3. The Ball

6.7K 582 50
                                    

The king's son, who was told that a great princess, whom nobody knew, had arrived, ran out to receive her. He gave her his hand as she alighted from the coach, and led her into the hall, among all the company.  

.

.

.

Acara penghargaan atlet bukanlah acara paling glamor yang pernah kuhadiri. Acara Indonesian Movie Awards yang kuliput bulan Mei lalu jauh lebih memesona. Tahu sendiri, acara buatan pemerintah -- kali ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga alias Kemenpora -- biasanya formal dan kaku. 

Menpora Indonesia saat ini, Bapak Barkah Syahreza, duduk di kursi kehormatan paling depan, didampingi pejabat KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan ketua PB-PB cabang olahraga yang bersangkutan. Di barisan kedua dan seterusnya, barulah duduk puluhan atlet peraih medali, termasuk Mas Danar, bersama pelatih mereka. Di Asian Games kemarin, para atlet -- termasuk cabang beregu -- meraih total duapuluh enam medali.

Seriously, Indonesia adalah negara dengan penduduk ketiga terbesar di Asia dan hanya meraih duapuluh enam medali?

Di barisan belakang, barulah aku duduk bersama Mas Reza dan para wartawan dari media lain yang diundang ke acara ini. X-zone termasuk media yang belum terlalu besar walaupun kami adalah anak perusahaan dari sebuah grup media ternama di Indonesia, jadi hanya lima orang yang hadir dari kantor kami: aku, Mas Reza, dan tiga orang juru kamera yang sibuk mencari sudut-sudut terbaik untuk difoto dan direkam. 

Acara dibuka dengan pidato Pak Barkah yang mengucapkan selamat kepada para atlet, disusul penampilan band ternama sebagai selingan hiburan. Kemudian para atlet dipanggil satu persatu ke atas panggung untuk diberikan penghargaan. Ketika nama Mas Danar disebut, aku segera mengeluarkan ponselku untuk merekam momen penting ini. Aku tahu para juru kamera dari berbagai media akan memperoleh video yang lebih jelas. Tapi sebagai kekasihnya, aku harus, dong, punya rekaman pribadi sebelum minta dari mereka. 

Setelah penghargaan atlet, seorang penyanyi terkenal membawakan lagu bertema kebanggaan dan nasionalisme sebagai hiburan selanjutnya. Terakhir, ketua KONI memberikan pidato penutup yang isinya ucapan terima kasih kepada jasa para atlet, lalu acara pun ditutup untuk after-party

Jangan berharap after-party itu berupa pesta seru di klub malam di mana para atlet berjoget dan mabuk-mabukan sampai pagi. Nggak mungkin seperti itu. Boro-boro Mas Danar mau ke klub malam, dia pasti memilih pulang. After-party yang kumaksud adalah makan malam bersama ala prasmanan. Ini kesempatan bagi kami para wartawan untuk menyerbu para atlet demi wawancara, dan kesempatan bagi para sponsor untuk merekrut bintang iklan baru mereka. 

"Hei," bisik Mas Danar yang tahu-tahu sudah mengantri di belakangku dekat meja prasmanan. "Datang sama kantor?"

Aku mengangguk sambil tersenyum bangga. "Cie, selamat, ya, yang diberi penghargaan dari pemerintah. Sayang aku nggak bisa cium Mas di sini, tanganku penuh." Aku menunjukkan piring penuh makanan yang kupegang. 

"Nggak apa-apa, aku juga merasa nggak nyaman kalau kamu menciumku di tempat umum," sahut Mas Danar yang terlihat memukau dalam kemeja batik abu-abunya. Ingin rasanya kuacak-acak poni tebal yang menutupi dahinya. 

"Giani! Cepat kemari! Wawancara Pak Arief Prayoga!" panggil Mas Reza dari jarak dua meter di depanku. 

Aku menghembuskan nafas kesal. Baru ngomong sama Mas Danar sebentar, belum makan, sudah disuruh kerja lagi. 

"Sudah sana, dipanggil atasanmu, tuh. Makananmu biar aku pegangin," tutur Mas Danar masih dengan ekspresi datarnya. 

Aku memutar bola mataku dan memanyunkan bibirku. 

"Aku nggak bakal ke mana-mana, kok. Di sekitar sini saja," tambahnya. 

"Oke, makasih, ya, Mas," sahutku pasrah, menyerahkan piring makananku ke tangan Mas Danar. 

Aku merogoh tas selempang mungilku untuk mengeluarkan buku catatan yang berisi daftar pertanyaan untuk Pak Arief Prayoga, pelatih atlet perahu naga yang tampil memukau di Asian Games kemarin. Tim putra meraih dua emas dan tim putri meraih satu perak. Aku sempat menonton siaran langsungnya, memang benar-benar menegangkan. Sambil bergegas menemui Pak Arief, aku melirik ke arah Mas Danar yang duduk di meja bundar bersama pelatihnya dan pejabat PB TI. Makananku diletakkan di sebelah piringnya. 

Setelah sesi tanya jawab Pak Arief bersama beberapa wartawan, termasuk aku, aku kembali mencari makananku. Ternyata masih ada di meja yang tadi, hanya saja Mas Danar sudah tidak ada di sana. 

"Danar lagi ngobrol sama calon sponsor, tuh," jelas pelatihnya, Mas Fadhil Damayanto, sambil menyengir. "Udah makan aja di sini, Gi, nggak apa-apa."

Yah, terpaksa. Aku mengucapkan terima kasih pada Mas Fadhil karena sudah menjaga makananku dan mulai menyantapnya. Ayam panggang dan nasi goreng ikan asing di piringku sudah dingin, namun untunglah masih lezat. Aku sengaja tidak mengambil banyak-banyak supaya tidak terlalu kenyang. Aku masih harus berburu wawancara dengan para atlet. Mataku mencari atasanku, rupanya dia sedang mewawancarai atlet bulutangkis. Padahal aku ingin mewawancarainya. Apa boleh buat, aku harus merelakannya dengan Mas Reza yang lebih senior. 

Setelah makan, aku mewawancarai beberapa atlet yang tertera di daftar catatanku. Bersama juru foto, aku sudah mengumpulkan sepuluh narasumber yang harus kuolah menjadi artikel-artikel berita dan juga video klip yang akan ditayangkan di acara liputan olahraga di televisi keesokan harinya. Seusainya aku bekerja, aku melirik ke jam di ponselku. Pukul sembilan lewat duapuluh menit. Meja prasmanan memanggilku dengan puding di gelas plastik transparan yang bersisa lima buah. Oke, lah. Aku makan satu sambil beristirahat. 

Dalam perjalananku menuju puding yang kuidam-idamkan, seseorang menginjak rok marunku yang memang panjang di bagian belakang. Kehilangan keseimbangan, aku nyaris terjatuh -- namun seseorang memegangiku dari belakang. 

"Maaf, Mbak, saya nggak sengaja. Mbak nggak apa-apa, kan?" Suara itu menyadarkanku dari lamunan mengapa aku nggak terjatuh. 

Ia melepaskan lenganku. Aku membalikkan tubuh untuk melihat lelaki yang mencelakaiku sekaligus menolongku dari aib yang nggak akan kulupakan dalam waktu dekat seandainya aku benar-benar terjatuh. 

"Aku nggak apa-apa," sahutku. 

Tadinya mau kuhardik, tapi dia tampak menyesal. Lagipula, dia begitu tampan -- ketampanannya mengejutkan jantungku, yang kupikir hanya berdebar bagi Mas Danar. 

Lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, dengan rambut hitam legam yang disisir kesamping, serta satu lesung pipit yang timbul tenggelam saat ia berbicara, menimbulkan kesan imut dan manis. Tubuh proporsionalnya dibalut kemeja batik sutera berwarna biru. Dari potongannya, aku tahu itu buatan penjahit ternama. Parfumnya samar-samar membius hidungku -- Yves Saint Laurent, aku tahu karena aku pernah membelikannya untuk Mas Danar, yang ujung-ujungnya nggak dipakai juga. 

"Syukurlah kalau begitu," ujar lelaki itu. "Gaunnya juga nggak rusak, kan, Mbak? Kalau rusak ..."

"Nggak rusak, kok," potongku. Memangnya kalau rusak mau apa? Ganti dengan gaun baru bermerek Givenchy?

"Tunggu, sepertinya saya pernah melihatmu," lanjut lelaki itu sebelum aku bisa pergi dari hadapannya. "Mbak ... Giani Paramita, kan? Jurnalis dari X-zone?"

"Bagaimana Mas bisa tahu namaku?" 

Pertanyaan bodoh. Aku pernah beberapa kali masuk TV, mungkin saja dia pernah melihatku. Tapi aku nggak menyangka aku sengetop itu. 

"Saya suka nonton acara olahraga X-zone. Mbak Giani, kan, muncul beberapa kali sebagai jurnalis lapangan. Saya juga baca artikel olahraga yang ditulis Mbak Giani," tutur sang lelaki tampan. 

"Mas sendiri, siapa, ya?" tanyaku. 

"Nama saya Aksha," jawabnya sambil mengulurkan tangannya padaku. 

Aku menutup mulutku dengan tangan. Aksha? Aksha Fajar Syahreza?

.

.

.

Bersambung.

(17 Juni 2018)

1100++ kata

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang