Fifth Verse

57 10 1
                                    

"Bola ubi nya 20 ya mang!"

Kini Ale dan Fabian tengah berada di Cibadak, surganya pemburu streetfood di Bandung. Semua jenis makanan ada disini mulai dari makanan berat hingga makanan ringan. Namun favorit Ale jelas: bola ubi.

"Asik!" ujar Ale girang saat Fabian menyerahkan sekantong plastik berisi olahan ubi berbentuk bulat dan tidak berisi alias kopong tersebut.

Fabian hanya tersenyum, "Makannya sambil duduk." ujar Fabian. Ale menurut dan langsung menyandarkan pantatnya di motor Fabian.

"Abis ini mau makan apa?" tanya Fabian.

"Your choice deh sekarang." jawab Ale yang masih asyik mengunyah bola ubi nya.

"Aku pengen yang seger-seger nih." Fabian mengedarkan pandangannya. "Kwetiau rebus mau?" Ale hanya mengangguk.

Mereka pun berjalan kaki menuju penjual kwetiau rebus yang dimaksud Fabian. Tempatnya bersih dan tidak terlalu ramai. Mereka pun memilih tempat di sudut.

"Pak, kwetiau rebus nya 2 ya." pesan Fabian. Sang penjual mengangguk.

Mereka berdua duduk berhadapan. Tak seperti orang pacaran pada umumnya yang seringkali duduk bersebelahan pada saat makan (agar lebih intim), Ale dan Fabian tidak pernah demikian. Alasannya adalah karena mereka pasti makan sambil berbincang dan akan lebih mudah jika saling melihat wajah satu sama lain, because that's how normal people talks, they guess.

"Le. I got some news." ujar Fabian membuka pembicaraan.

"What?"

"Good or bad first?"

"The good one i guess." jawab Ale.

"Soo, kemarin temen papaku bilang, my place for intern has settled. Jadi big possibility banget kalo akau bakal lanjut kerja disana setelah lulus nanti." ujar Fabian.

"Fab, you kidding? This is beyond good!" Ale memekik seraya meraih tangan Fabian dan menggenggamnya. Fabian tersenyum.

"So when will it start?"

"In two weeks, for real. Aku gabisa nego dan untungnya kata kaprodi ujian ku bisa via online so it's not that big deal right now."

"Oh my God, i'm at loss for words. Seneng bangettt dengernyaa." Ale memukul-mukul meja. Fabian sampai harus menahan tangannya agar tidak menimbulkan keributan.

"Yea but now for the bad news, you ready?" tanya Fabian. Ale mengangguk.

"I'm going to Kalimantan."

4 kata dari Fabian berhasil menyurutkan senyum Ale. Meskipun ia pernah berkata bahwa she's kinda fine with long distance but she never knew that this day will finally come, for real.

"Ow, really?" hanya itu yang keluar dari mulut Ale.

Fabian menghela napas, "Sucks right? I know."

Ale hanya diam menatap Fabian yang kini tengah mengaduk es jeruk di hadapannya. Ale meraih tangan Fabian dan menggenggamnya erat.

"We can go through this kok." ujar Ale akhirnya. Fabian mendongak.

"You sure?" tanyanya. "I mean it needs like 6 months for us to meet each other."

"Please, kamu hidup di jaman majapahit atau gimana? We still can do facetime everyday, right?" jawab Ale sambil tertawa.

Fabian tersenyum getir, "Le, if you have a change of feelings, please just let me know so i know when i should stop fighting."

Ale mengernyit, "You sound like i really have a heart to do that."

"People change, Le. So is relationship." jawabnya. "Because if i feel the same, i will also tell you."

Ale tidak menjawabnya. How can he even think of the-change-of-feelings thing in this situation? Like does it really cross in his mind to.....leave Ale?

Penjual kwetiau pun akhirnya datang mengantarkan pesanan mereka. Tak seperti biasanya, mereka kini makan dalam hening, tak ada satupun yang membuka topik. Ale seolah sudah kehilangan nafsu makannya, namun ia tak ingin Fabian mengetahuinya sehingga ia berusaha keras menghabiskan setengah piring kwetiaunya.

"Langsung balik aja ya." ujar Ale setelah Fabian membayar pesanan mereka. Fabian hanya mengangguk.

Di perjalanan pun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Hanya angin Bandung yang terus menerpa wajah Ale yang sudah dingin akibat tetesan air mata yang secara tak sadar telah turun ke pipinya.

Ini adalah pertama kalinya ia menangis selama 2 tahun terakhir bersama Fabian. She never knew that this day will finally come, when she finally cries over a guy whom he love the most (ofcourse after her dad and Erwin tho).

Ale turun dari motor setelah sampai di kosan nya. Ia menyerahkan helmnya ke Fabian dan hanya berdiri disana, menatap Fabian.

"Are we really not going to talk about this?" tanya Fabian.

"What else need to be sorted tho, Fab. Kan udah jelas juga semuanya." jawab Ale. Fabian menghela napasnya.

"I guess we finally become a normal couple right now." ujar Fabian sambil tertawa getir.

"Go home, Fab. I'm tired." ujar Ale.

Fabian menatap Ale yang matanya kini tengah sembab. Tangannya tergerak untuk mengelus pipinya. Ale memejamkan matanya dan sebulir air kembali bergulir.

"Do you really have to make me look more pathetic, Fab?" tanyanya.

"I love you, Aleandra."

Ale menurunkan tangan Fabian dari wajahnya. Ia bahkan kini sudah tak sanggup melihat mata Fabian yang sedari tadi tidak berpaling darinya.

"I'm going in." ujar Ale sambil berbalik meninggalkan Fabian yang masih menatap punggungnya yang menjauh dengan getir.

Ale masuk ke dalam kosannya, bertepatan dengan Erwin yang baru saja keluar kamar dengan gelas kosong di tangannya.

"Le?"

Erwin yang heran melihat wajah Ale yang sembab sehabis pergi dengan Fabian pun berjalan mengikutinya. Tak seperti Ale yang biasanya yang selalu berwajah ceria dan tak lupa menenteng makanan sehabis jalan dengan Fabian.

"Sist, you okay?" tanya Erwin. Ale tak menoleh dan hanya mengacungkan jempolnya sekilas sebelum berbelok untuk naik ke tangga.

Ale langsung masuk ke kamar dan melemparkan tubuhnya ke kasur. Airmata kembali mengalir deras dari matanya. She knew this day will come, but she never knew that it would be this hurting.

Ale takut. Bukan karena takut akan menjalani hubungan jarak jauh dengan Fabian. Ia takut apabila perkataan Fabian tadi benar menjadi nyata.

What if she really had a change of feelings? What if she finally turns her back on Fabian and seek pleasures from other guys? and too many what ifs in her mind right now.

Ale takut bahwa pemikirannya semalam benar-benar terjadi. Bagaimana jika suatu saat perkataan Erwin tentang perasaan 'bosan' benar-benar akan muncul? Bagaimana jika perasaan itu justru datang disaat Fabian sedang berada ribuan kilometer jauh darinya?

Malam itu Ale habiskan dengan wajah tertelungkup di atas bantal, sambil menangis dan memikirkan segala what ifs yang mungkin akan terjadi 2 minggu dari sekarang.

*********
give it lots of love!xo.

Once Upon A Time in Bandung | nct jungwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang