20 :: strongest

791 128 75
                                    

"Wadyaaa, sini keluar"

San memanggil dengan sedikit keras. Cafe ini bisa dibilang lumayan besar, lengkap dengan ruang istirahat para pekerja di bagian belakang. Memang cocok dan nyaman juga apabila ada yang ingin menginap.

Yang dipanggil langsung menampakkan diri dari balik pintu toilet. Rambut berantakannya membuat San tertawa kecil. Wadya pasti habis bersih-bersih.

Ia langsung berlari kecil menghampiri San dengan suka cita. "Lo bawa apaan nih kok banyak banget?" Tanyanya antusias sambil mengambil alih barang bawaan dari tangan San.

"Itu ada selimut sama kue spesial buatan mami"

"Wahh beneran? Okay bakal gue cobain nanti. Bilang makasih sama mami lo ya"

San mengangguk lalu duduk di salah satu kursi. "Tapi bukannya lo udah kenal mami ya?"

"Eh?"

"Reina Bunga. Sekarang udah jadi Reina Bunga Edelsteen. Kenal?"

"LOH TANTE REINA ITU MAMI LO?"

Yang lebih tua tertawa lagi lalu mengangguk. Wadya ini seperti obat penawar untuknya. Disaat tadi ia kesal dengan tingkah papi dan adiknya eh sekarang udah dibuat ketawa-ketiwi aja karena Wadya.

"Pantesan pas pertama kali gue ketemu sama tante Reina rasanya kaya mirip seseorang tapi gue lupa. Ternyata lo ya"

"Hahaha iya, gue emang mirip sama mami. Kalau Jo lebih ke papi" Tambah San di iringi anggukan dari Wadya. "Btw nih mulai beres-beresnya besok kan?"

"Heem, abis pulang sekolah. Gue suruh karyawannya kesini juga sekalian biar banyak yang bantu dan cepet selesai"

San mangut-mangut. Matanya masih tak lepas dari manik kembar Wadyanaka Putra. Pemuda mandiri dan paling kuat yang pernah ia kenal selama hidupnya.

Tittle anak mandiri memang sudah seharusnya menjadi nama lain Wadya. Bagaimana tidak? Ia sendirian mengumpulkan uang untuk membeli ruko ini selama tiga tahun terakhir! Ia juga yang mengurus semuanya mulai dari furniture tambahan, menu dan resep, sampai perekrutan para pekerja.

"Gue bangga sama lo"

Semua hal yang berputar di otak San membuatnya reflek mengucapkan kalimat tersebut---dan langsung disambut reaksi kaget dari Wadya.

"Apaan sih?!"

"Eh gue ga bercanda ya. Beneran tau"

"Ya ya ya gue percaya" Ucap Wadya sambil tersenyum kecil. "Makasih ya"

San mengangguk. "Sekarang gue punya satu permintaan buat lo"

"Apa?"

"Tolong kasih tau sebenernya apa alasan lo ke cafe ini malem-malem? Ada sesuatu yang ngga beres?"

Wadya gelagapan. Sorot matanya berlarian kesana kemari. "E-eh kita ke teras aja yuk? Gue tunjukin bunga mawar yang udah pada---"

"Jangan ngalihin topik, manis" San menarik tengkuk pemuda kecil ini agar memusatkan semua tatapan kepadanya.

"Ya oke oke. Kita ke teras dulu, gue ceritain semuanya disana"

Detik selanjutnya San dan Wadya berjalan beriringan keluar cafe. Suhu dingin langsung terasa seperti menusuk kulit. Untung saja Wadya sudah bersiap membawa selimut. Setidaknya mereka tidak akan menggigil kedinginan dibawah sinar bulan.

"Jadi apa?" San membuka percakapan sambil mengeratkan selimut yang melapisi tubuh mereka berdua.

"Err itu.." Wadya mengambil ancang-ancang. Ia takut kalau San akan memarahinya karena sudah gegabah. "Tadi sore ayah pulang, dan.. gue ceritain semuanya ke beliau"

WHITE || AteezTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang