8. An Advice

5.8K 481 137
                                    

Indeed, she quite forgot what her godmother had told her.

.

.

.

"Giani? Lagi sibuk nggak?" Itu suara Mas Danar. 

Sejak dua minggu terakhir ini, frekuensi aku menghubunginya semakin berkurang. Kubilang kantor sedang memberiku banyak tugas sehingga aku nggak bisa sering-sering meneleponnya atau chatting. Padahal, kenyataannya, aku nggak sesibuk itu. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku berkomunikasi dengan Aksha. Kupikir kalau aku "menghukum" Mas Danar, dia akan kangen dan mencariku. Sayangnya, selain percayaan, Mas Danar juga nggak clingy. Dia masih rutin mengirimiku pesan selamat pagi dan selamat malam, tapi dia nggak menuntutku chatting panjang-panjang dan lama-lamaan. Maklum dia juga orang sibuk. 

"Mmm ... aku ..." Kuputar otakku untuk mencari alasan. Aku harus tahu dulu apa yang diinginkan Mas Danar. "Sekarang lagi agak sibuk, tapi dua jam lagi aku kosong, kok." 

Sambil menempelkan ponsel ke telingaku, aku melirik ke Aksha. Lelaki itu masih duduk di sebelahku, merapikan rambutnya yang acak-acakan. 

"Oke, kita makan malam di luar, yuk. Mau makan di mana?"

"Hmm ... terserah," jawabku klise. Jujur aku sedang nggak memikirkan makanan. 

"Soto Ambengan, mau?"

"Boleh." 

"Ya udah, nanti kujemput di kosanmu, ya."

"Oke."

"Sampai ketemu, Gi."

"Iya."

Kututup sambungan telepon kami. Sekali lagi, aku menolehkan kepalaku untuk menatap Aksha, yang masih duduk termangu di lantai. Matahari telah sepenuhnya terbenam, menyisakan kegelapan yang terbentang di langit. Cahaya lampu dari halaman belakang paviliun memunculkan siluet bayangan kami -- aku dan Aksha -- di atas rerumputan. 

"Mas Aksha, tolong anterin aku pulang," pintaku. 

Tanggung jawab, dong? Udah bawa aku jauh-jauh ke Jakarta Utara, bawa aku balik ke Jakarta Selatan.

"Baiklah," sahutnya tanpa semangat. 

"Tadi itu ... aku cuma khilaf," ujarkku. "Aku akan memilih Mas Danar. Selalu Mas Danar." 

Sebenarnya aku nggak sepenuhnya yakin. Aku hanya mengatakan itu untuk mengingatkan diriku sendiri. Sekaligus menegaskan kepadanya, aku bukan perempuan yang dapat dipermainkan. Apa-apaan dia? Bilangnya mau berteman, tapi melakukan sesuatu padaku yang bahkan nggak pernah Mas Danar lakukan. 

Aksha terdiam. Sejenak aku khawatir, apa responnya. Banyak kasus di mana sang lelaki menipu sang perempuan, awalnya bersikap manis, lalu memperkosanya dan membuangnya begitu saja. Nggak usah jauh-jauh, bahkan si bedebah yang merusak Wulan mulanya merayu gadis malang itu sebelum menculiknya dan melakukan aksi busuknya. 

Semoga Aksha nggak begitu.

"Aku mengerti, Giani. Maaf, kalau tadi keterlaluan. Ayo kuantar pulang," sahut Aksha. 

Aku menarik napas lega. 

***

Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Kepalaku tertunduk. Aku bahkan nggak membuka ponselku untuk mengecek chat yang masuk -- pastinya hanya dari grup chat yang nggak penting, bukan dari Mas Danar. Mas Danar nggak suka chatting hal-hal yang nggak penting. Kalau ada yang penting, dia pasti telepon. Hampir selalu aku duluan yang mulai chatting dengannya. Awal masa pacaran, kukira dia cuek, namun ternyata dia memang sedikit gaptek

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang