Hari ini suasana rumah begitu hidup. Semua orang berkumpul di rumah yang biasanya lebih sering sepi itu. Sebuah kabar gembira yang membuat suasana begitu riuh. Raihan, si sulung sore itu datang dengan kabar mengejutkan.
Pria itu mengatakan jika saat ini Dina sedang berbadan dua. Hamil, lebih tepatnya. Dina saat ini ternyata sudah hamil enam minggu. Kabar yang begitu dinanti oleh semua orang.
"Kok baru ngomong sekarang kalau sudah ada cucu ibu di sini? Masak kemarin-kemarin tidak merasakan sesuatu." Laily berucap riang sambil mengelus perut menantunya.
"Sebenarnya sih aku agak curiga, Bu. Wajah Dina beda, terus bawaannya lemas terus. Tadi pagi sewaktu bangun tidur dia muntah-muntah terus mau balik ke kasur dia jatuh terduduk. Akhirnya aku inisitif langsung beli test pack. Lagian periode bulanan Dina juga nggak datang."
"Aku emang enggak pernah rutin. Makanya nggak kepikiran apa-apa, Mas." Dina memotong penjelasan suaminya.
"Ya emang sih. Tapi feelingku beneran kan. Feeling seorang ayah enggak akan meleset," ucap Raihan bangga yang dihadiahi Dina tepukan keras di punggung pria itu.
"Terus setelah beli test pack gimana?" Laily masih penasaran dengan kronologi saat menantunya diketahui hamil.
"Ya, aku suruh Dina cek meskipun dia ngomel-ngomel karena ngeluh pusing karena diangkat-angkat ke kamar mandi."
Semua orang menertawakan kalimat Raihan.
"Dan ternyata benar kan. Hasilnya dua garis. Ini aku sendiri lo yang ngecek. Dinanya sudah tepar di kasur setelah aku balikin dari kamar mandi."
"Kamu nggak jijik Mas ngecek gituan?" Ical tiba-tiba ikut berkomentar.
"Ya elah mau jijik gimana namanya suami istri. Main kotor-kotor tiap malam, basah-basah, keringetan masak jijik? Ciuman aja kan sudah pindahin kuman tapi nggak jijik tuh. Malah nagih." Kalimat frontal Raihan kembali mendapat balasan pukulan di punggung pria itu. Raihan hanya menolehkan kepalanya kepada sang istri.
"Kenapa, Din. Malu? Ngapain malu," ucap Raihan dengan santai.
"Mulutmu, Mas." Ical kembali menyahut.
"Kan benar yang aku bilang, Cal. Eh ini pengantin baru jangan-jangan masih belum banyak eksplorasi? Fa, jangan-jangan kamu sama kakunya dengan Ical? Duh, aku enggak bisa bayangin deh. Jangan-jangan kalian formal banget di dalam kamar. Permisi selamat malam. Apa boleh saya naik sekarang?" Tawa Raihan menggelegar. Entah kenapa otak pria itu tiba-tiba saja menggabungkan kekakuan antara Ical dan Syifa yang selama ini ia amati.
"Kamu ini kok jadi gila sih, Mas." Dina kini mencubit pinggang suaminya.
"Mas Raihan overdosis cairan yang dicek tadi pagi." Dian menyelutuk yang dihadiahi pelototan Laily.
"Ini anak kecil ikut-ikut. Raihan yang jadi biangnya. Ngomong dari tadi kok nggak ada sopan santunnya." Laily mengomel sebal namun hanya ditanggapi cengiran Raihan.
Semua orang tertawa kecuali satu. Syifa. Wanita itu hanya tersenyum masam.
"Fa, kamu gimana, Nak. Sudah ada tanda-tanda juga?" Laily bertanya setelah tawa semua orang terhenti. Kini pandangan mereka semua beralih pada Syifa. Membuat wanita itu kikuk seketika.
"Tanda-tanda apa, Bu?" tanya Syifa balik dengan senyum dipaksakan.
"Kayak Dina. Siapa tahu sudah telat. Kan sudah satu bulan kalian menikah." Syifa membeku seolah ditampar. Inilah yang ditakutinya. Bagaimana ia bisa hamil jika hingga saat ini saja dirinya masih perawan. Pria gagah nan tampan itu hingga saat ini belum menyentuhnya. Menyentuh dalam arti berbeda maksud Syifa.
"Masih satu bulan, Bu. Jangan membebani anak-anak dengan pertanyaan itu. Mereka bisa stress." Syifa mengalihkan pandangan ke asal suara. Ayah mertuanya yang berucap. Seketika Syifa bernapas lega. Namun saat ia mengarahkan pandangannya kepada Ical. Pria itu tampak tak bereaksi apapun. Hanya senyuman jahil yang terlihat di wajah pria itu yang mengarah pada sang kakak.
"Ical dan Syifa sama-sama terlalu kaku. Akhirnya si telur dan spermanya juga malu-malu untuk bertemu." Raihan kembali berucap membuat semua orang di ruangan itu seolah tak mendengar kalimatnya.
"Kalian kan sama-sama baru saling mengenal. Seharusnya lebih terbuka. Banyak ngobrol. Dari sejak kalian menikah aku amati bahasa tubuh kalian formal banget deh. Kaku. Ayolah, kalian berdua masak benar-benar buta dalam menjalin hubungan. Kalau memang kalian masih sama-sama baru beradaptasi ya nikmati. Biarkan semua apa adanya tanpa merasa takut salah atau ada yang keliru. Syifa yang lebih terlihat kaku, tegang banget. Mau ngomong aja kayak masih mikir-mikir dulu. Udah kayak orang mau pidato aja, yang kata-katanya dipikirin dan ditata sebelumnya. Aku jadi mikir, kira-kira kalau di atas ranjang apa kalian seformal itu?"
"Di, keluar Di. Otak kamu lama-lama ikut kotor kalau dengerin Mas-mu terus."Laily berucap keras namun justru mendapat pengabaian dari Dian.
"Kan sebentar lagi janurku mau melengkung, Bu. Sekalian belajar sama yang lebih ahli," jawab Dian tak tahu malu membuat ayah dan ibunya bangkit dari sofa yang mereka duduki.
"Ayo, Yah. Bonsai kamu belum disiram tuh. Mumpung sudah sore." Laily mengajak suaminya. "Oh ya, Din. Di halaman belakang mangganya sepertinya ada yang masak. Raihan biar yang ambil siapa tahu kamu pengin yang seger-seger. Biar enggak mual-mual terus," lanjut wanita itu lalu meninggalkan anak dan menantunya. Jika tidak pergi, ia bisa memastikan jika si sulung mereka pasti akan melantur.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Yang (Tak) Sempurna
RomansaSempurna, adalah kata yang bisa melukiskan perasaan Syifa saat pria yang sejak bertahun-tahun lalu hanya mampu ia kagumi dari kejauhan saja pada akhirnya menjadi suaminya. Namun, kesempurnaan yang Syifa rasakan ternyata hanya sekejab mata. Alasan di...