"Aku pulang ya, Mas." Syifa berucap setelah mereka menyelesaikan makan siang masing-masing. Syifa juga telah merapikan kotak-kotak makan dan memasukkannya ke dalam kantung yang ia bawa.
"Aku antar pulang," ucap Ical saat Syifa sudah bangkit dari sofa.
"Tidak perlu. Pak Sobri masih menungguku. Lagi pula, Mas masih harus kerja kan." Syifa mengulas senyum lalu berbalik meninggalkan suaminya. Ia sebenarnya ingin pria itu mencegah. Namun sepertinya semua itu hanya ada dalam khayalannya saja. Hatinya semakin nyeri karena suaminya lagi-lagi mengabaikannya. Salahnya sendiri kenapa datang ke tempat ini. Padahal tadi pagi jelas-jelas ia sudah dipermalukan.
"Dek!" Suara Ical terdengar saat saat Syifa hendak meraih gagang pintu. Tunggu sebentar. "Aku anterin sampai bawah."
Senyum Syifa patah seketika. Hanya sampai bawah ya? Apa karena tak ingin terlihat tidak akur di depan para karyawannya? Sepertinya Syifa harus mulai mengeraskan hati agar tidak merasakan kecewa.
***
"Fa. Besok pagi ayah dan ibu ke Pamekasan. Ada salah satu putri teman ayah yang menikah. Ical juga sepertinya besok akan menghadiri undangan akad nikah salah satu temannya di Ganding. Besok ingetin bibi tidak usah masak terlalu banyak."Syifa sudah akan menaiki tangga menuju kamarnya saat ibu mertuanya tiba-tiba mengatakan informasi itu. Hal yang sama sekali tak Syifa tahu karena suaminya semenjak kemarin sudah tak terlalu banyak membuka mulut.
Setelah Syifa pulang dari mengantarkan makan siang ke tempat kerja Ical, tak sekalipun ada pembicaraan serius di antara mereka. Memang mereka masih berkomunikasi, masih saling sapa namun masing-masing seolah tak pernah mengingat kejadian pagi kelabu itu.
Entah Ical lupa atau sengaja tak mau membahas kejadian itu lagi. Berbeda halnya dengan Syifa yang setiap waktu terus menerus hidup dengan pikiran-pikirannya sendiri. Ingin bertanya, ingin membahas namun tak ada nyali. Ia masih ingat malam sebelum kejadian itu saat ia menanyakan tentang kecelakaan yang terjadi pada Rajasa, suaminya enggan menjawab. Pria itu bahkan menegurnya.
"Oh, iya, Bu. Besok saya akan mengingatkan bibi."
"Ibu pulang sore. Kami akan mengunjungi beberapa orang teman setelah menghadiri undangan."
Sekali lagi Syifa mengiyakan lalu berpamitan untuk tidur. Hari sudah cukup larut namun Ical belum juga pulang. Pukul tujuh tadi pria itu berpamitan keluar namun hingga jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam, pria itu masih belum kembali ke rumah.
Sebenarnya ke mana perginya pria itu? Kenapa setelah kejadian pagi itu sikapnya berubah seketika. Bukankah yang seharusnya marah adalah dirinya? Bukan Ical.
Syifa akhirnya mencoba memejamkan mata meskipun hatinya masih tak kunjung tenang. Rasa kantuk perlahan menjemputnya dan entah jam berapa ia tiba-tiba saja terbangun oleh suara gagang pintu diikuti suara pintu terbuka lalu tertutup kembali.
Pasti suaminya. Langkah kaki menuju kamar mandi terdengar tak lama kemudian. Lalu disusul suara ruang penyimpanan baju yang terbuka. Pria itu pasti mengganti bajunya. Beberapa menit berlalu akhirnya Syifa merasakan ranjang di sampingnya melesak. Pria itu ikut merebahkan diri.
Syifa diam. Ia berusaha tak bergerak seolah-olah terlelap. Dan sesuatu yang tak ia duga terjadi. Usapan lembut ia rasakan di kepala selama bermenit-menit. Apa yang pria itu lakukan? Untuk apa?
Belum habis rasa ingin tahu Syifa, seketika jantung Syifa dibuat meloncat saat ranjang kembali bergerak. Pria itu mendekatkan wajahnya lalu mengecup pipi dan pelipis Syifa cukup lama. Untung saja Syifa tidur membelakangi pria itu, jika tidak, Ical pasti tahu jika dirinya hanya berpura-pura.
"Maafin aku, Dek." Kata-kata itu meluncur melengkapi kekagetan Syifa.
***
Ucapan maaf disertai kecupan dalam yang Syifa dapatkan semalam berefek besar pada perasaan Syifa keesokan harinya. Apalagi Ical semalaman memeluknya hingga pagi menjelang. Saat itu tak sekalipun Syifa membuka mata dan mengatakan jika dirinya tidak tidur. Ia hanya terus berpura-pura tertidur hingga pada akhirnya ia pun ikut terbawa rasa kantuk yang memang masih melekat. Pagi hari saat ia terbangun ia begitu bersuka cita saat lengan Ical masih melilit tubuhnya. Karena tak ingin didera rasa canggung, Syifa memutuskan bangun terlebih dahulu dan langsung ke kamar mandi. Syifa bernapas lega. Sepertinya ia tak perlu terlalu berburuk sangka pada suaminya itu. Benar kata ibu mertuanya, mereka masih baru mengenal dan masih butuh waktu untuk dekat. Syifa hanya perlu lebih banyak bersabar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Yang (Tak) Sempurna
RomanceSempurna, adalah kata yang bisa melukiskan perasaan Syifa saat pria yang sejak bertahun-tahun lalu hanya mampu ia kagumi dari kejauhan saja pada akhirnya menjadi suaminya. Namun, kesempurnaan yang Syifa rasakan ternyata hanya sekejab mata. Alasan di...