Holaaaa.... Yuk ramaikan lapak ini biar yg nulis semangat updatenya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya.
###
Efek perbincangan sore tadi ternyata masih begitu melekat di benak Syifa. Wanita itu masih memikirkan kata-kata kakak ipar dan ibu mertuanya. Pertanyaan tentang anak adalah hal yang begitu menakutkan bagi wanita yang telah menikah namun belum ada tanda-tanda kehamilan meskipun seharusnya hal itu tak terlalu ia pikirkan. Pernikahannya saja masih baru berjalan satu bulan. Dan yang lebih menggelikan, Ical bahkan belum menyentuhnya.
Syifa bahkan heran kenapa saat obrolan sore mereka tadi, pria itu terlihat begitu santai. Ical bahkan terlihat tertawa bersama Raihan saat pria itu mengolok-oloknya. Tidakkah pria itu merasa tersentil atau mungkin tersinggung dengan ucapan kakaknya? Apakah Raihan sudah tahu tentang hubungan Ical dengan dirinya? Apakah Ical bercerita kepada kakaknya itu?
Suara gagang pintu yang bergerak mengusik pikiran Syifa yang berkelana. Ia tolehkan kepala ke asal suara dan mendapati sang suami memasuki kamar lalu menutup pintunya kembali.
"Dek, kok belum tidur?" Pertanyaan Ical seketika muncul saat melihat Syifa masih duduk bersandar di kepala ranjang. "Sudah jam sepuluh. Aku pikir kamu sudah tidur," lanjut Ical sambil memasuki kamar mandi.
Syifa tak menjawab. Pria itu tak akan mendengarnya saat sudah menutup pintu kamar mandi. Beberapa menit kemudian pria itu keluar lalu menghampiri Syifa.
"Aku mau keluar. Kamu mau nitip sesuatu? Nanti pulangnya aku beliin."
"Memangnya Mas mau kemana? Hampir tiap malam lo, Mas keluar." Dari pada keluar kenapa tidak menemaniku saja, Mas? Apa yang kamu cari? Pertanyaan-pertanyaan berikutnya hanya mampu Syifa simpan dalam hati. Ia segan melontarkannya.
"Aku biasanya ngumpul ngopi sama teman-teman. Kalau sekarang aku mau ke rumah Om Suryo."
Syifa seketika ingat pada rasa penasarannya yang telah ia simpan beberapa minggu yang lalu. Berarti Ical akan pergi ke rumah sepupunya itu kan? Rajasa. Entah kenapa kelebatan ingatan tentang ucapan kakek Ical muncul. Pria itu berulang kali menyebut Rajasa dan saat ke rumah pria itu Ical dan Rajasa terlihat sedikit aneh di mata Syifa.
"Aku lihat dari semua sepupu, Mas Rajasa yang paling dekat dengan kamu, Mas." Syifa memulai.
Ical yang tak paham menjawab tanpa beban, "Sama yang lain aku juga dekat."
Syifa mengangguk.
"Mas Rajasa kecelakaan karena apa ya, Mas?" tanya Syifa pelan. Namun yang wanita itu dapat hanya keheningan. Suaminya tak membuka mulutnya.
"Mas?" ulang Syifa untuk menarik perhatian suaminya.
Mendesah lelah terlebih dahulu, akhirnya Ical membuka mulut. "Dia kecelakaan mobil."
"Loh kok, bisa? Memangnya sama siapa? Sepertinya parah ya?"
Lagi-lagi Ical mendesah yang tak luput dari perhatian Syifa. "Dia nyaris tewas. Namun keberuntungan masih berada dipihaknya. Saat ini dia masih menjalani beberapa terapi yang biasaanya ia lakukan di Surabaya."
"Kenapa tidak di sini saja?" kejar Syifa.
"Dia dulu dirujuk ke salah satu rumah sakit Surabaya. Karena mempertimbangkan kondisi fisiknya pasca keluar rumah sakit, tante Rini dan om Suryo memutuskan tetap berada di Surabaya. Terapi dan semua urusan kesembuhan Rajasa dilakukan di sana. Mereka bahkan menyewa rumah untuk mereka tinggali." Wajah Ical terlihat getir. Hal yang juga tertangkap oleh mata Syifa.
"Sewaktu kita ke sana dia bilang akan terapi si sini. Berarti mereka tidak akan balik ke Surabaya?"
Decakan kali ini terdengar dari mulut Ical, pria itu terlihat tak suka dengan pertanyaan istrinya. "Sudahlah, Fa. Tidak usah bahas hal-hal yang tidak penting yang tidak ada hubungannya dengan kita. Itu urusan Rajasa dan keluarga om Suryo mau balik ke Surabaya atau tetap di sini." Ical menaikkan suaranya. Nada emosi terdengar di sana, membuat Syifa terkejut. Tak mengira jika respons suaminya akan seperti itu. Baru saja pria itu berkata lembut namun sekarang tiba-tiba saja terdengar emosi. Dan apa tadi yang Syifa dengar? Fa? Pria itu menyebut Fa bukan Dek seperti biasanya.
"Ma... Maaf, Mas." Syifa tergagap ketakutan. "Mas kebetulan bahas Mas Rajasa jadi aku bertanya."
"Lain kali tidak usah terlalu meributkan urusan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan kamu."
Syifa mengangguk cepat. Urung kembali menanyakan hal-hal yang masih berkelebat di kepala.
"Kamu tidur aja. Kalau aku datang nanti aku bangunin."
Lagi-lagi Syifa mengangguk.
"Kamu mau dibeliin apa?"
"Emm... Eh enggak usah, Mas. Sudah malam. Lagi pula kalau Mas Ical pulang mungkin juga sudah tutup." Syifa gugup menghadapi nada tegas yang dikeluarkan suaminya.
"Aku enggak akan lama. Jam sebelas mungkin sudah di rumah."
Syifa tak yakin dengan kalimat suaminya. "Ya, sudah terserah Mas aja." Syifa tak perlu memperpanjang perdebatan mereka.
"Kamu tidur aja, ya. Nanti kalau aku datang aku bangunin. Kalau ada martabak atau sate aku beliin." Usapan lembut Syifa rasakan pada puncak kepalanya. Setidaknya hal itu membuatnya sedikit lebih tenang. Hanya sedikit.
"Iya."
"Aku berangkat ya?" Setelah mendapat anggukan dari istrinya, Ical bangkit dari ranjang lalu berjalan meninggalkan kamar. Meninggalkan Syifa yang entah kenapa lagi-lagi merasa merana.
Rasa tak nyaman akibat kejadian tadi sore belum sepenuhnya hilang, kini ia kembali dihadapkan pada ketidaknyamanan lainnya. Apakah semua pernikahan seperti ini? Di awal semuanya akan terlihat manis. Suami yang perhatian dan selalu bersikap manis lalu lama kelamaan akan bosan lalu semuanya menjadi hambar.
Ataukah semua ini Syifa rasakan karena dirinya masih kurang bersabar? Pernikahan antara pasangan yang sebelumnya berpacaran dan saling mengenal dengan baik saja terkadang masih ada hal-hal yang harus dikompromikan bersama, apalagi dirinya dan Ical yang sebelumnya tak pernah terlibat kedekatan apapun.
Ya, benar. Sepertinya Syifa harus mencoba lebih bersabar. Ia dan Ical masih butuh waktu untuk saling mengenal dan berdekatan. Dan saat ini pernikahan mereka baru berjalan satu bulan. Waktu yang bahkan tidak bisa disebut sebagai seumur jagung karena masih benar-benar baru.
Lelah akibat sibuk dengan pikirannya, Syifa akhirnya tertidur. Lewat tengah malam sesosok tubuh memasuki kamar. Setelah memasuki kamar mandi dan berganti baju pria itu menuju ranjang. Belum sampai ia merebahkan tubuh penatnya, matanya memaku wajah sang istri yang tertidur lelap.
Perlahan jemarinya bergerak menyisihkan anak-anak rambut yang menutupi wajah wanita itu. Dari lampu kamar yang temaram, wajah itu masih terlihat manis. Banyak yang mengatakan istrinya itu hitam manis. Apalagi ditambah lesung pipi yang terlihat saat wanita itu tersenyum. Wanita itu jelas terlihat berkali-kali lebih menarik. Namun tidak bagi Ical.
Ia telah memaku isi hati dan kepalanya pada sosok yang jauh di sana. Sosok yang tak mungkin bisa ia gapai lagi karena hatinya ternyata tak sejalan dengan hati gadis itu. Gadis yang saat sekali lihat saja sudah membuat Ical jatuh bangun mencintainya. Senyuman cerianya, kerlingan jahil, juga kalimat-kalimat yang selalu membuat siapapun yang mendengarnya selalu tersenyum. Belum lagi wajah mempesona yang pasti membuat mata enggan meninggalkannya.
Ical mendesah lelah. Ia usap wajahnya kasar. Jika terus menerus membandingkan Syifa dan gadis itu pasti tak akan ada habisnya. Ia benar-benar brengsek karena melakukannya. Saat ini yang ada di sisinya adalah Syifa, istrinya. Bukan gadis itu. Gadis yang tak menjadikan Ical sebagai pilihan hidupnya.
Akhirnya Ical merebahkan tubuhnya di sisi sang istri yang sepertinya tak menyadari kedatangannya. Ia tak akan membangunkan wanita itu. Biarlah, toh jika Syifa bangun, wanita itu tidak akan mendapatkan apa yang tadi Ical janjikan, membeli sate atau martabak. Ia pulang sudah sedemikian larut. Tak ada yang menjual kedua makanan itu saat malam sudah berganti dini hari seperti saat ini. Lagi-lagi Ical didera rasa bersalah.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Yang (Tak) Sempurna
RomanceSempurna, adalah kata yang bisa melukiskan perasaan Syifa saat pria yang sejak bertahun-tahun lalu hanya mampu ia kagumi dari kejauhan saja pada akhirnya menjadi suaminya. Namun, kesempurnaan yang Syifa rasakan ternyata hanya sekejab mata. Alasan di...