Bagian Sembilan Belas

2.5K 566 57
                                    

"Lalu, bagaimana per---" Kalimat Syifa tak selesai terlontar. Tari sudah memotongnya terlebih dahulu.

"Fa, aku sudah bilang kan. Lebih baik kamu membahas hal ini dengan suamimu. Jika seperti ini kamu akan salah paham. Lagi pula semuanya adalah masa lalu. Semua orang punya masa lalu dan tak mungkin bisa diubah. Yang terpenting saat ini adalah kamulah yang menikah dengan Ical. Kamu istrinya, bukan gadis itu. Kamu wanita yang dipilih Ical untuk mendampingi hidupnya."

Syifa bungkam, memang benar apa yang dikatakan Tari. Hal yang sama juga dikatakan Ical dan ayah Syifa. Namun seandainya saja Tari tahu jika hubungannya dengan Ical tak seperti apa yang terlihat, pasti wanita itu akan maklum.

Wanita mana yang tidak akan was-was jika selama empat bulan pernikahnnya, sang suami masih enggan menyentuhnya? Bahkan saat ini Syifa sudah enggan bertanya dan membahas masalah itu. Percuma. Ia masih punya rasa malu. Ia juga masih punya harga diri. Ia tak mungkin seolah-olah mengemis terus menerus untuk merasakan belaian Ical.

"Selesaikan makananmu, tuh mereka sudah ke sini lagi." Tari menggerakkan dagunya pada piring Syifa lalu beralih pada tiga orang yang berjalan mendekati meja mereka. Indra, Ical, dan Dian. Sepertinya mereka sudah cukup puas mengobrol di luar sana dan kembali ke restoran.

Syifa menoleh sekilas. Ia segera menyuapkan makanan yang tersisa ke mulutnya meskipun terasa begitu sulit. Apa yang baru saja ia dengar membuatnya tak berselera lagi untuk makan.

"Mbak, aku nanti nginep di kostnya Pita aja ya. Biar kalian bisa honey moon lagi. Lagian aku enggak mau jadi obat nyamuk." Dian berseru riang lalu duduk di sebelah Tari.

"Ngapain? tidur di sini aja." Tari yang menjawab. Sedangkan Syifa bertingkah seolah tuli.

"Males banget. Pilihannya cuma dua. Tidur bertiga sama Mas Ical dan Mbak Syifa atau tidur di kamar berbeda namun sendirian. Mending aku numpang ke Pita. Lagian aku juga mau pamer kalau aku dilamar." Dian terbahak sendirian.

"Pita ajak nginep di sini aja, Di. Kan sudah terlanjur pesan kamar." Indra kali ini yang berucap. "suruh aja ke sini sekalian nanti malam kita keluar ba---" Kalimat Indra tak selesai terucap karena cubitan Tari di lengannya. Pria itu seketika menolehkan wajah memandang istrinya kaget lalu detik berikutnya pria itu terlihat tergeragap seolah baru menyadari sesuatu.

"Oh, mending kamu ke sana aja deh. Nginep di sana," lanjut Indra meralat ucapannya.

Dian yang tahu maksud Indra seketika mengangguk. "Aku belum menghubungi dia kok, Mas. Ntar agak sorean aku mau ke sana. Mau bikin kejutan," ucap Dian riang membayangkan kekagetan di wajah sahabatnya.

"Kamu mau ke sana naik apa?" Kali ini Ical berucap. Membuat Syifa menghentikan gerakan tangannya dari piring yang masih belum habis isinya. Ia letakkan sendok dan garpu lalu meminum air dalam gelas di hadapannya. Ia tak sanggup melanjutkan makan siangnya.

"Naik ojek atau taksi."

"Jangan! Bahaya. Sudah sore, kalau macet bisa kemalaman."

"Ih, lebay banget deh, Mas. Aku selama di Malang kemana-mana ya naik ojek." Dian mencoba mengelak.

"Itu kan di Malang. Sekarang di Surabaya."

"Sama aja."

"Nanti aku yang anterin aja. Gimana, Di? Habis perkara kan?" sela Indra tiba-tiba untuk memecah perdebatan kakak beradik itu.

"Nah, kalau itu bagus. Biar aku yang anterin kasihan Mas Indra nanti capek." Kalimat Ical lagi-lagi membuat Syifa melebarkan mata. Yang benar saja. Ical akan mengantarkan Dian ke indekost sahabatnya? Sahabat sekaligus mantan tunangan suaminya. Gadis yang keberadaannya masih tak bisa sirna dari hati suaminya. Apakah ia akan membiarkan hal itu? Tentu tidak.

"Aku ikut kalau nganterin ke sana." Syifa menyela. Membuat semua orang memfokuskan pandangan kepadanya. Raut berbeda terlihat di wajah semua orang.

"Aku jarang ke Surabaya. Mumpung di sini aku ingin melihat-lihat dan berkeliling." Jawaban yang masuk akal. Syifa mengulas senyum tipisnya demi menyembunyikan detak menyakitkan yang ia tahan sedemikian rupa. Ia sudah tercebur, toh sekalian basah juga. Tak masalah jika dirinya ingin memastikan dugaan-dugaan yang selama ini menggerogoti hatinya. Ia juga ingin tahu bagaimana sosok gadis yang menjadi pujaan hati suaminya. Pujaan suaminya dan Rajasa tentu saja. Ia harus mengingat hal itu.

"Kita semua ikut aja. Lebih menyenangkan kalau jalan ramai-ramai." Akhirnya Indra memutuskan namun mendapat penolakan Dian.

"Kalian semua ngapain repot sih. Kan ada Pak Bono. Biar Pak Bono yang nganter. Kalau semuanya ikut nanti kejutanku gagal dong." Akhirnya keputusan Dianlah yang mendapat persetujuan dari semua orang. Yah, meskipun Syifa merasa sedikit tak lega. Mungkin itulah yang terbaik. Ia tak perlu bertemu dengan mantan tunangan suaminya.

***
Saat hari sudah berganti malam, sekembalinya sopir yang mengantar Dian tiba di hotel, berempat mereka menghabiskan waktu untuk berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Pada awalnya Syifa masih ragu untuk membelanjakan uang Ical, ia masih tak berani menggunakan uang itu. Namun saat Ical menyuruhnya membeli apa saja yang ia inginkan, Syifa akhirnya tak menolak. Kartu yang beberapa waktu lalu Ical berikan ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Tari yang semula ia kira tak terlalu suka berbelanja ternyata salah besar. Wanita itu seolah tak berpikir saat meraih apa saja yang menarik di matanya lalu membawanya ke meja kasir. Wanita itu mengatakan membelikan oleh-oleh untuk seluruh keluarganya di rumah. Orang tua dan adik-adiknya, lebih tepatnya.

Syifa ingin melakukan hal yang sama namun masih belum mempunyai cukup keberanian meskipun Ical sudah mengatakan untuk membeli apa saja yang ia inginkan. Ia masih beberapa bulan menjadi istri Ical. Ia masih merasa belum mempunyai kuasa penuh atas apa yang dimiliki suaminya. Lagi pula ia tak mau dianggap sebagai istri yang hanya pintar menghambur-hamburkan uang suaminya saja.

Nyaris pukul sebelas malam mereka tiba di kamar masing-masing setelah menikmati makan malam yang begitu larut. Esok pagi mereka akan ke rumah sakit untuk berkonsultasi. Hal yang begitu enggan ia lakukan.

Syifa merapikan barang-barang yang telah ia beli. Ia membelikan Ical kemeja dan juga kaus untuk pria itu pakai sehari-hari. Sebenarnya Syifa merasa hal itu sia-sia. Toh ibu mertuanya mempunyai toko yang cukup besar yang menyediakan kebutuhan berbusana. Namun setidaknya ia ingin melihat suaminya memakai baju yang ia belikan, yah meskipun uang yang digunakan tetap uang Ical.

"Kamu kok masih belum tidur?" Ical keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Pria itu juga sudah mengganti bajunya. Sama halnya dengan Syifa.

"Masih ngerapiin ini nih. Biar besok enak langsung masukin ke mobil dan enggak makan tempat." Syifa mengangkat tumpukan baju yang telah ia masukkan ke dalam tas berukuran sedang.

"Dian besok dijemput jam berapa?" Melihat ekspresi santai suaminya yang duduk bersandar di kepala ranjang seketika membuat Syifa memanfaatkan kesempatan. Ia masih belum melupakan pembicaraannya dengan Tari tadi siang.

"Enggak tahu. Mungkin sebelum kita pulang. Dia mau menghabiskan waktu dengan temannya mumpung masih di sini," ucap Ical sambil mengganti channel televisi menggunakan remote di tangannya. Pria itu fokus pada layar kaca yang tergantung di depan ranjang kamar itu.

"Teman Dian itu ...." Syifa menjeda kalimatnya. Menimbang apakah ia harus melemparkan bom itu atau tidak. "Dia Pitaloka. Gadis yang ada di undangan itu kan, Mas?" Pertanyaan Syifa pelan namun ternyata membuat Ical yang sebelumnya fokus pada televisi di depannya m menoleh seketika. Raut pria itu tak terbaca namun justru membuat Syifa meringis ngeri. Apa ia telah salah melempar pertanyaan? Tentu tidak bukan?

###

Bab berikutnya bisa diakses di KBM Nia_Andhika dan sudah sampai bab 41.

Jodoh Yang (Tak) SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang