Bagian XXXV

1.1K 165 11
                                    

Halo! Kembali lagi nih dengan chapter baru... Jangan lupa tinggalin vote dan komen ya...

Oiya... Jangan lupa mampir ke cerita aku yang judulnya People Like Us, aku berharap kalian suka sama cerita aku yang itu, karena aku juga suka pas nulisnya... Hehe

Btw, pada seneng nggak kalo aku up cepet gini? Haha

Ya udh sekian aja kalo gitu. Btw happy reading ya... Sampe ketemu di ch selanjutnya... Bye bye...

Luv, Ridlvd.

***
Brant terdiam sejenak, menatapi salah satu jendela apartemen yang ia ketahui dengan jelas siapa penghuninya itu.

Beberapa waktu lalu hubungannya dengan Teressa berjalan begitu baik, dimulai dari kesediaan wanita itu untuk pindah ke apartemen itu, lalu ketika mereka berkemah, kemudian di pertunjukkan musiknya, hingga akhirnya sesuatu yang buruk terjadi.

Hal buruk itu salah satunya berkaitan dengan tanggapan Harper mengenai Teressa, juga berita mengenai dirinya dan wanita itu yang tersebar tanpa sepengetahuannya. Karena hal itulah ia menjadi bersikap terlalu sensitif pada siapapun, tidak hanya pada guru pria bernama William itu, tetapi juga pada Teressa, dan membuat wanita itu kesulitan.

Sekalipun ia sudah meminta maaf pada wanita itu, tetapi rasanya masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya... Perasaan bersalah masih saja melingkupinya. Mengapa ia tidak bisa menjadi pria yang memiliki kesabaran lebih? Ia ingin melakukan apapun dan melakukan yang terbaik untuk Aaron dan Teressa, tetapi ia terus saja mengacaukan segalanya.

Brant mengacak rambutnya kesal.

Hari ini mungkin menjadi hari yang begitu melelahkan, tetapi di balik itu, satu hal yang membuat hari ini begitu menyenangkan. Hal di mana Brant tidak akan bisa melupakan bagaimana putranya itu memintanya untuk menjadi Ayahnya. Demi Tuhan, putranya sendirilah yang memintanya menjadi ayahnya! Teressa benar mengenai perkataannya jika putra mereka itu memang sangat pandai.

Drtt... Drtt...

Tiba-tiba saja sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya, ia bersiap menolaknya karena moodnya hari ini sedang tidak cukup baik. Namun, satu nama itu membuatnya mengurungkan niatnya.

“Ya?” ucapnya singkat.

“Papa!”

Satu kata sederhana yang diucapkan dengan nada begitu riangnya itu membuat jantung Brant berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

“Papa sudah sampai mana? Apa sudah sampai rumah?”

Lagi. Brant tidak bisa mengatakan apapun mendengar satu kata yang kembali keluar dari bibir putranya itu.

Air mata tanpa sadar mengalir menuruni wajahnya. Entah mengapa, tetapi pikirannya jadi berkelana pada Ayahnya yang tidak pernah diketahuinya itu. Pria itu... apa ia tidak menyesal melewatkan hal seberharga ini? Putranya... Seseorang yang memiliki sebagian dari dirinya yang dengan tulus memanggilnya dengan sebutan Ayah?

“Papa? Kenapa diam saja?”

Di sela tangisnya Brant tertawa, sayup-sayup ia dapat mendengar kekhawatiran dari Aaron dan Teressa.

“Mama, Papa tidak mengatakan apapun.”

“Benarkah? Seharusnya kita meneleponnya sesampainya ia di rumah,” sesal Teressa pada putranya.

“Tetapi Papa meminta Aaron untuk meneleponnya dengan cepat.”
Terdengar suara-suara aneh sebelum kemudian panggilan itu beralih pada Teressa.

“Brant? Apa kau mendengarku?”

Mendengar suara dari Teressa sama sekali tidak memperbaikinya dan malah membuat air matanya kembali mengalir. Sialan. Mengapa Brant menjadi begitu cengeng seperti ini?

Silent Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang