37 • Menolak?

18 3 0
                                    

"Sekarang lo udah berubah ya, Ay."
Alrasya Sya'ban Alzeenar

***

Apa? Inara? Apakah Alrasya tidak salah dengar? Tetapi Alrasya mencoba untuk berpikir sejenak, mungkin sajakan yang dimaksud bukan Inara teman sewaktu SMAnya dulu, karena faktanya yang memiliki nama tersebut bukan hanya dia

Ketika Camila ingin bangun dan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba saja putri tunggalnya datang. "Maaf lama, Yah"

"Ngga papa, sini duduk," ajak Muntaz seraya menepuk sofa untuk mengintruksikan kepada Inara agar dirinya dapat duduk di samping Muntaz

"Masyaallah cantiknya." Luna memuji kecantikan perempuan yang sedang memakai khimar panjang itu, sedangkan yang dipuji hanya membalas dengan senyuman sambil menundukkan pandangan

Ternyata benar bahwa anak yang dimaksud Muntaz ada Inara, Bunga Inara Tsabila. Ketika perempuan itu telah berhasil menuruni semua anak tangga, ia sangat terkejut begitu melihat siapa tamu yang datang, tidak menyangka bahwa orangtuanya adalah teman dekat dari orangtua Alrasya Sya'ban Alzeenar, teman waktu SMAnya dulu dan begitu juga dengan Alrasya yang tidak kalah terkejutnya. Tetapi Inara dan Alrasya sama-sama tidak mengatakan sepatah kata

"Nah Ras, kalau ini anaknya om Muntaz, siapa namanya? Inara, ya?"

"I— iya Tante"

"Rasya, waktu kuliah kamu ambil jurusan apa?"

"Jurusan ilmu gizi"

"Oh, masyaallah. Emang SMAnya dimana?"

"SMA Adhnan El Islamic School"

"Loh kamu pernah satu sekolah sama Inara?"

Jangankan pernah satu sekolah, sampai sekarang pun Alrasya dan Inara masih saling menyimpan nomor telepon masing-masing, tetapi keduanya tetap tidak pernah bertukar pesan, paling terakhir sekitar empat tahun yang lalu, itu pun saat Alrasya menanyakan prihal Ayla yang dirawat di rumah sakit apa

Dan sepertinya wajar jika dari tadi mereka diam, karena walaupun Inara dan Alrasya pernah satu sekolah, tapi tetap saja jika keduanya tidak begitu akrab

"Oh. Om tau nih, kalian diam-diaman karena malukan? Om juga yakin, kalau kalian udah ngga asing, tapi ngga begitu kenal karena kalian beda jurusan. Jadi, kalau di sekolah pasti jarang ketemu? Apalagi anak Om maluan banget"

"Iya, Om," jawab Alrasya kikuk

Ditengah perbincangan antar kedua keluarga tersebut, sebenarnya Ayla sudah sampai di depan rumah Inara. "Kayaknya masih ada tamu." Karena Ayla melihat ada mobil yang sedang terparkir di depan rumah Inara, jadi Ayla mengurungkan niat dan kembali berbalik arah. Ayla memang tau bahwa akan ada tamu yang datang, tapi ia kira temunya sudah pulang sedari tadi, ternyata belum

Karena takut di jalan macet, jadi Luna memutuskan untuk segera berpamitan. Walaupun Abinya sudah tidak ada, tetapi Luna harap, silaturahmi ini tidak akan pernah putus

"Rasya." Panggil Arrafsya seraya menepuk kursi yang berada disebelahnya. "Kenapa, Bang?"

"Tadikan kita ketemu sama anaknya Om Muntaz, nah menurut lo dia itu perempuan yang kayak gimana?"

"Ngga tau gue. Gue emang pernah satu sekolah sama dia, tapi ngga begitu akrab"

Arrafsya menepuk pundak Alrasya. "Yang gue liat, Inara itu kayaknya perempuan baik. Kalau soal fisik ya udah jangan ditanya"

Alrasya tidak tau harus menjawab apa, Alrasya hanya mendengar apa yang akan Arrafsya sampaikan. "Yaa terus? Jangan bilang lo mau poligami?"

Dengan refleks Arrafsya segera menjitak kepala sang Adik dengan pelan. "Yang bener aja lo kalau ngomong? Gue si udah cukup satu, cuma mau jadiin Sania perempuan pertama sampe terakhir buat jadi peneman hidup"

"Lagian ngapain pake nanyain Inara ke gue?"

"Gue cuma nanya, Ras. Siapa tau lo berminat"

"Ya Allah, Bang"

"Sebelum Abi meninggal, dia pernah bilang untuk jodohin lo sama dia"

Alrasya terbelalak. "Berasa ngga punya dosa lo tiba-tiba ngomong kayak gitu?"

"Gue cuma mau nyampein amanah. Lagian Om Muntaz udah lama kenal sama Alm Abi. Mereka juga udah sama-sama ngebangun pesantrenkan?"

"Terus apa hubungannya sama gue?"

"Om Muntaz ngga punya anak lagi selain Inara, nah mereka sepakat kalau suatu saat nanti lo bisa nikah sama Inara dan menggantikan posisi Alm Abi dan Om Muntaz di pesantren"

Lagi-lagi Alrasya dibuat terkejut oleh Abangnya sendiri, benar-benar tidak pernah menyangka. Alrasya pikir, bagaimana bisa dirinya menikah dengan perempuan yang sama sekali belum ia kenal dekat?

"Kenapa ngga lo aja?"

"Gue udah punya istri, Ras. Ya kali mau nikahin Inara juga?"

"Maksud gue, kenapa ngga lo aja yang jadi penerusnya?"

"Ngga bisalah, gue sibuk. Tugas aja masih sering keteteran"

"Insyaallah gue bisa aja gantiin posisi Alm Abi dan Om Muntaz, tapi tanpa menikahi Inara"

"Ras—" belum sempat Arrafsya melanjutkan perkataannya, namun Alrasya sudah memotong. Ini kali pertama Alrasya bersikap seperti itu karena memang Alrasya melakukannya dengan terpaksa. Dan sebenarnya Alrasya juga tau jika sikapnya kali ini sama sekali tidak sopan

"Gue mohon jangan paksa gue, Bang. Karena jujur, masih banyak cita-cita yang belum gue wujudin. Gue belum kepikiran buat nikah, apalagi gue sama sekali ngga ada perasaan apa-apa ke dia"

"Gue tau, tap—"

"Bang, udah, ya. Jangan paksa gue. Menikah bukan cuma prihal bagiin undangan." Alrasya bangkit dari tempat duduk dan kembali ke kamar, sedangkan Luna hanya bisa berdiam diri tanpa harus mengucap sepatah kata

Alrasya mengacak rambutnya frustasi. "Ya Allah, kenapa jadi kayak gini?" Lantas Alrasya segera beristighfar

Entah apa yang membuatnya berpaling, tiba-tiba saja Alrasya jadi teringat dengan perempuan yang tadi ia temui sewaktu di apartemen

"Sekarang lo udah berubah ya, Ay?"

RIDHA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang