Bagian Delapan

2.7K 570 42
                                    

"Gimana, Fa?" Pertanyaan ibu mertuanya menyentak Syifa dari lamunan. Sejenak ia menimbang lalu menganggukkan kepala.

"Iya, Bu. Nanti saya ikut Dek Dian."

Desahan lega seketika terdengar dari ibu mertua Syifa. Membuat Syifa entah kenapa berpikir jika ibu mertuanya sebenarnya sudah mulai mencium keanehan hubungannya dengan Ical.

"Dian tiap bulan rutin merawat tubuh. Dina juga begitu."

"Saya belum terbiasa, Bu." Selama ini Syifa tak mengenal apa itu salon atau perawatan kecantikan lainnya. Lagipula ia begitu menyayangkan nominal yang harus dikeluarkan untuk menikmati semua hal yang baginya adalah kemewahan itu.

Orang tuanya menyekolahkan lalu membiayai kuliahnya dengan bekerja keras memeras keringat di keluarga Ical. Tak mungkin ia memanfaatkan uang yang orang tuanya berikan untuk mempercantik diri sendiri. Bahkan saat Syifa sudah bekerja sebagai staf tata usaha di kampung halaman bibinya pun, ia masih tak berani membelanjakan uangnya untuk kebutuhan yang tidak terlalu penting. Apalagi gaji yang ia dapat tak seberapa. Tidak merepotkan ayahnya saja sudah lebih dari cukup bagi Syifa. Ia masih mempunyai adik yang masih butuh biaya untuk kuliah. Meskipun sedikit ia sesekali mengirimkan sebagian gajinya untuk sang adik.

Laily mengembuskan napas setelah terdiam beberapa saat. Ia seolah baru menyadari sesuatu. "Tidak apa-apa. Uang yang diberikan Ical adalah uangmu juga. Kamu bisa memakai uang itu untuk kebutuhanmu termasuk jika kamu ingin merawat diri, membeli baju dan kebutuhan pribadi lainnya."

Syifa mengulas senyum lalu mengangguk kikuk. "Nanti jam satu Dian berangkat. Dia sudah buat janji. Kebetulan Dian kenal dengan pemilik rumah spa itu."

"Iya, Bu." Setelah itu Laily berlalu dari hadapan Syifa. Membuat Syifa kembali melanjutkan kegiatannya. Memasukkan cairan yang mulai menghangat itu ke dalam mangkuk-mangkuk kecil dan setelah dingin ia masukan ke dalam lemari es.

Pukul satu siang setelah semua orang menikmati makan siangnya, Dian dan Syifa pergi meninggalkan rumah dengan diantarkan Ical yang harus kembali bekerja. Rasa canggung seketika terasa saat Syifa hanya ditinggal berdua saja dengan Dian.

Dian bukanlah orang yang ramah, hal itu membuat Syifa harus sering mengajak adik iparnya itu berbicara dengannya. Seperti halnya saat ini. Ia hanya mengekor di belakang Dian yang beberapa saat lalu berbincang dengan seorang wanita yang Syifa perkiraan berusia awal empat puluhan. Dari percakapan mereka sepertinya wanita itu adalah pemilik rumah spa ini.

"Mbak, pilih aja paket yang Mbak Syifa mau. Aku sih mau semuanya. Rambutku gerah. Kuku-kukuku juga sudah kusam banget." Dian mengangsurkan benda persegi berbentuk buku yang setelah Syifa buka ternyata adalah katalog harga. Syifa mengangguk mengiyakan.

"Di, ambil paket untuk pengantin aja. Ipar kamu kan masih pengantin baru. Ya kan, Mbak?" Wanita yang ternyata bernama Lita itu mengedipkan mata.

"Iya. Ambil itu aja." Syifa tak mau direpotkan dengan hal-hal yang sebenarnya tak begitu ia pahami. Mengiyakan adalah cara terbaik yang ia bisa.

"Ayo. Silakan masuk." Wanita itu membimbing mereka berdua memasuki bangunan yang sekilas mirip rumah pada umumnya. Syifa dibawa ke ruang berbeda dari adik iparnya. Seorang wanita muda kali ini yang akan melayaninya. Meskipun berada di ruangan berbeda namun Syifa masih bisa mendengar obrolan Dian dan Lita di ruangan di depannya. Mereka terdengar akrab.

"Mbak, Istrinya Mas Ical, ya?" Setelah keheningan yang begitu lama akhirnya suara gadis yang sedang membalurkan lulur di tubuh Syifa terdengar.

"Iya," jawab Syifa singkat. Ia malas jika bercakap-cakap dengan orang yang tak ia kenal.

"Wah, berarti Mbak temannya Mbak Dian ya?" Wanita itu kembali bertanya dengan semangat. Membuat Syifa semakin malas menjawab pertanyaan wanita itu. Lagi pula kenapa ia menjadi teman Dian? Jika dirinya menikah dengan Ical tentu saja secara otomatis adalah kakak ipar Dian.

"Saya kakak iparnya Dian, Mbak." jawab Syifa memberikan koreksi. Syifa mulai sebal. Sepertinya wanita muda itu tahu banyak tentang keluarga suaminya. Bisa jadi karena Dian sering melakukan perawatan ke tempat ini seperti kata ibu mertuanya tadi. Atau mungkin juga ibu mertua dan Dina, istri Raihan juga sudah menjadi langganan tetap di tempat ini. Ah, Syifa benar-benar malas memikirkannya.

"Iya, Mbak, saya tahu. Berarti sebelumnya Mbak temannya Mbak Dian, kan?" Syifa mengeryit tak paham. Namun karena ia begitu malas berdebat akhirnya Syifa mengiyakan saja pertanyaan wanita itu. Dan ternyata terbukti. Setelah Syifa menberikan jawaban iya wanita itu entah kenapa terdengar begitu bahagia dan mengatakan kalimat-kalimat seolah memuji-muji hubungannya dan suaminya.

Syifa hanya mendengar, enggan berkomentar. Hingga akhirnya wanita itu berhenti berbicara sendiri karena merasa kalimat-kalimatnya tidak direspons oleh Syifa yang lebih banyak diam dan hanya mengatakan satu dua kata saja.

Menjelang sore Syifa dan Dian pulang setelah dijemput Ical yang juga sudah pulang bekerja. Syifa sempat meringis ngeri saat melihat angka yang harus dikeluarkan untuk menikmati perawatan tubuhnya beberapa jam sebelumnya. Saat ia akan mengeluarkan uang, Dian mendahului. Gadis itu mengeluarkan kartu yang ternyata adalah milik Ical. Pria itu memberikannya kepada Dian untuk membayar biaya perawatan tubuh mereka.

"Tuh, Mas. Mbak Syifanya udah dibikin cantik. Ini aku balikin." Dian menyerahkan sebuah kartu pada kakaknya saat ia sudah duduk di jok belakang mobil Ical.

"Kasih ke Mbakmu. Aku lagi nyetir, Di."

Dian mengalihkan uluran tangannya pada Syifa di depannya. "Ini aku---"

"Bawa kamu, Dek. Pakai buat kebutuhan kamu juga. Kalau kasih uang tunai enggak nyaman. Takut aku lupa ngasih kamu. Kalau kamu pegang kartunya kan aman. Isinya lumayan kok meskipun aku lupa ngasih uang, kamu bisa ambil sendiri. Mending kamu aja yang bawa." Kalimat Syifa belum selesai terucap saat Ical memotong.

Beberapa waktu lalu ia telah menerima uang tunai dari Ical dalam jumlah yang tak sedikit. Suaminya mengatakan jika uang itu untuk kebutuhan belanja dan apa saja yang Syifa butuhkan. Namun, bukankah mereka masih tinggal dengan orang tua Ical, kebutuhan belanja sudah dipegang ibu mertuanya. Jadi uang itu masih tak berkurang. Saat kebetulan mereka makan di luar, Ical yang membayar dan lagi-lagi uang itu tetap utuh. Kini kenapa ia masih disuruh memegang kartu debit pria itu?

"Uang yang kemarin masih utuh, lo. Kartunya bawa Mas lagi aja. Takutnya Mas Ical pakai untuk bayar-bayar atau transaksi." Syifa berusaha menolak.

"Pegang kamu aja, Dek. Kalau kamu butuh apa-apa langsung pakai aja. Lagian aku masih pegang yang lain kok," jawab Ical sambil berkonsentrasi pada jalanan di depannya.

"Tuh, Mbak. Dengerin. Punya suami banyak uang tuh dimanfaatin. Rugi lo kalau uangnya dianggurin terus. Nanti dimakan rayap." Dian menyelutuk yang seketika membuat Syifa tersenyum geli. Ternyata Dian tak sedingin yang ia kira. Gadis itu hanya butuh pemicu saja untuk membuka mulutnya. Mungkin jika dirinya mau menjadi pemicu, Dian bisa jadi akan menjadi teman ngobrol yang menyenangkan sehingga ia tidak akan merasa kesepian lagi. Ya, Syifa akan mencoba nanti.

Akhirnya Syifa hanya mengangguk lalu mengiyakan. Ia simpan kartu itu dalam dompetnya. Dompet yang selama sebulan ini tak pernah kosong oleh lembaran-lembaran rupiah yang selama ini jarang ada di sana.

Tiba-tiba timbul satu pertanyaan dalam benak Syifa. Apakah ia bisa memanfaatkan uang ini? Ia ingin menyisihkan sedikit saja untuk adiknya. Untuk membantu memenuhi kebutuhan adiknya atau mungkin membantu biaya kuliahnya. Namun apa mungkin Syifa sanggup mengatakan hal itu pada suaminya? Sedangkan saat ini saja ia tak bekerja. Ia hanya bisa menghabiskan uang suaminya saja.

###
Di KBM sudah sampai Bab 10. Yg kepo cus meluncur ke sana.

Bagi yang lagi isoman, sakit, atau kurang sehat. Semoga cepat sembuh ya, semangat! Semoga kita semua diberikan kesehatan dan keselamatan.

Jodoh Yang (Tak) SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang