Hening.
Tak ada satupun dari dua orang di dalam mobil itu yang berusaha untuk memulai pembicaraan. Lagi pula Syifa masih tak kuat untuk melontarkan kalimatnya. Ia yakin, sebaris kalimat yang akan ia lontarkan pasti akan diikuti derai air mata yang sudah nyaris meluncur dari mata Syifa. Ia tak mau melakukan hal itu saat ini. Maka jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Usaha yang ia yakini bisa meredakan debaran juga gemetar yang ia rasakan saat sang suami dengan gagah berani memukul sang sepupu karena cemburu.
Ya, cemburu. Syifa meyakini hal itu. Tak ada alasan lain selain hal itu, apalagi Ical melontarkan kata-kata yang begitu menyakitinya sebelum memukul Rajasa. "Aku melepas Pita bukan untuk kamu dapatkan dengan cara kotor seperti ini!" Kalimat penuh amarah itu benar-benar tak bisa lenyap dari kepala Syifa meskipun ia sudah berusaha menghapusnya. Ia kalah, benar-benar kalah.
"Dek." Kata itu terlontar saat Syifa dan Ical sudah berada di kamar mereka.
"Aku minta maaf." Syifa yang tak merespons akhirnya membuat Ical kembali membuka mulut.
"Aku salah."
Syifa mengembuskan napas lelah. Sepertinya suaminya sudah menyadari kebungkamannya. Dipandanginya sang suami dengan begitu lekat. Mencoba meraba hatinya sendiri. Apakah kali ini ia akan kembali seperti sebelumnya ataukah akan mengambil sikap yang berbeda?
"Ini sudah keterlaluan, Mas. Kamu tidak hanya menyakitiku tapi juga menginjak-injak harga diriku. Kesalahanmu sebelumnya meskipun begitu besar tapi aku masih memakluminya. Namun sekarang?" Syifa menjeda kalimatnya. Gelengan terlihat setelahnya. "Aku tidak bisa."
"Dek. Aku tidak sadar te---"
Syifa mengangkat tangannya. Meminta Ical menghentikan kalimat yang hendak pria itu ucapkan.
"Aku juga harus menyelamatkan hatiku, Mas. Yang punya hati di sini bukan cuma kamu saja. Aku tidak bisa memaklumimu terus menerus. Memberimu kesempatan terus-menerus tanpa ada usaha yang berarti dari diri kamu. Aku tidak ingin berjuang sendirian apalagi kamu masih belum bisa mengalihkan hatimu dari gadis itu. Sekuat apapun usahaku membuatmu mencintaiku, namun jika kamu sama sekali tak bergerak dari masa lalumu pasti semua usahaku akan sia-sia."
Syifa menunduk memperhatikan jemarinya yang saling remas lalu kemudian kembali memandang wajah sang suami. Tepat di mata.
"Aku tahu perasanmu, bagaimana rasanya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Meskipun disakiti kita akan tetap keras kepala dan enggan menyelamatkan hati kita. Sama halnya seperti perasaanku kepadamu. Aku tahu perasaanmu kepada gadis itu masih begitu dalam. Apalagi kenyataan jika aku tak sebanding dengannya. Hal yang makin membuatmu sulit menarik perasaanmu darinya. Kini, mari kita jaga hati kita sendiri-sendiri. Aku akan menyelamatkan hatiku. Begitupun kamu. Jika memang kamu masih belum bisa mengalihkan hatimu, kenapa kamu melepaskannya? Jika sudah seperti saat ini, akulah yang tersakiti. Jika rasamu masih sebesar sebelumnya, kejar dia. Jangan pernah lepaskan. Seharusnya dulu kamu tidak menikahiku. Tidak melibatkanku dalam kerumitan masalahmu."
"Jangan berbicara hal-hal yang tak masuk akal, Dek."
"Kamu yang tak masuk akal. Entah apa tujuanmu menikahiku dulu. Apa untuk menyelamatkan aib keluargamu atau mungkin hal lain? Jujurlah!"
"Dek, kamu salah paham."
"Dengarkan pendapatku dulu. Cukup dengarkan. Lalu kamu akan tahu apa yang aku inginkan," potong Syifa cepat. Tak ingin suaminya menyela kalimatnya.
"Seharusnya jika kamu tidak mencintaiku, kamu tidak perlu menikahiku. Selesaikan dulu urusan hatimu. Jangan jadikan aku sebagai korban. Selama ini aku berusaha bersabar dan menerima keadaan kamu, Mas. Tapi cukup. Kali ini aku sudah tidak mau lagi mendengar atau menuruti permintaanmu lagi. Tak ada yang lebih menyakitkan saat mengetahui jika diri kita hanya dijadikan pengganti. Bahkan semua orang di rumah ini juga tidak menginginkan aku, sama seperti kamu. Kedekatan kalian semua dengan gadis itu terlalu mencolok. Kalian semua tidak merasa perlu menjaga perasaanku. Di sini ternyata bukan cuma kamu aja yang enggak bisa move on dari gadis itu. Tapi semua orang. Ayah, ibu, bahkan Dian. Aku seperti terasing di rumah sendiri." Syifa menarik napas demi bisa melegakan sesak di dadanya.
"Maaf. Di rumah kamu," lanjutnya mengkoreksi peryataan sebelumnya. "Apalagi tadi. Saat kamu memukul sepupumu. Semuanya semakin jelas. Sepertinya yang di Atas sudah menunjukkan apa yang seharusnya aku lihat."
"Kita masih bisa memperbaiki semua ini, Dek. Maafin aku."
"Aku sudah memperbaiki, aku sudah berlari, tapi kamu yang tetap jalan di tempat."
"Aku akan berusaha lebih keras lagi." Ical tetap keras kepala.
"Silakan coba sepuasmu, Mas. Tapi aku tak akan mau mengulang apapun yang membuat hatiku nyeri. Sudah cukup beberapa bulan ini aku merasakan sakit dan menunggu. Untuk apa aku memperjuangkan sesuatu yang tidak ingin diperjuangkan."
"Dek." Tangan Ical menggapai jemari Syifa. Meremasnya erat karena wanita itu berkeinginan melepasnya.
"Aku akan pulang. Aku melepasmu, Mas. Aku melepasmu mulai detik ini," ucap Syifa tajam dengan tatapan yang sama tajamnya.
"Kamu ngomong apa, Dek? Jangan sembarangan. Jangan memperkeruh keadaan."
"Jangan memutar balikkan kenyataan, Mas. Tanya pada dirimu sendiri. Apakah semua yang aku katakan tadi benar atau tidak? Aku tidak memperkeruh keadaan tapi membaca keadaan. Aku tidak diinginkan di sini. Jadi untuk apa aku masih tetap berada di sini?"
Ical bungkam. Kekalutan yang ia rasakan. Belum selesai satu masalah kini bertambah lagi masalah yang lebih serius. Bagaimana mungkin istrinya akan meninggalkannya? Meninggalkan dirinya bahkan di saat pernikahannya masih baru berjalan lebih dari empat bulan?
Ia masih belum melakukan apapun dalam pernikahannya. Ia masih berada dalam tahap berusaha melupakan masa lalu. Seharusnya Syifa lebih mau bersabar lagi. Ia sudah berusaha begitu keras namun tentu saja usahanya hingga saat ini masih belum menunjukkan hasil. Namun ia tak akan menyerah, ia bisa melakukannya. Ia yakin akan bisa menghapus nama gadis itu dan menggantinya dengan nama Syifa.
"Dek, terserah kamu mau seperti apa. Tapi aku mohon jangan pergi. Kita masih belum mencoba lebih keras lagi. Maafin sikapku yang terus menerus menyakitimu."
"Jangan meminta maaf lagi. Aku sudah bilang kan?" Ical diam. Wajah istrinya yang biasa terlihat lembut kini memerah menahan amarah juga sakit hati. Hal yang tidak pernah ia inginkan namun justru sering terjadi.
"Aku akan pulang."
"Dek! Jangan coba-coba melakukan hal itu!" Ical mulai menaikkan volume suaranya.
"Kenapa? Kamu takut? Malu? Kamu bisa menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibu. Orang tuaku, biar aku yang mengurus semuanya. Pasti mereka akan mengerti," putus Syifa dengan tekad yang luar biasa. Tekad yang selama ini belum pernah sekalipun Ical lihat dari mata istrinya.
Sebegitu besarkah keinginan wanita itu lepas dari dirinya? Apakah sudah tidak ada lagi kesempatan untuk dirinya?
###
Yang greget sm Ical atau juga Pita. Yuk intip apa yg terjadi sebelumnya di lapak "Cintaku terhalang stratamu." Awal mula cerita ini ada di sana lo. 😘
Cerita ini sudah bisa diakses secara lengkap di Karya karsa ya. Bisa satuan atau paketan dg harga lebih terjangkau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Yang (Tak) Sempurna
RomansaSempurna, adalah kata yang bisa melukiskan perasaan Syifa saat pria yang sejak bertahun-tahun lalu hanya mampu ia kagumi dari kejauhan saja pada akhirnya menjadi suaminya. Namun, kesempurnaan yang Syifa rasakan ternyata hanya sekejab mata. Alasan di...