Bab 4

377 6 0
                                    

Mendengar nada bicaraku yang geram, mungkin Bang Rian sekarang merasa aneh. Aku rasa seperti itu, karena keningnya yang sudah berlipat-lipat.

"Jam dua belas?" Aku mengangguk membenarkan. "Kenapa gak bilang? Terus kamu pulang sama siapa? Ya ampun, sekarang udah jam empat subuh loh, dek!" Aku memasang wajah datar saat dirinya mengatakan hal itu. Memangnya dia tidak melihat headphone sama sekali? Aku sedari tadi menelponmu wahai Abang yang sangat-sangat baik tapi boong.

"Huh? Kenapa gak bilang? Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyanya lagi sok perhatian.

"Aku gapapa, cuma hampir jamuran aja di bandara!" ucapku kesal. Bodolah! Bang Rian menyebalkan! Aku melangkahkan kaki mencari keberadaan penghuni rumah ini. Tujuan langkahku sekarang adalah kamar Omah.

Mungkin Aku terlalu semangat ingin bertemu Omah, sampai Aku melupakan koperku yang sudah tidak ada di tanganku sekarang. Sebenarnya Aku sudah berada di depan kamar Omah, tapi koperku? Aku harus mencari koper terlebih dahulu. Aku sudah membelikan oleh-oleh untuk Omah dan yang lainnya. Langsung saja Aku membalikkan badan dan akan mencari keberadaan koperku.

"Sarah?"

Aku membalikkan badan lagi, saat ada yang memanggil namaku dengan sangat keras. Melihat siapa yang memanggil, Aku ikut berteriak menyebutkan nama Bunda dan Ayah. Ya, yang memanggilku adalah mereka, Aku tak ingin melepaskan pelukan dari mereka, tangis dari Bunda sudah terdengar di telingaku, sebenarnya Aku juga ingin sekali menangis tapi Aku tahan. Aku tidak boleh menangis sekarang.

Bunda melepaskan pelukannya. Tangannya meraih wajah mungilku. "Sarah? Anak Bunda." Bunda memeluk diriku lagi, kata 'rindu' tak lepas dari ucapan Bunda, sepertinya dia memang sudah sangat rindu padaku.

"Udah dong pelukannya, Ayah juga kan kangen." Ayah memasang wajah cemburu, Aku melepaskan pelukan Bunda, lalu beralih memeluk Ayah. Hanya sebentar, tapi rindu ini sudah terobati.

"Akhirnya, kamu pulang. Bunda rindu banget." Aku tersenyum, Aku juga rindu pada Bunda, melebihi rindunya Bunda padaku.

"Aku juga rindu, Bunda," ucapku memanjang.

Aku mengalihkan pandangan pada semua ruangan ini, orang-orang rumah sudah ku temui, sedangkan manusia yang membuatku pulang belum sama sekali ku lihat. "Hmm, Bunda, Omah mana? Aku pengen ketemu Omah," ucapku bertanya.

Ayah tersenyum lalu merangkul diriku, sekarang, Ayah akan mengantarku ke kamar Omah. Sedangkan Bunda pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Setelah mengetuk pintu bercat putih gading itu beberapa kali, akhirnya si pemilik kamar keluar. Aku segera memeluk wanita yang keluar dari kamar.

"Omah! Sarah rindu Omah," ucapkan seraya memeluknya.

"Omah juga rindu," respon Omah, dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.

Ayah mengusap puncak kepalaku. "Ayah ke dapur dulu ya, siapa tau Bunda butuh bantuan." Aku dan Omah mengangguk membiarkan Ayah pergi.

Ayah pergi, aku ditarik masuk ke dalam kamar nenek tua ini. Nuansanya sama seperti kamar nenek-nenek pada umumnya. Aku sebagai anak yang baru pulang dari rantauan sangat-sangat merindukan vibes ini.

Setelah lamanya berbincang dengan Omah, Bang Rian datang memberitahu bahwa sarapan sudah siap. Aku dan Omah bergegas menuju ruang makan. Walaupun sebenarnya mata ini sudah sangat mengantuk, tapi tidak apa-apa. Setelah sarapan nanti Aku akan pergi tidur.

Di meja makan sudah terdapat Bunda, Ayah, dan Bang Rian. Aku mengambil tempat duduk di samping Bang Rian, tempat yang biasa Aku duduki sebelum Aku pergi ke Italia dulu.

"Yuk, makan!" suruh Bunda. Aku mengambilkan beberapa sendok nasi pada piring Omah, walaupun Omah menolak tapi Aku tetap memberikannya. Orang sakit harus banyak makan.

"Jadi kamu datang ke sini jam dua belas?" tanya Bunda. Aku mengangguk, memang benarkan?

"Kenapa kamu gak kasih kabar Abangmu? Kan, bisa di jemput," celetuk Ayah. Wahai Ayah, andai kau tau sudah beribu-ribu kali Aku menelpon anak laki-laki mu itu.

"Iya, Dek. Harusnya kamu nelpon Abang, pasti Abang jemput kok. Ini malah nunggu taksi! Di Indonesia mana ada taksi jam dua belas kecuali mungkin taksi online," sahut Bang Rian.

"Jam dua belas? Datang ke rumah jam empat subuh? Untung gak ada hal yang aneh-aneh," sambung Omah. Memang tidak ada yang aneh-aneh tapi, ada yang menyebalkan.

"Terus kamu dapet taksi dari siapa? Katanya gak ngerti gunain aplikasi itu?" tanya Bunda.

"Ada yang pesenin, Bund. Sarah gak tau siapa, intinya dia laki-laki yang keras kepala, dan gak mau ngalah sama perempuan," ucapku. Akhirnya terlampiaskan juga.

"Siapa?" tanya Bang Rian. Padahal tadi sudah Aku bilang tidak tau, ya tidak tau! Apa semua laki-laki di Indonesia menyebalkan? "Ko bisa ketemu sama kamu sih? Coba cerita!" pintanya.

Aku menggeleng lemah. "Gak tau dan gak mau tau. Ceritanya panjang kalau Aku ceritain bisa habis dua tahun setengah."

"Eh, lama banget dong?" tanya Bang Rian. Sudah kubilang sangat panjang ceritanya.

Aku melirik ke arah Omah, makannya lahap, tidak seperti orang sakit pada umumnya, tapi mungkin Omah sudah agak sehat. Itu lebih baik.

"Emang Omah sakit, apa? Katanya Omah sakit, kan?" tanyaku mulai bertanya. Sedari tadi Aku ingin bertanya ini, tapi belum sempat. Omah, Bunda dan Bang Rian saling bertatapan.

"Omah? Omah gak sakit, kok! Omah baik-baik aja!" jawab Ayah dengan mulut penuh. Aku terdiam mendengar jawaban Ayah. Tidak sakit dan baik-baik saja? Aku melihat ke arah Omah dan Bang Rian. Mereka terlihat sedang melotot ke arah Ayah.

"Katanya Omah sakit? Sakit parah? Kritis?" tanyaku lagi.

"Nggak! Omah gak apa-apa, sehat-sehat aja kok dari kemarin," jawab Ayah lagi. "Aw!" ringis Ayah saat mendapati injakan dari Omah. Ayah melirik Omah, Omah seakan memberikan isyarat yang Aku tidak mengerti. Sepertinya Ayah mengerti maksud dari tatapan Omah, lihat saja sekarang wajah Ayah sudah berubah. Ia menatapku. "Iya! Maksud Ayah, Omah kemarin sakit, iya!" ucap Ayah. Bohong sekali, Ayah!

"Bohong," ucapku. Mereka benar-benar menipuku? Lalu Once? Dia juga terlibat? Jahat sekali. Aku sampai melepaskan pekerjaanku demi mereka, tetapi mereka? Mereka malah menipuku seperti ini. Apa gunanya kekhawatiran ku selama ini pada mereka. "Omah gak sakit? Terus ngapain Omah pura-pura sakit? Omah sengaja supaya Aku pulang? Hah?" tanyaku bertubi-tubi.

"Bukan gitu, sayang." Bunda mendekatiku dan merangkul tubuhku, namun Aku singkirkan.

"Kalian jahat! Apa sih maksudnya?" tanyaku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya. Apakah berpura-pura sakit itu dibenarkan?

"Omah begini karena Omah pengen kamu pulang, Sarah! Kalau Omah gak pura-pura sakit emang kamu mau pulang?" tanya Omah. Mataku memanas, sepertinya akan turun hujan dari mataku.

"Aku pasti pulang dengan sukarela, kalau Omah gak jadi jodohin Aku sama dosen itu! Aku gak mau dijodohin kayak gini! Aku punya kehidupan Aku sendiri, aku punya pilihan hidup sendiri!" tegasku memang benar, Aku menghindarpun karena Omah, karena Omah yang memaksaku untuk menikah. "Selepas dari itu, berbohong sama sekali tidak dibenarkan, Omah."

Aku berdiri dari duduk dan segera pergi menuju kamar. Mungkin kamarku masih berantakan dan berdebu, tapi itu tidak penting. Aku akan pergi ke sana sekarang.

Pilihan Omah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang