⚫Shut Up, Boy!⚫

99 21 5
                                    

Teriakan Abiel buat perhatian Randi dan Bara mengarah ke sisi kanan pantai, dimana ada Abri yang memakai kemeja putih tanpa di kancingkan dengan celana pendek. Disebelahnya ada wanita yang berpakaian simple namun tetap menggoda. Ekhem!

Mata Randi menajam kala melihat Abri menggandeng tangan si wanita. Abri yang terkejut kala menyadari keberadaan Mama dan Papanya saat mendengar teriakan Abiel pun segera melepas tautan tangannya dengan Alarice.

Bara bangkit dari duduknya mengikuti Randi yang sudah berjalan duluan menghampiri putra sulungnya. Abiel buru buru berlari menghampiri kakaknya yang masuk situasi buruk. "Ma--Mama" panggil Abri gugup. Entensi Randi beralih pada wanita yang di gandeng Abri barusan. "siapa mu?" tanyanya datar.

"s--se--sekertaris ku Ma" sahut Abri.

"lupa sama wejangan Mama?" Abri menggeleng. "what's your name girl?" tanya Randi menurunkan kacamatanya. "Alarice Gerian, Tan" jawab Alarice kikuk. Suasana jadi canggung, Abri menyadari kesalahannya namun ia belum diberi kesempatan berbicara. Kenapa ia melanggar padahal tau bila Mamanya benci bila anaknya melanggar peraturan yang ia buat.

Mata Randi menangkap sesuatu yang aneh pada curuk leher Alarice. Tangannya terulur menyibakan rambut yang seakan digunakan untuk menutupi tanda dileher wanita itu. "bekas apa?" tanya Randi pada Alarice, namun wanita dihadapannya bungkam dan melirik ke arah Abri.

"itu bekas--"

"shut up, boy!" sentak Randi menahan amarah. "jawab jujur pertanyaan saya nona" desis Randi menatap tajam Alarice.

"m--maaf nyonya, tapi saya sudah menolak dengan keras. Saya sudah mengingatkannya untuk tidak melakukannya. Namun Bos Lendra tetap membuat tanda ini setelah saya melakukan kesalahan. Sudah sepantasnya saya dihukum, namun saya tau bila hukuman ini tidak pantas dilakukan" jelas Alarice sembari menunduk dalam.

"ikut Mama" suruh Randi. Abri berjalan pelan dengan perasaan tak tenang. Memang sikap Mamanya terlihat santai, namun sebenarnya amarah Mamanya sudah membuncah. Bara dan Abiel ikut, tentu Alarice juga mengikuti mereka.

Abri mengikuti Randi sampai masuk ke area bersantai di villa, dimana halaman luas juga ada kolam renang disana. "kalian pacaran?" tanya Randi to the point setelah mereka berkumpul semua.
"iya Ma" cicit Abri.

Randi menoleh pada Alarice yang menatapnya dengan takut, "dipaksa Tan" sahut Alarice.

"kurang jelas atau kurang paham, hm? Mama kurang gimana ngadepin kamu Bang?" tanya Randi menghela nafas kasar. Abri mendongak membranikan diri menatap Mamanya yang dalam kondisi tak baik, "kebebasan yang Mama kasih kurang ya? Kamu nakal kayak gimana, aja Mama biarin lho. Mama gitu buat tuntun kamu ke jalan yang bener tanpa kamu ngerasa tertekan. Mama ngelarang itu supaya kamu bisa disiplin, Bang. Kamu mau balapan sampe patah tulang sekalipun Mama masih bisa toleransi, tapi enggak dengan mabuk, judi dan nyentuh wanita sebelum waktunya!" tegas Randi mengepalkan tangan kuat kuat. Amarahnya semakin memuncak mengetahui kelakuan putra sulungnya ini.

"fine! Kamu pacaran, tapi tau batesan!"

Randi semakin geram lantas menarik kerah kemeja yang putranya kenakan. "tau letak kesalahan kamu?" tanyanya pelan dengan sorot mata menajam. Abri mengangguk dengan mata yang mulai berembun. Ia salah, ia menyesal karena buat Mamanya sampai semarah ini.

Bugh.

"Abang!" pekik Abiel terkejut saat Randi membogem Abri hingga tersungkur, ia hendak menghampiri Abri namun ditahan oleh Bara sambil yang memberi isyarat agat tak mendekat. Alarice tak menyangka bila Mamanya Abri akan semarah ini, belum pernah ia menemui sosok ibu yang memberi kebebasan anaknya namun marah hingga meninju anaknya sendiri karena melanggar peraturan yang bersifat mutlak.

"siapa yang ajarin kamu berbuat seenaknya sama wanita, hm?" Abri tak menjawab. Tubuhnya seperti tak ada tenaga untuk sekedar kembali berdiri.

"mentang mentang kamu Bos, kamu bisa berbuat seenaknya sama anak orang yang jadi bawahan kamu?" tanya Randi sembari berjongkok menyamakan tinggi badan mereka.

"jangan bilang khilaf" potong Randi saat melihat putranya hendak buka suara. "Mama gak pernah ajari kamu untuk memaksakan kehendak, meski itu sama orang yang kamu suka. Perasaan gak bisa dipaksakan"

Randi mencengkaram rahang Abri, namun tidak terlalu kuat. "udah berani main rahasia sama Mama?" Abri menggeleng lemah menanggapi pertanyaan Mamanya.

"aku mau kasih tau Mama tapi belum saatnya" jawab Abri saat Randi melepas cengraman di dagunya.

Plak!

"itu karena kamu udah berani buat cupang sebelum kalian halal" Abri meringis dibuatnya akibat tamparan cukup keras di pipinya. Tak pernah menyangka bila Mamanya sekuat ini.

Randi kembali berdiri. Tatapan tajamnya berubah sayu, "Mama kecewa sama kamu Bang"

Deg.

Ini yang Abri takutkan, dan malah terjadi akibat kesalahannya yang fatal meski remeh.

Bye😒

Bad Mama [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang