1O :: reason

864 141 47
                                    

Sesuai dengan kesepakatan mereka tadi pagi, kini Wadya dan Yesa sudah berada di sebuah cafe tempat Wadya bekerja paruh waktu.

Masalahnya hanya satu, Wadya takut jika kedatangannya di cafe diketahui oleh ayahnya.

Sedari kecil, Wadya sudah tertarik di bidang kuliner. Entah itu makanan nusantara, western, ataupun makanan Korea---ia bisa membuat semuanya. Tapi sayang, mimpinya itu ditolak mentah-mentah oleh ayahnya.

Sang ayah menginginkan anak laki-laki nya itu memimpin perusahaan keluarga kelak, bukan bekerja sebagai barista atau chef di cafe.

Tapi sebagai sahabat yang baik, Yesa mendukung mimpi Wadya. Ia terkadang menemani Wadya bekerja dengan vanilla latte dan tiramisu cake di mejanya. Ya seperti sekarang ini.

Wadya yang sedang dalam waktu istirahatnya memutuskan mengunjungi meja Yesa dan duduk di kursi sampingnya.

"Yang buat tiramisu cake ini lo kan?" Yesa membuka pembicaraan.

Wadya mengangguk. "Gimana enak ga?"

"Delicious as usual"

Jawaban Yesa membuat Wadya tersenyum tipis.

"Yang shift malem cuma 3 orang ini?"

"Iya, soalnya biasanya pelanggan cuma dikit kalo dah jam jam segini"

Baru saja Wadya menjawab begitu, lonceng pintu cafe berdering menandakan adanya pelanggan yang masuk. Karena dua teman lainnya sedang bekerja di dapur, Wadya terpaksa langsung berlari ke meja barista guna melayani pelanggan itu.

"Misi, mas"

"Iya. Mau pesan ap-- LOH? SAN?!"

Teriakan Wadya itu membuat Yesa menengok kearah meja barista depannya. Ternyata pelanggan tadi adalah seorang pemuda yang menggunakan setelan kaos dan jeans lengkap dengan jaket denim.

Wajahnya terlihat familiar tapi lagi-lagi Yesa tidak mengenalnya atau lebih tepatnya lupa.

Ia tidak terkejut saat melihat sahabatnya akrab dengan lelaki yang dipanggil San itu. Social butterfly gitu istilahnya.

Beberapa menit kemudian, Wadya keluar dari dapur dengan dua paperbag yang berisi pesanan milik San. Lumayan banyak. 3 ice americano dengan 4 paket hamburger, semuanya dibungkus.

Yesa masih mengamati San sampai ia keluar dari cafe. Ada dua orang yang menunggunya diluar. Mereka menaiki satu mobil dengan San yang menyupiri. Sontak merk mobilnya membuat Yesa geleng-geleng kepala.

BMW X6. 2,15 Miliar.

"Ngelamun aja lo" Wadya menepuk bahu Yesa pelan.

"Hahaha engga. Gimana tadi pesenannya? Dah kelar?"

"Udah. Pesennya lumayan banyak, tapi untung aja simple buatnya"

Yesa mengangguk paham. "Itu tadi siapa sih? Gue kayanya pernah liat tapi lupa lagi"

Wadya tergelak. "Hah lo gatau San?"

"Engga.."

"Hadehh Yesa. Padahal biasa orang kalo kenal Jo udah langsung kenal juga sama San. Soalnya mereka berdua kan sepaket"

Yesa dengan otak cerdasnya akhirnya paham. Jo adalah anak bungsu, jadi otomatis sulungnya itu adalah San. Pantes aja harga mobilnya selangit.

"Lagian gue kenal sama dia juga baru-baru ini. Kemaren kan gue harus jemput Yunan di rumah sakit. Karena Yohan gabisa nganter, akhirnya dianterin sama San"

Yesa mengangguk. Ia menatap ke arah Wadya yang sepertinya tengah bersiap menanyakan sesuatu.

"Oiya btw orang yang ikut nunggu sama San tadi keliatan familiar ga menurut lo?"

WHITE || AteezTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang