15. Happily Ever After

11K 433 80
                                    

Bab terakhir. Masih ada semacam epilog, Present Day, kaya di Disillusioned gitu lah. 

.

.

.

Acara lamaranku berlangsung sederhana namun hangat dan intim. Hanya keluarga inti kedua belah pihak yang hadir: Mama, Mbak Freya, Mas Daffa, dan Jani, serta Om Barkah, Tante Nia, Mbak Reisha dan keluarga, Mbak Kahlia dan keluarga, dan Mbak Daniya. Itu saja sudah ramai sekali, karena keluarga Aksha berjumlah sebelas orang (minus Aksha). Rumah Mbak Freya yang nggak terlalu besar menjadi sangat ramai. Kami nggak mengundang MC, Daniya yang jago berbicara menawarkan diri menjadi pembawa acara kali ini. (Ya, aku juga jago berbicara, tapi aku kan bintang utamanya.) 

Mama menyiapkan seserahan berupa pusaka peninggalan Papa, yaitu keris warisan leluhur keluarga Papa, serta cincin pernikahan Mama dan Papa tigapuluh tahun yang lalu. 

"Karena Mama nggak mungkin bisa ngasih sesuatu yang bernilai harta kepada keluarga calon suamimu, jadi Mama ngasih yang bernilai sejarah bagi keluarga kita," tuturnya, membuat mataku berkaca-kaca. 

"Makasih, Mama," bisikku sambil memeluk wanita yang melahirkanku itu. 

Air mataku meleleh perlahan di bahunya. Sebagai calon ibu, aku semakin memahami perjuangan seorang ibu saat menanti kelahiran anaknya. Apalagi kini aku mulai merasakan 'penderitaan' seorang ibu hamil -- emosiku bercampur aduk nggak karuan, mudah marah maupun menangis. Belum lagi setiap pagi aku memiliki rutinitas baru, yaitu mengunjungi kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutku yang padahal masih kosong. Tenggorokanku terbakar, mulutku terasa pahit, dan mataku berair. Uh, nggak enak benar!

"Udah, jangan nangis." Mama mengusap pipiku dan menghapus air mataku. "Cuma ini yang bisa Mama pikirkan, semoga diterima dengan baik oleh Aksha."

"Mas Aksha pasti nggak akan keberatan, apapun yang Mama persiapkan," sahutku. 

Kami berpelukan sekali lagi. Aku melingkarkan lenganku ke punggung ibuku erat, tak rela melepasnya. Rasanya aku jadi semakin manja. 

Aku mengenakan kebaya berwarna krem dengan riasan sederhana. Aku nggak mau riasan penuh ala pengantin Jawa yang menor setengah mati. Selain nggak cocok di wajahku, menurutku riasan model itu membuatku terlihat jelek, bukannya semakin cantik. 

Keluarga Aksha datang dengan iring-iringan mobil sedan Mercedes Benz berwarna hitam. Mata Mbak Freya dan Mas Daffa nyaris melotot keluar melihat kendaraan yang berjejer di jalanan depan rumah mereka. Bahkan sekumpulan pengawal mengelilingi rumah kami untuk memastikan nggak ada gangguan pada acara ini. 

Begitu Om Barkah masuk, seisi rumah menjadi senyap. Mama, Mbak Freya, dan Mas Daffa lagi-lagi tercengang melihat kedatangan pendiri dan ketua Partai Persatuan Nasional (PPN) serta Menteri Pemuda dan Olahraga tersebut, nggak menyangka akan berbesan dengan tokoh yang biasanya hanya dapat mereka lihat di televisi. 

Kutundukkan kepala, menahan senyum. Dalam hati aku sangat bangga melihat kekaguman keluargaku. 

I have made a good match, haven't I?

Dimulai dengan perkenalan antar keluarga, acara nggak berlangsung lama. Om Barkah menjelaskan tujuannya untuk melamarku sebagai istri putra satu-satunya dan kebanggaannya, Aksha Fajar Syahreza, yang merupakan calon penerusnya. Setelah keluarga kami menerima lamaran tersebut, kami bertukar seserahan. Pemberian mereka dibungkus dengan kotak berbalut kain sutera mahal, serta dihiasi buket kecil mawar merah muda di atasnya. Pemberian kami jadi terlihat sangat sederhana, namun aku menghibur diri bahwa kami menghaturkan sesuatu yang bernilai karena memiliki nilai historis. 

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang