Bab 7

290 9 0
                                    

Aku membuka pintu yang tadi sempat ku kunci. Aku mengerutkan kening saat melihat seorang laki-laki yang akan melewati kamarku. Siapa dia? Tinggi, putih, tampan, rapih, wangi. Laki-laki itu ikut bingung melihatku. Aku segera sadar dari kebingunganku, dan segera berjalan melewati laki-laki itu. Mungkin teman Bang Rian, liat saja arah perjalanannya menuju kamar milik Bang Rian.

"Tunggu!" ucapnya. Aku menghentikan langkahku. Aku tidak kepedean, tapi di sana hanya ada Aku dan dirinya saja. Dari itu Aku menghentikan langkahku.

Dengan sangat hati-hati Aku membalikkan badanku. "Aku?" tanyaku pada dia.

Laki-laki itu mengangguk. "Kamu tau kamarnya, Rian?" tanyanya. Kini, suaranya terdengar dingin. Memang tampangnya juga seperti laki-laki kulkas dua pintu.

"A-aku?" tanyaku lagi, mau jawab tapi takut salah ya kan?

Dia tersenyum tipis. "Iya, kamu!" jawabnya. Kenapa tidak dari tadi? Susah sekali mengatakan kata iya. "Kamu tau kamar Rian?" ulangnya. Aku mengangguk dan menunjukkan kamar Bang Rian. Apakah dia teman Bang Rian? Tampan sekali, beda dengan Bang Rian.

Laki-laki itu berterima kasih dan langsung berjalan menuju kamar Bang Rian. Perutku sudah sakit, mari kita makan Nak!

Omah juga Ayah terlihat bingung saat melihatku turun dari tangga. Kenapa mereka berekspresi seperti itu? Ada yang aneh dariku? Aku menatap diriku sendiri dari atas hingga bawah. Tidak ada yang aneh, terlihat seperti biasa.

"Sayang! Mari sini Nak, sarapan dulu!" suruh Bunda, di meja makan sana. Aku mengangguk dan berjalan mendekati Bunda, karena memang niatku untuk sarapan. Biarlah Omah dan Ayah melihatku aneh seperti itu.

Aku menarik kursi milikku dan duduk di sana, sembari menunggu makanan siap.

"Kamu gak pake riasan, Sar?" tanya Bunda. Aku memegang kupingku yang sepi tanpa riasan. Aku mengangguk membenarkan ucapan Bunda.

Rasanya ringan sekali, tanpa make up dan riasan seperti ini. Hanya di rumah ini Aku bisa berdandan seperti ini, jika di Italia, mana mungkin Aku bisa seperti ini.

"Emang kenapa Bund? Gak cantik?" tanyaku. Jadi, Aku tidak cantik? Jangan-jangan Omah dan Ayah melihatku seperti tadi karena Aku tidak terlihat seperti biasa.

Bunda terkekeh melihatku. "Nggak kok, kamu lebih cantik natural seperti itu. Bunda rindu dandanan kamu kayak gini," jawab Bunda. Hmmm? Apakah benar? Tapi, mana ada orangtua yang membully anaknya? Sebelum orang-orang, pasti orangtua lebih dulu memuji anaknya. Oke, tidak usah geer, mungkin Bunda hanya perez.

"Bunda masaknya banyak?" tanyaku bingung. Pasalnya Bunda jarang sekali memasak sebanyak ini, seperti hari lebaran tepatnya.

"Gapapa, pengen aja. Biar kamu makan banyak, biar ada isinya itu badan. Jangan kurus gitu," ucap Bunda. Aku mengerutkan bibirku, Bunda! Baru saja memuji sekarang sudah membully parah sekali!

"Kurus gimana sih Bund? Ini tuh tubuh yang ideal buat seorang model," jawabku.

Terdengar kekehan kecil dari Bunda. "Yaudah berhenti jadi model, Sar! Kamu tuh lebih cantik kayak dulu, dandanan sederhana kayak gadis pada umumnya, badan yang keisi, gak terlalu ngejar deadline." Terserah Bunda sajalah! Intinya Aku tidak akan berhenti jadi model, jadi model terkenal kan cita-citaku sejak kecil dan Bunda tau itu.

Bunda menyimpan beberapa piring berisi banyak lauk pauk di hadapanku. Mataku sudah berbinar menatap banyak makanan kesukaan ku, sop ayam, ayam bakar, sate ayam, dan ati ampela yang sudah dibumbui. Itu enak sekali kan?

Omah dan Ayah mendekat dan duduk di bangku milik mereka. Tatapan keduanya masih sama seperti tadi, Aku jadi bingung kenapa mereka seperti itu.

"Omah sama Ayah kenapa sih? Ko liatin Sarah kayak gitu? Ada yang aneh? Sarah terlalu pucat, kah?" Ayolah, Aku sangat tidak percaya diri sekarang, karena tatapan mereka yang begitu sangat aneh.

Mendengar pertanyaan ku, Omah dan Ayah saling bertatapan, lalu tertawa seakan tidak terjadi apa-apa. Menganehkan!

"Gapapa kok, Sarah. Ayo dimakan!" Gelagat Ayah sangat menganehkan, tapi menyuruh makan, bukanlah hal yang mencurigakan bukan? Okelah! Mari kita aktifkan mode positif thinking.

Aku mengambil piring yang sudah disediakan untuk ku oleh Bunda. Aku mengambil nasi cukup banyak, munafik memang jika Aku tidak ngiler melihat semua masakan Bunda.

Saat enak-enaknya makan, Bang Rian beserta laki-laki itu datang dan duduk di kursi kosong. Laki-laki itu duduk bersampingan dengan Bang Rian, yang artinya hampir berhadapan dengan ku.

Senyum dari laki-laki itu terus mengembang, Omah, Ayah dan Bunda membalasnya tak kalah lebar. Aku tidak perduli dengan teman Bang Rian, biarkan apa yang mereka lakukan terjadi.

Aku mulai memasukkan beberapa makanan ke dalam mulutku. Rasanya selalu enak, tidak pernah membuat ku kecewa.

"Sarah," panggil Omah.

Aku melihat kearahnya sebentar lalu menatap makanan dan melanjutkan makan ku.

"Kenalkan, itu namanya Pak Bayu Andrean. Dia dosen di ITB Bandung, tempat kamu kuliah dulu." Aku melirik laki-laki yang tengah diperkenalkan oleh Omah, laki-laki itu tersenyum manis padaku, Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.

"Dia temen Bang Rian, satu kampus dulu. Tapi, dia lulus duluan," sambung Bang Rian. Aku hanya mengangguk pelan. Sudah tidak aneh sih, jika temannya itu lulus terlebih dahulu dari pada Bang Rian. Temannya juga terlihat sangat cerdas dan berwibawa tidak seperti Abangnya yang sangat-sangat pemalas.

Aku masih setia memakan sarapan ku. Tidak perduli dengan pujian-pujian yang sudah beberapa kali terlontarkan dari mulut Omah.

"Dia juga calon suami kamu, Sarah!"

Uhuk! Bunda yang berada di sampingku segera menuangkan air dan memberikannya padaku yang sudah batuk tak karuan. Ucapan terakhir yang dilontarkan Omah membuatku tersedak. Apa? Calon suami? Tidak mungkin!

"Sarah pelan-pelan dong, makannya!" suruh Omah. Aku masih menatap Omah tidak wajar. Kini, Aku berganti menatap teman Bang Rian yang ternyata adalah dosen yang akan dijodohkan denganku.

"Aku gak mau dijodohin Omah! Harus berapa kali aku bilang? Kita aja baru kenal, atau lebih tepatnya baru bertemu hari ini. Tidak mungkin kami akan melangsungkan pernikahan tanpa perdekatan!" Kali ini Aku benar-benar membentak Omah, Aku sudah capek dengan permainan ini. Aku segera berdiri dari dudukku. "Aku gak mau dijodohin! Aku gak mau diatur-atur! Aku udah dewasa, aku bisa cari kehidupan aku sendiri. Aku bisa cari yang terbaik untuk aku!" tekanku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan ide gila dari keluarganya itu.

"Sarah! Duduk!" suruh Omah. Suaranya sudah terdengar marah, tapi kali ini aku tidak takut. Mau apa memangnya? "Pak Dosen ini benar-benar baik, dan cocok dengan kamu!" sambung Omah.

"Aku tau Omah pasti bakal cariin aku yang baik. Tapi bukan kayak gini caranya! Aku bisa cari sendiri pasangan hidup aku, yang lebih baik dan tentunya lebih cocok buat aku!" Langsung saja, Aku bergegas pergi dari ruang makan, menuju teras. Tidak mungkin jika ia kembali ke kamar, sudah ia pastikan pasti Omah akan mencegah tangannya.

Pilihan Omah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang