2. Invitation

8.4K 587 68
                                    

It happened that the king's son gave a ball, and invited all persons of fashion to it. 

.

.

.

Setelah menumpangi bus TransJakarta dan ojek dari halte busway ke kosanku, aku pun tiba di kamarku. Sewaktu aku naik bus, sih, lumayan oke, aku mendapat tempat duduk yang cukup lengang karena menunggu di mal tadi supaya nggak berdesakan dengan manusia pulang kerja lainya.

Tapi saat naik ojek -- idih, aku melewati gerombolan preman di pengkolan antar jalan raya dan jalan kecil menuju kosanku dan diganggu oleh mereka. Disiuli, dipanggil neng cantik, mbak seksi, dan sebagainya. Aku ogah banget diperhatikan sama manusia-manusia jenis itu.

Sempat aku melamun, merutuki kenyataan bahwa pacarku nggak ada di sana untuk melindungiku. Bukannya aku mau dia berantem dengan para preman itu, tapi kalau dia yang mengantarku pulang, mungkin dia bisa menghardik para preman itu supaya nggak ganggu aku. Atau kalau Mas Danar punya mobil dan mengantar jemput aku pakai mobil, aku nggak perlu mengalami kejadian nggak mengenakan seperti itu.

"Ya, elu, sih, Gi, pake baju kaya gitu naik ojek. Jelas aja digangguin," komentar Meta, teman kosanku, memandangi terusan pink bunga-bungaku yang tertutup jaket hitam.

Aku nggak seceroboh itu. Sebelum pulang, aku mengenakan celana jins di balik terusanku dan jaket longgar hitam untuk menutupi terusanku. Nyatanya aku tetap saja diganggu.

"Gue pake baju apa aja, mereka tetap bakal ganggu, Met. Orang yang salah itu otak mereka, bukan baju gue. Udah, ah, gue capek, mau ke kamar aja," gerutuku sambil mendelik kesal padanya.

"Tunggu, Gi. Ada undangan kawinan buat elu tadi," ucap Meta, membelokkan langkahku ke kamar tidurku menuju meja ruang tengah.

"Siapa?"

"Nggak kenal, bukan teman kuliah kita," sahut Meta. Aku dan Meta sama-sama kuliah di London School of Public Relations. Sekarang dia bekerja di kantor berita.

Aku mengambil amplop berwarna kuning muda dengan tulisan keemasan itu dan membaca nama yang tertera di atasnya. Sabrina Hanafiah dan Fernando Ragiantomo. Otakku berputar, mengingat siapa mereka di antara koneksiku yang bejibun. Oh, teman SMP-ku.

Kubaringkan diriku di atas tempat tidur dan memikirkan Sabrina yang notabene temanku itu. Kami sempat akrab walaupun sekarang sudah nggak seberapa dekat. Aku nggak kenal Fernando. Kuraih ponselku dan ku-stalk akun Facebook Sabrina. Puluhan foto prewedding dan bridal shower-nya muncul di bagian teratas linimasa profilnya.

Aku mengklik salah satu foto prewedding yang menampilkan wajahnya dan calon suaminya dari dekat. Sabrina terlihat cantik dan bahagia di sana. Tapi suaminya, ya ampun, kenapa dia pengen menikahi cowok seperti itu? Bukan jelek banget, sih, tapi jomplang dibandingkan Sabrina yang masih tergolong manis untuk ukuran cewek. Aku bayangkan, kalau aku dan Mas Danar menikah, tamu-tamu pasti akan berdecak kagum betapa rupawannya kami.

Ah, sudahlah, sejelek-jeleknya muka calon suami Sabrina, paling nggak dia selangkah lebih maju daripada aku. Dia akan menikah dua minggu lagi, sedangkan aku -- entah kapan.

Aku menghembuskan napas dan merentangkan tanganku di atas tempat tidur. Tiba-tiba aku kangen Mas Danar. Jam di ponsel menunjukkan pukul delapan malam. Aku telepon saja, deh.

"Mas Danar?"

"Hei, Gi, ada apa?" sahut pacarku di seberang telepon.

"Kangen aja. Lagi nggak sibuk, kan, Mas?"

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang