Bagian Tujuh

2.7K 579 67
                                    

Tiga minggu berlalu dengan begitu cepat. Kegiatan yang dilakukan Syifa di rumah mertuanya tak terlalu beragam. Di pagi hari ia akan turun ke dapur membantu asisten rumah tangga mereka menyiapkan sarapan. Ibu mertuanya tak melarang hal itu. Setelah mereka menikmati sarapan, Ical biasanya akan berangkat bekerja. Bisa dikatakan pekerjaan Ical beragam. Selain membantu mengurus tambak yang biasa dilakukan sepupunya, Rajasa---pasca kecelakaan---Ical juga mengelola beberapa swalayan yang tersebar di beberapa lokasi dan pusat grosir kebutuhan pokok terbesar di kotanya. 

Beberapa kali Syifa juga pernah ikut ibu mertuanya untuk memantau usaha yang juga dilakukan wanita itu. Ibu mertuanya kebetulan memiliki sebuah toko yang menyediakan semua kebutuhan berbusana mulai dari sepatu hingga asessoris juga kebutuhan kecantikan yang diperuntukkan untuk semua usia. Tak setiap hari wanita itu akan mendatangi tokonya karena sudah ada karyawan dan orang yang mengurusnya.

Syifa selalu menikmati sapaan-sapaan ramah dari semua karyawan ibu mertuanya itu. Hal yang tak ia dapatkan saat bersama Ical. Bagaimana mau mendapatkan sapaan dari pekerja Ical, dirinya saja tak pernah diizinkan suaminya untuk sekadar ikut serta saat pria itu bekerja. Panas, nanti capek. Lebih baik di rumah bisa beristirahat. Begitulah alasannya. Hal yang kemudian tak mampu Syifa tolak. Meskipun ia merasa luar biasa bosan saat di rumah.

Sebenarnya Syifa bisa saja mengusir kebosanannya dengan berbagi cerita atau melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan adik Ical, Dian. Gadis itu setiap hari ada di rumah dan tidak melakukan apa-apa sejak menyelesaikan pendidikan strata satunya di Malang beberapa bulan lalu. Namun Syifa merasa segan. Dian terlihat begitu sulit dijangkau. Gadis itu begitu jarang membuka mulutnya. Jika kebetulan berbicara kepadanya, pasti ada hal penting yang ingin gadis itu sampaikan.

Syifa merasa bersyukur jika kebetulan ada Dina. Istri dari Raihan, kakak Ical. Wanita itu selalu ramah dan menyenangkan. Sayang mereka tinggal terpisah meskipun masih dalam satu kota. Dalam seminggu Raihan dan Dina biasanya akan mengunjungi rumah orang tua mereka dua atau tiga kali. Saat itulah biasanya dimanfaatkan Syifa untuk menjalin keakraban.

Sebenarnya bukan ia tak mau membuka diri, namun rasa rendah diri sering kali menderanya. Syifa merasa jika dirinya jauh di luar lingkaran kehidupan mereka. Apalagi latar belakang Syifa yang sebelumnya hanyalah putri dari salah satu pekerja mertuanya. Di hari-hari awal pernikahannya ia mungkin merasa tak terlalu memikirkan hal itu, namun semakin lama, entah kenapa kepercayaan dirinya menyusut. Apalagi saat ia diharuskan hadir dalam pertemuan-pertemuan keluarga dan mengunjungi seluruh keluarga besar mertuanya. Ia merasa tak mampu mengimbangi mereka baik dalam obrolan santai ataupun pola hidup mereka.

Pernah Syifa merasa begitu tak nyaman saat ibu mertuanya memintanya mengganti baju yang ia kenakan saat hendak menghadiri suatu undangan pernikahan salah satu putri dari teman mertuanya itu. Syifa yang merasa telah mengenakan baju yang pantas untuk acara itu tak mampu membantah. Apalagi tak lama setelahnya, ibu mertuanya mengikutinya ke kamar lalu memilih salah satu dari deretan baju-baju di lemari kamarnya.

Baju-baju itu bukan salah satu baju yang Syifa bawa dari rumahnya, namun baju yang telah tersedia saat Syifa tiba di rumah itu. Ical mengatakan jika ibunya dan Dian yang mengisi lemari itu dengan baju-baju Syifa. Jika sudah seperti itu, lantas Syifa harus bagaimana? Tentu harus menurut demi kesopanan kan? 

Setidaknya Syifa berpikir positif. Mungkin selera berbusananya begitu mengenaskan. Atau mungkin ia tak bisa memadu padankan antara baju yang ia kenakan dengan hijab ataupun sepatu dan tas yang akan ia pakai. Sepertinya ia perlu belajar lebih banyak mulai sekarang. Mereka tentu tidak ingin menantu mereka terlihat layaknya gembel yang menyedihkan.

Seperti halnya saat ini, Syifa kembali merasakan kuasa ibu mertuanya. "Fa, nanti ikut Dian ke rumah spa ya." 

Syifa menghentikan gerak tangannya yang sedang mengaduk puding yang baru saja ia angkat dari atas kompor. Pagi ini ia memang membuat puding agar siang nanti saat semua orang pulang menyantap makan siang, puding yang ia buat sudah siap disantap.

"Mau ngapain ya, Bu?" tanya Syifa bodoh sambil memaku pandangannya pada sang ibu mertua.

Decakan keluar dari bibir wanita itu. Hal yang membuat Syifa tidak nyaman karena sepertinya ia telah salah berucap.

"Mau ngapain lagi, ya tentu saja merawat diri."

Syifa meringis. "Bukankah kemarin sudah, Bu?" Syifa mencoba menyuarakan hatinya. Sebelum hari pernikahannya ia sudah mendapatkan perawatan pada tubuh dan juga wajahnya.

"Kemarin kapan?" Laily berjalan mendekat mengintip apa yang telah dimasak menantunya.

"Sebelum pernikahan kemarin, Bu."

Lagi-lagi Laily berdecak. "Itu sudah hampir sebulan yang lalu, Fa. Kulit sudah buram lagi. Kalau jadi istri harus pintar-pintar merawat diri. Sesetia apapun suami bukan berarti kita tidak perlu merawat diri. Kasihan dong kalau suami pulang kerja disambut wajah buram istri. Penampilan pun juga harus dijaga. Cantik itu relatif, tapi setiap orang bisa jadi menarik. Tidak ada salahnya kok berpenampilan menarik di depan suami. Dandan cantik meskipun hanya di rumah. Bonus untuk diri sendiri juga yang sudah bekerja keras melayani keluarga."

Entah kenapa kalimat panjang Laily seolah menampar Syifa. Sejauh ini ia tak pernah melakukan apa yang disampaikan ibu mertuanya. Setelah mandi ia begitu jarang berdandan. Hanya sesekali ia memberikan sapuan bedak dan lipstik tipis di wajahnya. Ia pun begitu jarang memperhatikan baju yang ia kenakan. Selama merasa nyaman ia akan memakai baju itu. Sepertinya mulai saat ini ia harus mengubahnya. Apa lagi hingga detik ini hubungannya dengan Ical masih jalan di tempat.

Entahlah apakah Syifa bisa menyebutnya jalan di tempat atau sudah berkembang pesat. Sejauh ini komunikasi yang terbangun antara dirinya dan sang suami sudah semakin akrab. Hal yang berbeda jika jika di atas ranjang. Mereka memang setiap malam tidur bersama. Namun hal terintim yang mereka lakukan hanya sebatas ciuman atau hanya berpelukan.

Bahkan Syifa masih begitu ingat kedekatan fisik yang terjadi pada mereka adalah saat Ical menciumnya di malam kedatangan mereka ke rumah ini setelah menikah. Syifa kira hal itu akan terjadi kembali atau bahkan lebih di beberapa hari berikutnya. Namun nihil. Paling jauh Ical hanya akan mengecup kening dan pipinya lalu memeluk. Itu saja.

Setelah mendengar kalimat panjang ibu mertuanya, timbul satu tanya dalam benak Syifa. Apakah suaminya tidak tertarik secara fisik kepada dirinya? Namun jika pria itu tidak tertarik kepadanya kenapa mau menikahinya? Atau mungkin pria itu kecewa karena mungkin Syifa tak semenarik yang dilihat dari kejauhan?

Entahlah, Syifa tidak tahu mana yang menyebabkan Ical hingga detik ini masih tak menyentuhnya di saat pernikahan mereka sudah berjalan tiga minggu.

Sebenarnya Syifa pernah menanyakan hal itu. Namun Ical selalu berusaha menenangkan. Pria itu selalu berkata "Sabar ya, Dek. Kita butuh beradaptasi dan lebih mengenal satu sama lain."

Bukan mereka berdua sebenarnya yang butuh beradaptasi namun Ical. Pria itu sepertinya masih tidak begitu menginginkannya sebagai pendamping hidupnya. Namun jika begitu kenapa Ical melamar dan menikahinya? Kenapa Ical bersikap baik kepadanya? Ah benar-benar membingungkan.

Setidaknya ia akan mencoba apa yang dikatakan ibu mertuanya. Ia akan berusaha menarik perhatian Ical. Siapa tahu penampilan dan juga apa yang tampak pada dirinya kurang menarik hingga Ical enggan menyentuhnya. Ya siapa tahu.

###
Satu bab isi narasi doang, moga gak ngantuk wkwkwkwkwkk😆😆😆

Bab berikutnya aku publish di KBM Nia_Andhika. Yang kepo bisa meluncur, gretongan kok. Gak usah khawatir😅😅

Jodoh Yang (Tak) SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang