Kamu pergi sebelum mengetahui segala hal yang telah aku persiapkan untukmu
~ChaCha~Memang benar bahwa prestasi dalam bidang akademik bukanlah penentu kesuksesan seseorang.
Waktu begitu cepat berlalu, tiga hari lalu tepatnya yang kedua tahun kami hidup tanpa Diasha.
Begitu cepat angin membawa kenangan ini. Saat dimana aku belum sempat menjelaskan banyak hal padanya,dia pergi.
Katakan saja aku munafik dalam hidupku, aku tidak memaksa kalian untuk percaya. Satu hal yang ingin kukatakan bahwa sesungguhnya aku tidak benar-benar membencinya.
Dia,dia yang namanya masih tertinggal untuk selamanya.
Kata orang-orang bahu anak pertama harus kuat bukan?
Bukan hanya itu, orang-orang juga bilang kalau mental anak pertama adalah mental baja.
Menjadi contoh bagi adik-adiknya bahkan terkadang orang-orang menilai suatu keluarga dari anak pertamanya.
Kalau anak pertama sukses maka hal itu akan diteruskan pada adik-adiknya.
Didalam satu keluarga akan ada satu anak yang akan mengubah takdir keluarganya.
Dan didalam satu keluarga ada satu anak yang akan menjadi parasit, tak bisa melakukan apapun layaknya seorang beban.
Pernyataan yang paling sering kudengar di kehidupan masyarakat desa.
Tuntutan pekerjaan membuat tubuhku begitu lelah, ditemani secangkir kopi aku kembali mengetik.
Enam bulan setelah kematian Diasha,aku wisuda. Menyelesaikan pendidikan dan mendapat gelar S1 di perguruan tinggi negeri dalam kurun waktu 3,5 tahun.
Aku cukup bangga bisa membawa kedua orangtuaku disana namun kebanggaan itu hanya bertahan satu hari lamanya.
LULUSAN DENGAN IPK TERTINGGI TERNYATA BUKANLAH PENENTU DARI SEBUAH KESUKSESAN.
Aku menganggur empat bulan lamanya. Semua perusahaan menolak ku saat itu, ingin rasanya aku menyerah saat mendapat telepon dari Ayah. "Bisa bantu Ayah nak? Desa dilanda kemarau dan semua petani gagal panen. Ayah tidak punya modal untuk mengulang semuanya."
Aku langsung menangis detik itu juga. Ayahku benar-benar kesusahan namun anak pertamanya belum mendapatkan pekerjaan.
Kalian tahu? Ayah tidak tahu kalau aku menganggur di ibukota Jakarta saat itu. Empat bulan lamanya aku bertahan dengan uang pas-pasan,aku bahkan makan hanya sekali sehari.
Demi hemat, aku sakit-sakitan kala itu.
Sebagai anak pertama aku tentu sangat malu. Aku menutupi segalanya pada Ayah, aku tak ingin ia kesusahan.
Harusnya aku yang membantunya bukan malah berbagi kesedihan tentang sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang.
Lagi dan lagi aku berbohong. Biarlah Ayah berpikir kalau aku sudah lupa diri dan tidak mau membantunya karena sejak itu, Ayah berhenti menelepon ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat dari ChaCha (TAMAT)
Ficção AdolescenteBagian sederhana dari kehilangan. Karena kata mereka, kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan yang dipisahkan oleh kematian. Tapi pernahkah kalian berpikir,saat seseorang sudah menghembuskan nafas terakhirnya, apakah orang itu sudah b...