apartemen Aksha. Sejak malam itu, aku beberapa kali diajak lagi ke apartemennya. Seringnya hanya makan malam, namun kadang-kadang kami 'senam' bersama dan aku menginap. Walaupun nggak pernah seenak malam itu, karena ada yang mengganjal hatiku. 

"Maaf," ringisku. "Aku cuma ..."

"Memikirkan Danar?" lanjut Aksha. "Gi, aku bener-bener nggak suka ini. Kenapa kamu nggak biarin aku aja yang ngomong, kalau kamu nggak sanggup? Aku nggak rela berbagi perhatianmu dengan lelaki lain."

"Seharusnya kamu mikir waktu ngejar aku, aku udah punya pacar," gerutuku. 

"Siapa yang galau waktu aku pergi berdua dengan Eli? Marahnya udah kaya pacarku aja, padahal belum," balasnya. 

"Oh, jadi gini sifatmu yang sebenarnya," sindirku sarkas. 

Aksha menarik napas. "Gi ... coba kamu bayangkan kalau kamu jadi aku. Gimana perasaanmu, disuruh nunggu lelaki melepaskan pacarnya?" 

"Boro-boro," ujarku. "Dari awal aku kasih ultimatum, pilih aku atau dia." 

"Kalau dia plinplan?" 

"Aku tinggalin." Lalu aku tersedak, membayangkan apabila Aksha benar-benar meninggalkanku. 

"Kamu yakin kamu kuat ditinggal aku?" ledeknya. 

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang