4. Admiration

7K 555 108
                                    

The king's son led her to the most honorable seat, and afterwards took her out to dance with him. She danced so very gracefully that they all more and more admired her. A fine meal was served up, but the young prince ate not a morsel, so intently was he busied in gazing on her. 

.

.

Aksha Fajar Syahreza adalah anak ketiga Barkah Syahreza, Menpora yang tadi membawakan pidato pembuka acara hari ini. Putra satu-satunya dari empat bersaudara. Seingatku, usianya empat atau lima tahun di atasku.

Aku merutuki kecerobohanku. Jurnalis mana yang nggak mempelajari fakta-fakta di lapangan terlebih dahulu? Tapi, hei, aku jurnalis olahraga, bukan politik. Masa aku diharapkan hafal nama dan wajah anak-anak seorang menteri?

"Ada apa?" Suara Aksha Fajar Syahreza membuyarkan lamunanku.

"Enggak." Aku menggeleng. "Aku permisi dulu, ya. Mau ambil puding itu." Sambil mengangkat gaunku, aku berlalu dari hadapan si tampan yang kuyakini masih menatap punggung seksiku menjauhi penglihatannya. 

Fiuh! Aku menarik napas lega. Giani Paramita, untung kamu bukan gadis centil yang kegatelan diperhatiin dikit sama cowok ganteng. Enggak, lah. Harga diriku lebih tinggi daripada itu.

Selagi aku menyantap puding lezat yang susah payah kuperjuangan -- eh, tadi pudingnya tersisa dua mangkok ketika aku mendapat sedikit gangguan dari Aksha Fajar Syahreza -- tiba-tiba Mas Reza menghampiriku. 

"Gi, kami udah mau pulang, nih. Tapi kalau kamu masih mau makan puding itu, kami tungguin."

Aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah Mas Reza dengan para juru kamera di belakangnya. Lalu aku melongok sedikit dan melihat Mas Danar masih berkutat dengan calon sponsornya. 

"Eh, Mas Reza, aku pulang dianterin Mas Danar, kok," kataku. Padahal aku belum memberitahu pacarku itu kalau kami akan pulang bareng. 

"Oh, ya udah. Sampai ketemu besok di kantor. Jangan pacaran kelamaan," ujar Mas Reza. 

"Iya, ih, padahal hari Minggu juga," gerutuku. 

"Kamu, kan, dibayar lembur, Gi. Lumayan buat nutupin ongkos tas Coach-mu itu," ledek Mas Reza lagi sambil melirik ke arah clutch-ku.

"Heh! Ini hadiah, Mas!" 

"Kalau gitu, lipstik Ultima II-mu."

Sial. Mentang-mentang baru nikah, jadinya sok mengerti barang-barang cewek. 

"Katanya mau pulang," cibirku. 

"Yuk, guys," ujar Mas Reza sambil mengajak anak buahnya pulang. 

Atasanku itu memang paling hobi meledekku, meskipun aku tahu ia sebenarnya tidak kesal padaku. Jelas saja, aku rajin dan penuh semangat. Aku mencerahkan suasana kantor yang didominasi lelaki dengan kecantikanku dan kepribadianku yang ceria. 

Begitu Mas Reza pergi, aku segera meraih ponselku untuk memberitahu Mas Danar bahwa aku akan pulang dengannya. Namun aku malah dihubunginya duluan. Kebetulan sekali, ini memang rezekiku. 

"Halo, Sayang?" sapaku.

"Gi!" Suaranya sedikit panik. "Aku cuma mau kasih tahu kamu, aku harus pergi. Wulan masuk rumah sakit, Mas Prad menghubungiku." 

"Tapi aku ..."

"Maaf, ya, Gi, aku belum sempat menghabiskan waktu berdua denganmu. Nanti akan kuganti, aku usahakan."

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang